Posts

Showing posts from May, 2013

Makmur

Image
Akhir pekan lalu kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa, saat sebuah kapal tengah bersiap untuk berlayar ke Kalimantan. Aku tidak menyangka kapal yang dari luar tampak tak terlalu besar pun tak garang (tak tega sebut reot) itu menyimpan berton-ton barang. Mulai dari semen sampai minuman berkarbonasi. Kapal kayu itu, katanya biasanya membutuhkan waktu 3 hari untuk berlayar dari Sunda Kelapa ke Kalimantan. Melihat keadaan kapal, sebenarnya khawatir membayangkan dia mengarungi samudera Jawa-Kalimantan, Kalimantan-Jawa. Aku pikir ke Bakaheuni saja dia bakal ngos-ngosan. jembatan seadanya dan kapal yang tampak tak segarang perjalanan ke Kalimantan Aku jadi membayangkan, berapa biaya untuk memberi makan dan membayar buruh kapal selama 3 hari, belum lagi bensin, dan ongkos lain-lain. Pantas saja waktu 1995 di Papua, seikat bayam harganya bisa Rp5.000. Waktu itu, dengan menggunakan kapal pesiar besar saja butuh seminggu untuk sampai di Fak-Fak dari Merak. Kalau lihat jendela, cuma ada biru,

Kelas Menengah, Setengah Miskin

Tahun lalu (atau tahun lalunya lagi aku lupa) Bank Dunia pernah mengeluarkan penelitian soal kelas menengah. Mereka mendefinisikan kelas menengah sebagai kelompok yang menghabiskan uang US$2--US$20 tiap harinya. Dalam keadaan tertentu, menghabiskan kurang dari Rp20.000 (sebenarnya kurs tengah di Bank Indonesia hari ini Rp9.765 per dolar Amerika Serikat, tapi anggap saja Rp20.000 ya) per hari memang mungkin dilakukan. Ongkos dari kos ke kantor biasanya Rp6.000 pulang pergi. Diawali dengan menggunakan kopaja, lalu disambung metromini di pagi hari; dan menggunakan metromini lalu jalan kaki saat pulang. Artinya masih ada sisa Rp14.000. Biasanya aku menyimpan muesli dan sekarton susu segar di kantor, kadang-kadang juga yoghurt, jadi tak perlu keluar uang sarapan. Sementara makan siang kalau di warteg biasanya hanya menghabiskan Rp5.000 karena cuma makan sayur-sayuran, atau gado-gado tanpa telur Rp8.000. Sementara, akibat malas, atau kadang juga karena ngeri dengan kadar kebuncitan per

sarapan

Pagi ini kau putuskan untuk menjerang kata-kata dalam panci di atas api kecil                 :Kamu mau sarapan? lalu kata-kata matang yang kau jadikan sajak kumpulan terhidang di meja makan                 sebenarnya aku ingin bahasa baru yang disiram susu tapi aku tak mau kehilangan senyummu                 :Tentu mau!                 :dalam bahasa baru hanya terserak kunang-kunang                 sedang sajak terhimpun dari kenang-kenang kami pun lahap menyantap kenangan

ayah

Katanya cinta berjaga-jaga di tempat tak kasat mata seperti ayah yang sudah tak ada dan kenang-kenang yang menjauhi semesta karena sekali kau jadi piatu, atau yatim atau yatim-piatu maka kau akan yatim-piatu atau yatim atau piatu seumur hidupmu maka kenang-kenang adalah jerat yang harus kau telan dari cinta yang tak kasat mata dan ayah yang tak pernah kau tahu untuk siapa cintanya baiknya untuk ibu saja tapi bisa jadi untuk tante bepupur tebal yang rasanya ingin kau makan lalu kau pikir-pikir mungkin sering kali cinta tak kasat mata tapi kadang-kadang kaulihat dia dari ingatan rasa pindang iga buatan ayah atau kiriman uang yang (dulu) kau terima tiap tanggal dua-lima yang juga sampai ke tangan tante bergincu merah yang membuatmu marah

