Ninja dan Kabut Asap
Pagi-pagi Papa tergopoh-gopoh, mencari dua sapu tangan buat kami.
Aku dan adikku sudah bangun, sudah mandi, dan sudah siap
berangkat sekolah seperti biasa. Namun pagi ini Palembang masuk fase tidak
biasa.
Musim kemarau sudah mulai terjadi minggu-minggu terakhir
ini. Air sumur yang tak pernah banyak dan tak pernah baik airnya (baunya
tak sedap), tiba-tiba kering begitu saja. Artinya kami tak bisa mandi dan tak
bisa minum.
Sudah beberapa minggu belakangan Papa berlangganan air
bersih. Kalau tak salah harganya Rp700 per jerigen, waktu itu 1998--Jakarta sedang rusuh, tak ada yang peduli kalau kami tak punya air. Aku tak tahu berapa jerigen yang dibutuhkan untuk
memenuhi satu-satunya bak mandi di rumah ini.
Tukang air datang setiap pagi membawa air paling jernih yang
pernah kulihat sejak pindah ke sini. Airnya kadang-kadang biru, atau
kehijauan, jernih berkilauan. Padahal air sumur kami berwarna cokelat keruh.
Papa biasa membubuhi obat berwarna putih ke air.
Lalu aku harus tunggu sekitar setengah jam, sampai kotoran
cokelat itu luruh dan mengendap di dasar bak mandi. Biasanya Papa akan menyedot
air kotor itu, lalu menampungnya di bak hitam yang besarnya seluas kamar mandi
kami. Air itu yang kami pakai untuk menyiram tahi.
Tapi sekarang, sumur kami tak punya air. Maka kami mandi air
yang dibeli setiap pagi. Mandi di atas bak hitam besar itu, agar sisa air sabun
dan kotoran dari tubuh kami tertampung, untuk dipakai menyiram tahi.
Pagi ini, habis mandi aku bau lagi. Kabut asap masuk sampai ke
rumah. Kalau jendela tidak dibuka, panas betul rasanya, tapi kalau dibuka,
kabut asap masuk semakin banyak. Serba salah.
Katanya asap sebenarnya selalu ada setiap musim kemarau, tapi kali
ini parah betul. Dari pintu rumah, aku tak bisa melihat gerbang, apalagi rumah
tetangga. Semuanya serba putih. Seru, seperti kabut! Tapi memang mata agak
perih, dan susah betul menarik nafas.
Papa tergopoh-gopoh mencari sapu tangan. Dia beri satu sapu
tangan putih, bergaris abu, untuk adikku. Sapu tangan itu dilipat segitiga, lalu
diikatkan di belakang kepala, menutupi hidung adik. Aku dapat sapu tangan
bunga-bunga berwarna hijau, sapu tangan milik Ibu.
Seru, kami berangkat sekolah seperti ninja!
Di sekolah, teman-teman yang sudah lama tinggal di
Palembang (aku baru tinggal di sini kurang dari satu bulan) ternyata dibekali
masker sungguhan oleh orang tuanya. Masker itu berwarna hijau, seperti masker
dokter. Betapa inginnya aku memakai masker seperti itu.
Pakai sapu tangan sebenarnya tidak nyaman. Seperti tidak
bisa sungguh-sungguh bernafas. Namun kalau Papa atau Mama melihat aku tanpa
sapu tangan di hidung, mereka pasti marah betul. Jadi aku pakai saja terus sapu
tanganku.
Sekolah berjalan seperti biasa, aku memperhatikan papan
tulis hitam, dan ibu guru yang sedang menulis dengan kapur, sambil sesekali
mengintip masker gagah milik teman.
Belum selesai aku mengintip, Ibu guru lain masuk ke kelas. Lalu
mereka bercakap dengan Bahasa Palembang yang aku belum mengerti,
Kemudian, Ibu guru lain itu keluar kelas. Ibu Guru berpaling
pada kami. Belakangan aku tahu dia mengirim kami pulang. Mungkin dalam bahasa
yang aku tidak paham itu dia bilang
sebaiknya kami belajar dari rumah.
Kupikir, hari ini asik juga. Kami berangkat sekolah seperti
ninja, lalu pulang lebih cepat!
Ah, kalau kabut asap tidak bau dan tidak pedih di mata,
mungkin aku akan menyukainya.
Comments
Post a Comment