Kelas Menengah, Setengah Miskin

Tahun lalu (atau tahun lalunya lagi aku lupa) Bank Dunia pernah mengeluarkan penelitian soal kelas menengah. Mereka mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok yang menghabiskan uang US$2--US$20 tiap harinya.

Dalam keadaan tertentu, menghabiskan kurang dari Rp20.000 (sebenarnya kurs tengah di Bank Indonesia hari ini Rp9.765 per dolar Amerika Serikat, tapi anggap saja Rp20.000 ya) per hari memang mungkin dilakukan. Ongkos dari kos ke kantor biasanya Rp6.000 pulang pergi. Diawali dengan menggunakan kopaja, lalu disambung metromini di pagi hari; dan menggunakan metromini lalu jalan kaki saat pulang. Artinya masih ada sisa Rp14.000.

Biasanya aku menyimpan muesli dan sekarton susu segar di kantor, kadang-kadang juga yoghurt, jadi tak perlu keluar uang sarapan. Sementara makan siang kalau di warteg biasanya hanya menghabiskan Rp5.000 karena cuma makan sayur-sayuran, atau gado-gado tanpa telur Rp8.000.

Sementara, akibat malas, atau kadang juga karena ngeri dengan kadar kebuncitan perut, terkadang aku melewatkan makan malam. Tapi, tetap saja. Satu karton muesli, atau granula, harganya sekitar Rp80.000--Rp120.000, dan satu karton susu tak lebih murah dari Rp20.000.

Belum mencoba saja aku sudah gagal.

Tapi, masih penasaran. Kenapa definisi harus dari angka-angka konsumsi? Lalu, kalau cuma boleh habiskan uang sekitar Rp20.000 per hari, itu boleh didefinisi setengah kaya, atau setengah miskin sih? Karena ketika mendengar kata kelas menengah kan kesannya dia hampir makmur, bukan hampir bangkrut.

Setelah hampir 3 tahun bekerja sebagai wartawan ekonomi, lalu pindah ke lembaga non-profit, perasaan bahwa ekonomi terkadang tidak manusiawi semakin intens. Selalu soal seberapa banyak uang yang dipakai untuk makanan yang masuk ke perut, dan seberapa banyak bensin yang dikonsumsi. Bukan soal seberapa banyak uang yang masuk ke perut lalu keluar dari dubur sebagai kotoran, atau seberapa banyak bensin yang dikonsumsi lalu jadi polusi.

Misalnya, konsumsi air mineral diperkirakan meningkat menjadi 86 liter per manusia Indonesia dari 29 liter dalam kurun waktu 10 tahun, 2006--2016. Indonesia ini negara pengonsumsi air mineral botolan terbesar ketujuh dunia. Pasar yang bagus buat Danone (Aqua), The Coca Cola Company (Ades), dan Nestle (Pure Life).

Lalu, ekonomi bisa jadi tak peduli soal sampah plastik dari botol bekas, atau bagaimana akses masyarakat terhadap air bersih di sekitar pabrik.

Tahun lalu McKinsey pernah meluncurkan laporan yang salah satunya menyebutkan pada 2030 Indonesia akan punya 135 juta manusia yang minimum pendapatan tahunannya mencapai US$3.600. Dengan kurs tengah Rp9.765 artinya Rp35,15 juta, bulatkanlah jadi Rp36 juta. Sungguh bukan jumlah yang banyak ya.

Ga heran kalau Rekso Nasional Food masih akan untung banyak dari McDonalds. Restoran cepat saji macam McDOnalds dan KFC berkembang dengan citra restoran keluarga dan tempat makan bergengsi alih-alih tempat makan tanpa nutrisi. Sementara tempat makan yang lebih sehat ya ga terlalu terjangkau, juga kalah reputasi dibandingkan paha ayam berkolesterol itu.

Mungkin, belum tentu benar, itu cerminan definisi kelas menengah di Indonesia yang lebih menyukai gadget baru, mobil mengilap, dan keberadaan tempat nongkrong, dibanding akses air bersih yang bisa diminum langsung dari keran, atau kebebasan beragama (maupun tidak beragama), dan akses transportasi massal lagi cepat yang manusiawi.

Toh dalam laporan-laporan ekonomi yang mendefinisi kelas menengah Indonesia lebih banyak membicarakan angka-angka rigid tapi rapuh; Soal seberapa Iphone 5 dan Blackberry 10 yang terjual, bagaimana persaingan All New Avanza dan Ertiga di pasar mobil murah, atau merek apalagi yang akan dibawa MAP ke Indonesia setelah Stradivarius.

Lalu aku pikir, dengan angka-angka itu, definisi kelas menengah (rasanya boleh juga disebut definisi Orang Kaya Baru/ OKB) itu sebenarnya definisi setengah miskin. Bukan karena jumlah uang yang mereka terima, tapi karena mereka sibuk meraih angka-angka, dan lupa jadi manusia.

Definisi kelas menengah yang dihitung angka-angka itu, tak bisa menghitung mental dan pola pikir. Pertumbuhan kelas menengah tidak menghitung seberapa manusia yang masuk dalam definisi kelas menengah bertoleransi pada pilihan ibadah atau orientasi seksual tetangganya.

Sebagian lebih sibuk cari uang saat tetangganya di desa harus mati terbakar karena menyembah tuhan dengan cara berbeda. Lalu sebagian lain sibuk menyicil rumah saat perempuan Aceh dicambuk karena berboncengan motor. Atau juga pura-pura tak tahu kalau sistem negara ini bikin bayi-bayi dibuang ke tong sampah setiap pagi. Toh, kesadaran semacam ini memang tak terhitung dalam definisi menjadi kelas menengah.

Bahkan definisi kelas menengah tak pernah menghitung berapa manusia Jakarta yang bisa menikmati kemewahan jalanan tanpa macet dan bisa sampai ke kantor kurang dari 30 menit.

Kelas menengah kita, sibuk menggerutu dalam mobil ber-AC di sepanjang Sudirman atau Rasuna saat jam lima.

Atau jangan-jangan, dalam definisi kelas menengah Indonesia yang sekarang ini, jalanan tanpa macet, dan perasaan aman tanpa was-was menunggu banjir tahunan memang sudah masuk dalam kategori kemewahan? Sehingga yang masuk definisi kelas menengah tak bisa menikmati.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Addressing Climate Crisis with Ummah