Menyoal Pemberitaan Lendir Berjanggut

Image
"Hebat ya ini Fathanah, perempuannya ga habis-habis," kata seorang teman saat istirahat siang lalu. Aku mengernyitkan dahi "Kok hebat? Harusnya: berengsek ya Fathanah." Lalu dia meralat: "Iya, hebat brengseknya maksudnya," Kasus suap impor daging sapi merembet pada banyak hal. Namun bisa jadi yang paling digemari adalah rembetan pada perempuan. Hingga akhirnya, setidaknya dalam penglihatan saya, kasus korupsi itu sendiri mengalami semacam banalisasi. Media lebih suka membongkar-bongkar cerita perempuan mana yang gincunya dibelikan Fathanah, alih-alih bercerita soal betapa ingkarnya gerombolan pejabat terhadap kepercayaan warga, atau setidaknya pada pendukung partainya. Kami sedang makan malam di Kota Kasablanka saat kotak layar kaca merujuk pada perempuan berjilbab yang tampak dirundung masalah. Perempuan dalam televisi bercerita betapa tak memahami isi hati sang suami. Mengapa semakin banyak saja perempuan bermunculan, mengapa begitu besar uang

anak gadis sebelah

setiap hari rabu, ayah terburu-buru sepatunya disemir sampai mengkilap betul lalu mata ikat pinggangnya dibraso sampai berkilau "Biar tak kalah sama matamu yang berkilat-kilat  melihat payudara anak gadis sebelah" katanya, membuatku malu. Rabu kali ini ayah juga terburu-buru aku lihat dia menggebu nafasnya memburu memandangi bibir bergincu milik ibu dari anak gadis yang dia sebut-sebut itu                                                                                                         

Senja di Jakarta

Image
Ada senja di jakarta Senja yang tak banyak bicara Tapi suka berpura-pura Kadang kadang jadi buaya Kali lain jadi elang jawa Asal jangan jadi raja singa saja Lalu senja pindah ke matamu dua puluh tahun lalu bola matamu masih lugu kelopaknya mengerjap-ngerjap dungu tak tahu kalau ayah sedang melucu kau pikir dia akan memukulmu Sekarang matamu memandang ngilu menerima senja yang mencairi kelopak matamu melahap bulan pada sungai-sungai di hulu

10 tahun dan 24 jam

Semalaman aku tak bisa tidur. Dua-puluh-empat jam. Aku cuma punya dua-puluh-empat-jam, untuk menentukan mau ada di mana 10 tahun dari sekarang. Rasanya berlebihan betul, kalau membayangkan 10 tahun yang akan datang, ditentukan oleh keputusan dalam dua-puluh-empat jam ke depan. Sejak aku masuk sekolah menengah, semesta selalu memberi dua pilihan sebelum pindah jenjang. kedua pilihan selalu sama baik, dan kedua pilihan selalu menjadi pilihan berat. Saat masuk SMA, ada dua pilihan sekolah populer yang sulit untuk ditolak. Salah satu SMA adalah sekolah yang sudah populer sejak dulu, sedang SMA lainnya adalah sekolah baru, percontohan sekolah unggulan. Ketika berkuliah, siapa sangka masuk Universitas Gadjah Mada tidaklah sesulit yang aku kira, dan siapa sangka masuk Universitas Sebelas Maret tanpa tes adalah semacam tak perlu mengeluarkan banyak effort, biarkan saja sekolah mengirimi mereka laporan belajarku. Lalu aku terima beres. Saat mulai mencari pekerjaan, aku tidak pernah terb

