Proyek Mikro dan Ikan (1/5)
Ceritanya sebelum berhenti bekerja sebagai jurnalis (setidaknya untuk sementara ini), beberapa bulan lalu aku berniat bikin proyek kecil, menulis sedikit soal hal-hal yang selama ini tidak terlalu diperhatikan di koran tempat bekerja. Ketika ide datang, datang pula tawaran kelas menulis perbankan di AJI. Jujur kelasnya tidak signifikan berpengaruh, satu-satunya kelas yang aku ikuti dengan sungguh-sungguh cuma kelas makro ekonomi. Seru betul kelas itu! Namun setidaknya deadline dan time-line kelas menulis mendorong untuk ajeg mengerjakan proyek kecil tak seberapa ini.
Kenapa Mikro dan Ikan?
(Semacam latar belakang masalah kenapa aku pilih proyek menulis ini)
Kenapa kredit mikro, karena Indonesia ini pasar kredit mikro yang luar biasa besar. Tidak cuma bank lokal, bank asing mulai masuk ke bisnis mikro, juga lembaga keuangan asing, sebut saja Grameen Foundation. Kenapa perikanan, karena ini sektor yang paling sulit mendapatkan pinjaman.
Kenapa Mikro dan Ikan?
(Semacam latar belakang masalah kenapa aku pilih proyek menulis ini)
Kenapa kredit mikro, karena Indonesia ini pasar kredit mikro yang luar biasa besar. Tidak cuma bank lokal, bank asing mulai masuk ke bisnis mikro, juga lembaga keuangan asing, sebut saja Grameen Foundation. Kenapa perikanan, karena ini sektor yang paling sulit mendapatkan pinjaman.
Dalam pemberitaan mengenai ekonomi dan pembangunan, kelompok minoritas sering kali dibaca sebagai objek penerima bantuan pasif yang harus disejahterakan.
Hal tersebut sejalan dengan pola pemerintahan SBY yang mengembangkan pola santunan, yaitu lebih bertujuan melindungi dan menyantuni, tanpa melihat kekuatan ekonomi kelompok minoritas yang bisa memiliki peran untuk membawa perubahan, pertama-tama bagi kehidupan mereka sendiri.
SBY setidaknya dua kali menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), setelah dua kali menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Padahal pemenang Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen mengungkapkan kekuatan dan peranan ekonomi kelompok minoritas tidak terletak pada bantuan pemerintah, melainkan pada keaktifan masing-masing untuk membantu dirinya melalui kebebasan memilih dan hak untuk bersuara. Hal tersebut disebut Sen sebagai Agensi Bebas.
Kebijakan yang melihat kelompok minoritas sebagai agensi yang bebas bukanlah tidak mungkin dilakukan. Sebagai contoh, sejak 2010 Pemerintahan Obama telah meluncurkan 10 paket kebijakan yang memastikan keberpihakan kepada kelompok minoritas.
Salah satu kebijakan tersebut adalah SBA Recovery Act Loans yang memudahkan kelompok minoritas memiliki usaha untuk melakukan pinjaman ke industri perbankan. Kebijakan lainnya adalah Wall Street Reform yang menekankan pada edukasi dan perlindungan keuangan.
Meski Indonesia belum memiliki peraturan menyeluruh yang terstruktur, sejak 2010 bank sentral telah meluncurkan program edukasi dan penetrasi perbankan melalui model generik produk TabunganKu, baik yang ditawarkan melalui bank umum, maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Selain itu pemerintah juga sebenarnya memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR merupakan program pembiayaan mikro dan kecil melalui tujuh bank umum terpilih, serta 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Meski demikian dana KUR sepenuhnya berasal dari bank, pemerintah hanya bertindak sebagai penjamin, itu pun tidak seluruhnya. Hanya 50%--70% risiko kredit yang disalurkan dijamin oleh pemerintah. Sementara suku bunga yang ditetapkan adalah 13% bagi pinjaman mikro dan 22% bagi non-mikro.
Program KUR memang tampak apik dan menjanjikan pengembangan agensi bebas. Namun Persoalan klasik di lapangan belum juga hilang, sering kali calon-calon debitur terganjal masalah administrasi. Misalnya pemilik usaha kecil sering kali tidak memiliki pembukuan usaha sehingga aliran dana (cash flow) dan aset tidak terdeteksi, menjadikan mereka sulit berbank atau dikenal dengan keadaan unbankable.
Persoalan menjadi lebih pelik bagi kelompok pembudidaya ikan, apalagi nelayan. Dari seluruh kelompok usaha mikro dan kecil, nelayan dan pembudi daya adalah kelompok yang paling sulit mendapatkan pembiayaan dari perbankan, terlihat dari rendahnya serapan kredit ataupun pembiyaan oleh usaha perikanan mikro dan kecil.
Hingga November 2012 serapan KUR oleh nelayan dan pembudidaya bahkan tidak mencapai 1% dari total baki debet. Sementara rasio kredit bermasalah juga berada di atas batas toleransi bank sentral sebesar 5% dari total penyaluran.
