10 tahun dan 24 jam
Semalaman aku tak bisa tidur. Dua-puluh-empat jam. Aku cuma punya dua-puluh-empat-jam, untuk menentukan mau ada di mana 10 tahun dari sekarang. Rasanya berlebihan betul, kalau membayangkan 10 tahun yang akan datang, ditentukan oleh keputusan dalam dua-puluh-empat jam ke depan.
Saat masuk SMA, ada dua pilihan sekolah populer yang sulit untuk ditolak. Salah satu SMA adalah sekolah yang sudah populer sejak dulu, sedang SMA lainnya adalah sekolah baru, percontohan sekolah unggulan. Ketika berkuliah, siapa sangka masuk Universitas Gadjah Mada tidaklah sesulit yang aku kira, dan siapa sangka masuk Universitas Sebelas Maret tanpa tes adalah semacam tak perlu mengeluarkan banyak effort, biarkan saja sekolah mengirimi mereka laporan belajarku. Lalu aku terima beres.
Saat mulai mencari pekerjaan, aku tidak pernah terbayang bisa membujuk bagian SDM dikoran ekonomi tertua di Indonesia untuk memberi pengumuman lebih cepat kepadaku dibanding kandidiat lain lantaran aku harus segera memberi kabar ke koran ekonomi lainnya mau menerima tawaran mereka atau tidak.
Kejadian sama terulang. Hanya saja, kali ini jauh lebih menggelisahkan. Sebelum-sebelumnya aku selalu tahu yang mana yang harus aku pilih. Tapi sekarang, aku bahkan ga tahu kata hati bilang apa.
Setelah tidak menindaklanjuti beberapa tawaran, akhirnya aku sampai pada dua tawaran yang paling membuat bimbang. Sebenernya yang paling menarik adalah melanjutkan kuliah, tetapi menerima LoA tiadalah berarti tanpa menerima beasiswa. Manalah aku mampu bayar US$35.000 per semester, belum lagi biaya hidup. Haha. Jadi sudahlah.
Pilihan pertama adalah pekerjaan yang paling aku inginkan, bekerja di isu lingkungan, di NGO internasional, banyak menulis, bekerja dengan bahasa pengantar Inggris-Indonesia, jalan-jalan ke pelosok hutan Indonesia, atau ke Kutub Utara! aaahhhh anak muda mana yang ga mau! Meski harga yang ditawarkan masih lebih besar dari apa yang kudapat di kantor sebelumnya, aku merasa bodoh juga karena ga nego. Haha, semacam tersilaukan sama cuti 20 hari yang ditawarkan.
Pilihan kedua akan sejalan dengan karir selama ini, dan akan bagus buat CV karena aku terhitung naik jabatan menjadi supervisor setelah bekerja hanya kurang dari 3 tahun. Harga yang dikasih juga lebih besar. Tapi tapi tapi… Aku ga yakin betah mengedit dan menulis berita ekonomi di kantor saja.
Sambil mengusap kepalaku, pasangan bilang: I'm not you, I can't think like you, I can't give you advice which one you want to take. But, what do you think you're good at? And how you see yourself 10 years from now? You can't make decision based on what you want to have this year or next year, you should think further.
Bisa jadi 10 tahun dari sekarang pasar saham tetap menggebu, dan hutan semakin habis dibabat. Aku pikir 10 tahun mendatang, kalau aku memutuskan untuk punya anak, aku ingin dia tetap bisa melihat harimau hidup, hutan hujan tropis yang hijau, minum air segar dari gunung tanpa harus melalui botol-botol plastik. Ataukah aku ingin dia paham soal harus ditaruh di mana uangnya? Mungkin 10 tahun lagi pasar saham kita akan sangat besar, seiring dengan punahnya orang utan atau owa jawa.
Detik-detik begini mau nangis rasanya. Karena aku ga tahu harus apa. Haha… Drama!
Nb: Kalau ada yang berkenan memberi saran, aku terima seluas-luasnya. Terima kasih banyak :)
Nambah lagi, seorang teman bilang faktanya kurang: jadi keduanya sama-sama pekerjaan tetap, dengan benefit yang hampir mirip: asuransi, jamsostek, dplk, bonus, dan THR. Bedanya si pekerjaan ke dua punya transportation allowance, dan pulsa, yang gedenya lumayan juga. Haha.
I don't believe that you have to choose the "right" path or there's a better path to get you to Whatever point you want for your live in the next ten years, I'm sure there're always ways to get it, to get around the obstacles. Even an math equation could be flexible. You want to get 10 you can add 2+8, or 5+5, or 1+1+1+1+6 or you can multiply 2 in 5 times
ReplyDeleteYou want to get ur masters, you can be an activist an get a bigger opportunity for scolarship, or you can just save up in the next 3-5 years to get 200 mio needed or you can ask your future rich husband to pay for you
You want to take care of the environment, I bet you can think 100 ways to do it
I urge you to think and ask yourself about how you want to spend your every day, your every months, because that's what's really matter, that's what will keep your soul alive or crush it
Also, I want to add one consideration that I haven't read in your musing Rika, I noticed that recently you had to take a bigger role in your family, first-born style. I don't know maybe you want a job that may accomodate it better in a regular basis, or you want to do it in a more unconventional, ninja style, it's your choice :)
*nangis berlinang-linang* Rinaaaa I do feel the role as the eldest sometimes become the number one, the massive urge whenever i make decision. but you're so true about how do I want to live my everyday life. would I want to become an 8 to 5 mbak-mbak kantoran with make up and well done hair-do, or do i want to wear my wash-out jeans and yelling on the street at one point, while smiling to the government some the other time.
DeleteI haven't decide yet, but I got more perspectives now. *peluuuuk*
Kok kalau dari kacamata orang luar kayaknya mudah rik menentukan pilihan. Pilihan kedua terlihat bagus, tetapi lebih menyenangkan memilih yang pertama. Kamu mendramatisir kali ... hahahahahak pisss :D
ReplyDeletelah, kan pancen kuwi masalahe mas. pilihan kedua bagus buat karir. semacam jadi editor setelah cuma 2 tahun jadi reporter kupikir bakal bagus buat kerjaan, apalagi aku emang pingin jadi wartawan sejak sd, tapi pilihan pertama offer me such a fun ninja style juga lebih banyak kesempatan untuk belajar banyak, keluar kota, buka kepala. buatku sih ga semudah itu antara pilih karir apa pilih hati. kalau mudah sudah kuputuskan sejak pekan lalu.
DeleteKarena keputusanmu udah diambil, apa aku sekarang boleh komen soal tes masuk ugm?? wakakakaaa
ReplyDeletehaha... mau komen apa kamu?
Delete