Back when I had recently arrived in Phnom Penh, I struck up a conversation with, what I was hoping, a potential new friend at the birthday party of a mutual friend. She was born and raised in Cambodia but had lived in the US for a bit. Our conversation went like this:
Her: So, what are you going to do in Cambodia.
Me: I guess I will try to find a job.
Her: Oh, do you even have any qualification?
Me: What do you mean? (I was a bit confused)
Her: Do you even have a degree? Did you to school? Like a formal education?
Me: (I start to feel uncomfortable), ummm… I guess, yeah…
Her: You know that I work with all of these people, right? (at that time we are in a bubble of white people who live in Phnom Penh) You know that I work with them, right? (she repeated herself) I have a qualification, I am qualified. I went to school in the US. I plan to get my master degree in the US. That would be easy for me. Anyway, what is your undergrad?
Hari ini menandai tepat seminggu percobaan mandi tanpa sabun dan keramas tanpa sampo. Awalnya saya pikir ide ini biasa saja. Toh manusia sebelum kenal sampo dan sabun juga hanya mandi dengan air mengalir. Apalagi, sudah banyak juga ornag lain melakukan percobaan yang sama. Namun, ketika saya bercerita kepada teman kantor bahwa sudah hampir seminggu saya tidak menggunakan sabun, reaksi mereka sungguh mengagetkan. Menurut mereka, ini adalah percobaan yang aneh. Sebab itu, saya jadi ingin membagikan pengalaman ini.
Kenapa awalnya saya terpikir untuk melakukan percobaan ini?
Karena kulit saya sangat sensitif. Kulit wajah sih biasa saja. Tapi kulit tubuh sangat sensitif terhadap sabun mandi. Sabun biasa membuat kulit sangat kering, rasanya seperti retak-retak, dan kadang terasa panas karena iritasi. Sebab itu saya hanya dapat menggunakan sabun mandi merek tertentu yang betul-betul alami, atau sabun bayi. Itu pun terkadang masih terasa kering di ruangan ber-AC, belum lagi kalau mandi sebelu…
Payudaraku bukan payudara berukuran superbesar. Meski juga tidak terlalu kecil. Bukan payudara yang membuatku merasa seksi seperti bintang film di Hollywood.
Payudaraku biasa saja, tapi aku tumbuh sembari membencinya.
Aku mulai bersekolah SD di Palembang saat tiga bulan terakhir kelas 6. Menjadi 'bukan pribumi' memberi pengalaman yang kurang menyenangkan. Banyak orang yang sangat mempedulikan persoalan kesukuan di sana.
Setiap pagi aku berangkat sekolah dengan melewati sebuah panti rehabilitasi. Orang bilang tempat tersebut didirikan untuk merehabilitasi anak nakal. Hingga kini aku masih belum paham terminologi anak nakal yang dimaksud.
Daerah sekolahku diberi nama Jalan Sosial bukan tanpa alasan. Di sebelah sekolahku adalah panti sosial, tempat menampung orang-orang yang tidak punya rumah. Sekitar 500 meter di depan sekolah adalah Rumah Sakit Jiwa, dan 200 meter di belakang sekolah adalah Panti Jompo. Dan panti rehabilitasi berada se…
Comments
Post a Comment