Penyaluran pembiayaan mikro, kecil, dan menengah kepada sektor kelautan dan perikanan menyisakan kredit bermasalah Rp252,3 miliar dalam periode 11 bulan/ 2012, hal ini menjadikan sektor perbankan enggan terlalu banyak menyalurkan kredit ke perikanan.
Direktur Eksekutif Departemen Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Bank Indonesia Zainal Abidin mengungkapkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/ NPL) dalam pembiayaan UMKM sektor kelautan terbilang cukup tinggi, mencapai 8% atau Rp252,3 miliar.
Adapun bank sentral memang menetapkan indikator rasio kredit bermasalah 5% bagi bank. Hal ini merupakan indikator kinerja fungsi penyaluran kredit bank. Kinerja bank dianggap tidak baik apabila rasio kredit macet di atas 5%, artinya ada lebih dari 5% dari total pembiayaan yang sulit dikembalikan oleh peminjam. Merujuk pada hal inilah bank enggan menyalurkan terlalu banyak kredit ke sektor perikanan.
Penyaluran baki debet kredit UMKM ke sektor perikanan hingga November 2012 baru mencapai Rp3,08 triliun, jauh lebih rendah dari total baki debet kredit UMKM sebesar Rp542 triliun per November 2012. Bahkan nilai tersebut hampir tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total penyaluran kredit keseluruhan yang mencapai Rp2.647,93 triliun.
Penyaluran pembiayaan kepada perikanan tersebut sebagian besar besar digelontorkan kepada sektor perikanan budi daya yang mencapai 56% atau Rp1,7 triliun. Sementara perikanan tangkap hanya memperoleh pembiayaan Rp913 miliar atau sekitar 30% dari total pembiayaan. Sisanya sekitar 3% disalurkan kepada pembiayaan bagi sarana dan prasarana produksi.
Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Djarot Kusumayakti mengungkapkan sejak awal berdiri perseroan merupakan koperasi kelompok nelayan. Per januari 2013 baki debet kepada sektor perikanan mencapai Rp1,8 triliun melalui skema KUR dan kredit komersial.
Namun Djarot juga mengungkap persoalan teknis yang kerap dihadapi di lapangan, yaitu terkadang kelompok nelayan enggan membayar pinjaman karena menganggap dana tersebut milik negara. Padahal pada kenyataannya dana tersebut merupakan dana pihak ketiga (DPK) perseroan. Pun dalam program KUR pemerintah tidak memberikan pendanaan melainkan sekadar penjaminan asuransi pembiayaan.
Persoalan lain yang dikeluhkan nelayan adalah ketidakmampuan memberikan agunan. Padahal bank juga mengkhawatirkan risiko pembiayaan tanpa agunan. Mengenai persoalan tersebut Direktur Utama BRI Sofyan Basir menyarankan agar nelayan membuat koperasi. Menurutnya apabila dalam satu kapal terdiri atas 10 nelayan, maka mereka dapat membuat koperasi guna memudahkan akses pembiayaan.
Bahan bacaan:
Black, Sandra E. 1999. Investigating The Link Between Competition and Discrimination. New York: Monthly Labour Review.
Jurnal Perempuan No. 74, 2012. Siapakah Agen Ekonomi?. Jakarta.
Komite KUR. Sebaran Kredit Usaha Rakyat Periode November 2007—November 2012. Jakarta.
Hal tersebut sejalan dengan pola pemerintahan SBY yang mengembangkan pola santunan, yaitu lebih bertujuan melindungi dan menyantuni, tanpa melihat kekuatan ekonomi kelompok minoritas yang bisa memiliki peran untuk membawa perubahan, pertama-tama bagi kehidupan mereka sendiri.
SBY setidaknya dua kali menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), setelah dua kali menaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Padahal pemenang Nobel Ekonomi 1998 Amartya Sen mengungkapkan kekuatan dan peranan ekonomi kelompok minoritas tidak terletak pada bantuan pemerintah, melainkan pada keaktifan masing-masing untuk membantu dirinya melalui kebebasan memilih dan hak untuk bersuara. Hal tersebut disebut Sen sebagai Agensi Bebas.
Kebijakan yang melihat kelompok minoritas sebagai agensi yang bebas bukanlah tidak mungkin dilakukan. Sebagai contoh, sejak 2010 Pemerintahan Obama telah meluncurkan 10 paket kebijakan yang memastikan keberpihakan kepada kelompok minoritas.
Salah satu kebijakan tersebut adalah SBA Recovery Act Loans yang memudahkan kelompok minoritas memiliki usaha untuk melakukan pinjaman ke industri perbankan. Kebijakan lainnya adalah Wall Street Reform yang menekankan pada edukasi dan perlindungan keuangan.
