Jakarta Malam Hari



Jalanan Jakarta begitu syahdu saat transjakarta tak lagi beroperasi. Cuma ada satu-dua taksi, atau mobil pribadi. Sebagian bergegas menuju rumah, disambut wajah berseri sang istri, ada juga yang menuju hotel tempat janji temu dengan istri Pak Haji, atau ada yang disambut mantan kekasih temannya yang berpagutan dengan sang istri di rumah sendiri.

Saat malam-malam seperti ini, tak ada lagi anak-anak kecil dan gelandangan di jembatan penyebrangan. Tebakanku, mereka selesai bekerja pada jam sembilan, dan kembali ke paribaan sepeti pekerja-pekerja lain yang berpantalon dan jas pesanan.

Pekerja di pusat belanjaan mulai meninggalkan lampu-lampu terang, dan pendingin ruangan. Riasan wajah tinggal ala kadarnya, habis disapu waktu dan debu dalam perjalanan ke kampung belakang. Satu-satunya tempat yang menyediakan kamar-kamar paling murah di ibu kota. Sebut saja murah meski sebenarnya terlalu mahal untuk udara pengap dan air berbau sengak. Namun itu tetap yang termurah di ibu kota.

Selalu ada malam-malam yang tak begitu syahdu sebenarnya. Malam dengan petrichor merebak di mana-mana adalah potensi syahdu paling menyenangkan. Asalkan tak datang bersamaan dengan pesan singkat: di dekat rumah singgah ada kebakaran.

Rumah singgah sesungguhnya tak lagi bisa kami singgahi. Meski masih kusimpan kunci duplikatnya, tak lagi ada papan tulis dan spidol-spidol baru, atau kotak plastik berisi pensil kayu, penghapus, dan buku-buku. Juga tak ada Edi yang tertawa sumringah saat bisa menghitung akar pangkat, dan aku yang kebingungan setengah mati memahami pelajaran Matematika Yani.

Hujan reda, Johar Baru masih ramai, mobil kebakaran tak lagi lalu-lalang. Mungkin yang berpapasan dengan kami adalah mobil terakhir yang meninggalkan lokasi. Bapak-bapak sekitar masih berkumpul, juga sebagian ibu-ibu sekitar. Dari percakapan yang kudengar, sebagian relawan masih mengatur nasi bungkus.

Rumah tempat dulu kami singgah masih di sana. Tak berubah.

Tak jauh dari sana, rumah Yani masih ada. Masih 1 meter saja dari rel kereta. Yang berubah hanya tembok-tembok PTKAI yang semakin kokoh, semakin tinggi, mungkin mencoba mengintimidasi.

Yani sudah SMA, dan masih mau dibayari sekolah meski tak lagi ada rumah singgah. Lalu hujan, membuatnya bergegas kembali ke rumah.

Jakarta malam hari, kembali syahdu.
(Andai kami tak perlu terburu memacu motor agar tak kuyup)

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi