Menyoal Pemberitaan Lendir Berjanggut
"Hebat ya ini Fathanah, perempuannya ga habis-habis," kata seorang teman saat istirahat siang lalu.
Aku mengernyitkan dahi "Kok hebat? Harusnya: berengsek ya Fathanah."
Lalu dia meralat: "Iya, hebat brengseknya maksudnya,"
Kasus suap impor daging sapi merembet pada banyak hal. Namun bisa jadi yang paling digemari adalah rembetan pada perempuan. Hingga akhirnya, setidaknya dalam penglihatan saya, kasus korupsi itu sendiri mengalami semacam banalisasi. Media lebih suka membongkar-bongkar cerita perempuan mana yang gincunya dibelikan Fathanah, alih-alih bercerita soal betapa ingkarnya gerombolan pejabat terhadap kepercayaan warga, atau setidaknya pada pendukung partainya.
Kami sedang makan malam di Kota Kasablanka saat kotak layar kaca merujuk pada perempuan berjilbab yang tampak dirundung masalah. Perempuan dalam televisi bercerita betapa tak memahami isi hati sang suami. Mengapa semakin banyak saja perempuan bermunculan, mengapa begitu besar uang berlarian ke rekening puan-puan.
Lalu korupsi dipotong sembarangan menjadi persoalan kebutuhan harta untuk meraih perempuan, yang kemudian didekatkan dengan persetubuhan.
Politik dan kebutuhan persetubuhan sebenarnya serupa, yang satu didorong oleh libido untuk kuasa, sementara lainnya didorong oleh libido seksual. Tak ada yang salah sebenarnya, selama berorientasi pada proses, bukan sekadar pada tujuan.
Bahwa Luthfi, misalnya, berhubungan seks dengan Rani di kamar hotel, saya pikir bukan persoalan hubungan seks itu sendiri yang seharusnya dipedulikan, tapi buat apa seks itu dilakukan. Objektif dari perbuatan itu.
Apabila ada dua orang berhubungan seks yang terikat pada kesepakatan bersama, rasanya bukan porsi publik untuk ikut campur. Namun bahwa seks itu diberikan sebagai gratifikasi untuk mempermudah pecurian uang negara, adalah soal lain lagi. Sampai di sini tentu gratifikasi yang seharusnya dipedulikan, bukan seks atau Rani itu sendiri.
![]() |
Karikatur Gatra edisi 16 Mei 2013--22 Mei 2013 ini bias betul :( |
Persoalannya, perempuan (yang sudah semestinya dilihat memiliki kesetaraan dalam menikmati hubungan seks), sering kali diletakkan dalam posisi subordinat. Keperempuanan dan seks pada akhirnya lebih mendapat porsi lebih besar dari pada kesalahan pelaku pencuri uang negara.
Si pemilik, sekaligus pencuri uang negara itu tentu memiliki akal. Dia yang bisa mengarahkan mau ditaruh mana uang-uang itu. Uang adalah benda mati yang bisa mengalir ke mana saja tergantung kehendak si pemilik.
Dia bisa pakai uang itu untuk menginap di lantai tertinggi AL-Burujj, menyewa igloo di Kanada untuk melihat Aurora, memberi Porsche berbalut emas, membangun rumah mewah di Beverly Hills, merokok ganja sebanyak-banyaknya di Belanda, atau sekadar digunakan untuk memuaskan selangkang. Ada banyak pilihan.
Maka pemberian uang kepada perempuan sebenarnya hanyalah salah satu cara dia memilih. Seorang reporter seharusnya mengikuti aliran uang, sampai bertemu muaranya. Kalau Fathanah memilih mengalirkan uang-uang itu kepada perempuan dan kalau benar untuk memenuhi kebutuhan libidinal, seharusnya hal tersebut dilihat sebagai ketidakmampuan Fathanah dalam menjaga arah lendirnya. Perempuan-perempuan yang menerima dana tidak semestinya jadi fokus utama cuma karena keperempuanannya.
Selemah-lemahnya reporter (ataupun manajemen media yang sering kali memaksa reporternya) adalah yang terdistraksi pada berita pupur dan gincu, berita permukaan soal perempuan-perempuan, dari pada apa yang ada di balik perempuan-perempuan itu.
Saya yakin Hilmi, Fathanah, dan Luthfi terjerat KPK bukan karena mereka laki-laki dan bukan karena berpenis, tetapi karena menyelewengkan uang negara. Dan perempuan-perempuan dalam koran terjerat bukan karena mereka bervagina, tapi karena menerima uang.
PS: Saya jadi penasaran apakah media masih akan heboh kalau 20 penerima aliran dana adalah laki-laki dan bukan perempuan.
Kasus ini menjadi semacam refleksi bahwa sex always sells, dan cerminan bagaimana sebuah masyarakat selama ini memandang perempuan, teutama perempuan yang hidup dan bekerja di lingkup seks. Kalau masyarakatnya dewasa betul dalam menyikapi seks, maka berita yang muncul bukan soal seks sebagai skandal, namun justu masalah yang sebenarnya, yaitu korupsi dan gratifikasi. Di sini perempuan-perempuan yang dimunculkan seolah-olah juga "dimanfaatkan" oleh media untuk menunjukkan betapa "bobroknya moral Fathanah dan PKS" yang selama ini sok suci. Padahal masalah sebenarnya bukan itu. Para perempuan itu mana tahu uang yang mereka dapatkan adalah uang hasil gratifikasi untuk politikus kriminal? Makanya aku marah banget kalo masih ada istilah-istilah "suap daging impor dan daging maharani" dll.
ReplyDeletemasalahnya cuma dua: bagaimana partai mendapatkan dana, dan bagaimana gratifikasi meluas, tak lagi sekadar uang tetapi juga persetubuhan.
Delete