Tanggal Merah

Malam hampir larut, dan pengemis di jembatan penyebrangan bersungut-sungut Karena ayah lewat tanpa melempar seribuan kusut Malam sudah larut, adik juga bersungut-sungut saat ayah mematikan televisi ketika berpura-pura sekadar melewati ruang keluarga. Kata ayah anak pintar harus tidur jam sembilan. Kata adik, ayah pintar seharusnya membiarkan anaknya terjaga sedikit lama karena esok tak perlu berangkat ke sekolahan. Rupanya ayah lupa kalau besok tanggal merah. Dia kira pemerintah menghitamkan semua kalendernya agar buruh terus bekerja dan lupa marah. Tapi saat dia periksa, kalender di ruang kerja tak punya tanggal merah. “Mungkin percetakan kehabisan tinta,”             kata Ibu sambil tersenyum dan merengkuh pundak ayah. Tapi Ibu tak di sana. Sudah selarut ini, Ibu di mana. “Ibu, Ibu di mana?” kataku pada corong telepon “Aku di sini, di dalam sakitmu,” kata suara yang bukan milik Ibu di seberang yang tak kutahu ada di mana.

Jakarta Malam Hari

Image
Jalanan Jakarta begitu syahdu saat transjakarta tak lagi beroperasi. Cuma ada satu-dua taksi, atau mobil pribadi. Sebagian bergegas menuju rumah, disambut wajah berseri sang istri, ada juga yang menuju hotel tempat janji temu dengan istri Pak Haji, atau ada yang disambut mantan kekasih temannya yang berpagutan dengan sang istri di rumah sendiri. Saat malam-malam seperti ini, tak ada lagi anak-anak kecil dan gelandangan di jembatan penyebrangan. Tebakanku, mereka selesai bekerja pada jam sembilan, dan kembali ke paribaan sepeti pekerja-pekerja lain yang berpantalon dan jas pesanan. Pekerja di pusat belanjaan mulai meninggalkan lampu-lampu terang, dan pendingin ruangan. Riasan wajah tinggal ala kadarnya, habis disapu waktu dan debu dalam perjalanan ke kampung belakang. Satu-satunya tempat yang menyediakan kamar-kamar paling murah di ibu kota. Sebut saja murah meski sebenarnya terlalu mahal untuk udara pengap dan air berbau sengak. Namun itu tetap yang termurah di ibu kota. Sela

Seperti

Hidup sering kali begitu sederhana, sampai aku tak tahu butiran waktu sedang meleleh di ujung bulu mata. Seperti kertas pembungkus gorengan yang kutemukan di atas meja kantin saat istirahat makan siang. Kertas penuh minyak dengan tulisan pensil berantakan. Minggu sebelumnya adik mengajarkan ayah menulis. Katanya pemulung yang bisa menyekolahkan anaknya pasti mampu juga mengalahkan huruf-huruf di papan tulis ibu guru. Seperti calon sepatu barumu yang sedikit tergores, tapi kau tetap membawanya ke kasir. Seperti senja yang begitu cepat datang dan menghilang. Seperti cinta yang berjaga di tempat-tempat yang tak kasat mata.

kalau aku rindu ayah

Kalau aku rindu ayah, lalu aku harus apa? Mencari-cari amnesia, mengais lupa? Menebar mawar merah pada keranda, membakar dupa, menyalahkan semesta? Merapal doa-doa, kepada siapa? Ah, kalau aku rindu ayah, lantas bagaimana?

hati-hati

Hal paling mengerikan: komitmen Dua hal yang paling mengerikan: komitmen komitmen Tiga hal yang paling mengerikan: komitmen komitmen komitmen hati-hati menjaga hati. Aku tak pandai menjaga hati, mungkin sebaiknya jangan pakai hati.

Hari Rabu

Aku mau mati hari Rabu lalu hidup lagi hari Sabtu supaya bisa pura-pura tak tahu apa yang kulihat di balik mata-mu --spesial pake telor buat @cyapila--

Takut

Kadang-kadang kita takut mengambil keputusan, takut salah, takut sakit, takit gagal, takut, takut. Takut saja terus, tak ada habisnya.