Meski Indonesia belum memiliki peraturan menyeluruh yang terstruktur, sejak 2010 bank sentral telah meluncurkan program edukasi dan penetrasi perbankan melalui model generik produk TabunganKu, baik yang ditawarkan melalui bank umum, maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Selain itu pemerintah juga sebenarnya memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR merupakan program pembiayaan mikro dan kecil melalui tujuh bank umum terpilih, serta 26 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Meski demikian dana KUR sepenuhnya berasal dari bank, pemerintah hanya bertindak sebagai penjamin, itu pun tidak seluruhnya. Hanya 50%--70% risiko kredit yang disalurkan dijamin oleh pemerintah. Sementara suku bunga yang ditetapkan adalah 13% bagi pinjaman mikro dan 22% bagi non-mikro.
Program KUR memang tampak apik dan menjanjikan pengembangan agensi bebas. Namun Persoalan klasik di lapangan belum juga hilang, sering kali calon-calon debitur terganjal masalah administrasi. Misalnya pemilik usaha kecil sering kali tidak memiliki pembukuan usaha sehingga aliran dana (cash flow) dan aset tidak terdeteksi, menjadikan mereka sulit berbank atau dikenal dengan keadaan unbankable.
Persoalan menjadi lebih pelik bagi kelompok pembudidaya ikan, apalagi nelayan. Dari seluruh kelompok usaha mikro dan kecil, nelayan dan pembudi daya adalah kelompok yang paling sulit mendapatkan pembiayaan dari perbankan, terlihat dari rendahnya serapan kredit ataupun pembiyaan oleh usaha perikanan mikro dan kecil.
Hingga November 2012 serapan KUR oleh nelayan dan pembudidaya bahkan tidak mencapai 1% dari total baki debet. Sementara rasio kredit bermasalah juga berada di atas batas toleransi bank sentral sebesar 5% dari total penyaluran.
Penyaluran pembiayaan mikro, kecil, dan menengah kepada sektor kelautan dan perikanan menyisakan kredit bermasalah Rp252,3 miliar dalam periode 11 bulan/ 2012, hal ini menjadikan sektor perbankan enggan terlalu banyak menyalurkan kredit ke perikanan.
Direktur Eksekutif Departemen Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Bank Indonesia Zainal Abidin mengungkapkan rasio kredit bermasalah (non performing loan/ NPL) dalam pembiayaan UMKM sektor kelautan terbilang cukup tinggi, mencapai 8% atau Rp252,3 miliar.
Adapun bank sentral memang menetapkan indikator rasio kredit bermasalah 5% bagi bank. Hal ini merupakan indikator kinerja fungsi penyaluran kredit bank. Kinerja bank dianggap tidak baik apabila rasio kredit macet di atas 5%, artinya ada lebih dari 5% dari total pembiayaan yang sulit dikembalikan oleh peminjam. Merujuk pada hal inilah bank enggan menyalurkan terlalu banyak kredit ke sektor perikanan.
Penyaluran baki debet kredit UMKM ke sektor perikanan hingga November 2012 baru mencapai Rp3,08 triliun, jauh lebih rendah dari total baki debet kredit UMKM sebesar Rp542 triliun per November 2012. Bahkan nilai tersebut hampir tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan total penyaluran kredit keseluruhan yang mencapai Rp2.647,93 triliun.
Penyaluran pembiayaan kepada perikanan tersebut sebagian besar besar digelontorkan kepada sektor perikanan budi daya yang mencapai 56% atau Rp1,7 triliun. Sementara perikanan tangkap hanya memperoleh pembiayaan Rp913 miliar atau sekitar 30% dari total pembiayaan. Sisanya sekitar 3% disalurkan kepada pembiayaan bagi sarana dan prasarana produksi.
Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Djarot Kusumayakti mengungkapkan sejak awal berdiri perseroan merupakan koperasi kelompok nelayan. Per januari 2013 baki debet kepada sektor perikanan mencapai Rp1,8 triliun melalui skema KUR dan kredit komersial.
Namun Djarot juga mengungkap persoalan teknis yang kerap dihadapi di lapangan, yaitu terkadang kelompok nelayan enggan membayar pinjaman karena menganggap dana tersebut milik negara. Padahal pada kenyataannya dana tersebut merupakan dana pihak ketiga (DPK) perseroan. Pun dalam program KUR pemerintah tidak memberikan pendanaan melainkan sekadar penjaminan asuransi pembiayaan.
Persoalan lain yang dikeluhkan nelayan adalah ketidakmampuan memberikan agunan. Padahal bank juga mengkhawatirkan risiko pembiayaan tanpa agunan. Mengenai persoalan tersebut Direktur Utama BRI Sofyan Basir menyarankan agar nelayan membuat koperasi. Menurutnya apabila dalam satu kapal terdiri atas 10 nelayan, maka mereka dapat membuat koperasi guna memudahkan akses pembiayaan.
Bahan bacaan:
Black, Sandra E. 1999. Investigating The Link Between Competition and Discrimination. New York: Monthly Labour Review.
Jurnal Perempuan No. 74, 2012. Siapakah Agen Ekonomi?. Jakarta.
Komite KUR. Sebaran Kredit Usaha Rakyat Periode November 2007—November 2012. Jakarta.
Apik Ndhuk.. Teruske.. :))
ReplyDelete