Lebaran belum lewat depan rumah
Ritual lebaran di rumah biasanya dimulai dengan Papa menceramahi anak-anaknya yang pemalas luar biasa. Lalu dengan bersungut-sungut kami kerja bakti membersihkan rumah, seharian.
Idealnya kami terlebih dahulu membersihkan kamar masing-masing, namun hal tersebut sangat jarang terjadi dengan sukarela, dibutuhkan satu episode ceramah lain lagi dari Papa. (Aku selalu curiga meletakan kamar anak-anak di lantai dua adalah strategi Papa menghindarkan matanya dari pemandangan berantakan.)
Namun, meski matanya tak lagi terpapar pemandangan buku dan mainan yang berserakan, aku tahu hati papa selalu terganggu dengan perasaan ada barang-barang yang tidak pada tempatnya. Saat itulah episode lain dari ceramah Papa dimulai. Lalu kami berhamburan ke lantai dua.
Sementara Mama tenggelam di antara bau manis dan telur bebek untuk membuat maksuba, kue delapan jam, nastar, pempek, malbi, dan pindang tulang iga. Seperti di buku Bahasa Indonesia kelas dua: Ibu memasak di dapur.
Kerja bakti biasanya dimulai hari ini. Hari terakhir puasa. Yang pertama dirapikan adalah ruang tamu kecil. Ruang tamu ini agak terisolasi dari ruang lain di rumah. Tujuannya agar tamu tak terkoneksi dengan bagian lain dari rumah, maupun dengan kami. Ruang tamu ini semacam ruang tamu formal untuk papa menerima koleganya.
Sebenarnya Papa enggan menerima tamu yang berhubungan dengan pekerjaan. Mungkin terdengar agak kejam, tetapi Papa biasanya menyuruh tamunya pulang jika hal tersebut berhubungan dengan kasus. Dia sangat keras untuk hal ini.
Pernah ada sekeluarga korban yang datang dengan beras dan hasil alam jauh-jauh dari sebuah desa yang tak kuingat namanya, dengan teganya Papa meminta mereka pulang, dan bertemu saja di ruang sidang. Atau kali lain Papa marah-marah mengusir keluarga terdakwa yang datang dengan kijang kapsul berplat putih. Setelah si tamu pergi, papa berkata: "Biarin aja mobil kita tahun tua, yang penting dingin, dari pada mobil panas begitu."
Namun, siapa yang bisa menolak momen lebaran? Om Pengacara, Om Polisi, Saksi, Korban, Panitera, semuanya diterima di ruang tamu isolasi yang sudah kinclong itu.
Untuk menghindari mukaku yang bersungut menyiapkan teh dan kopi untuk tetamu yang tiada hentinya, Papa menyiapkan berbagai minuman kaleng yang hanya perlu dituang ke gelas. Kardus-kardus minuman kaleng pesanan Papa biasanya datang satu hari sebelum lebaran, saat kami sedang kerja bakti.
Siang ini, beberapa jam sebelum malam takbiran, tak ada kerja bakti, tak ada paket minuman kaleng bertumpuk di dapur.
Ceramah Papa tak lagi ada.
Hingga empat tahun lalu aku berusaha mengambil alih komando kerja bakti dan penceramah bersih-bersih. Namun ternyata lebih sult, lebih melelahkan, dan lebih makan hati dari yang kubayangkan.
Kedua ruang tamu toh selalu bersih, tidak kinclong, tapi bersih. Lagi pula tak satupun dari kami yang berniat meluangkan waktu dan tenaga untuk membuatnya jadi lebih bersih lagi.
"Wah, jadi ni kayaknya lebaran?" ujar Mama menyapa tetangga depan rumah, sepulang dari warung.
"Haha, nyicil, Bu!"
"Ah, kalo di gang belakang kayaknya lebaran ga lewat ni."
Mungkin lebaran lupa melewati rumah kami, atau mungkin lebaran kami jadi lebih personal.
Comments
Post a Comment