Orang Dewasa
Beberapa hari lalu aku menemukan berita bernada marah dan mengecam tindakan anak perempuan belasan tahun yang katanya menghina agama lantaran mempermainkan gerakan solat. Bahkan menurut media online yang kubaca, remaja-remaja itu dikeluarkan dari sekolah.
Saat seumur itu (kalau tidak salah mereka SMP) aku bersekolah di sekolah yang berlandaskan agama. Setiap hari jumat di sekolah kami ada kotak amal yang diedarkan ke ruang-ruang kelas.
Saat itu, aku punya uang mainan bernominal 20.000. Aku masukan saja uang itu ke kotak amal hijau yang mampir ke mejaku. Aku pikir itu lucu, dan aku ikhlas membagi 20.000-ku. Siapa sangka wakil kepala sekolah meminta bertemu di ruangannya dalam waktu kurang dari satu jam sejak uang itu kuloloskan dari lubang kecil di atas kotak amal.
Aku tak sendirian, teman yang duduk sebangku denganku juga dipanggil karena melakukan hal yang sama. Bedanya teman hanya diam saja ketika dicecar wakil kepala sekolah, dan aku bertanya terheran-heran.
Aku tetap tak paham kenapa tindakanku dianggap menghina agama. Kupikir itu lucu. Dan kalau bagi wakil kepala sekolah hal itu tidak lucu, ya singkirkan saja uang mainan itu dari dalam kotak kayu. Kenapa dipersulit?
Begitu pikirku.
Maka berulang kali aku bertanya: apanya yang kurang ajar dari menaruh uang mainan di dalam kotak kayu?
Sampai lulus sekolah, wakil kepala sekolah tak pernah memberi jawaban. Yang ada, sejak saat itu aku dicap sebagai anak yang berani melawan guru.
Setelah dicap menghina agama, lalu aku dibilang melawan guru. Apalah ini maksudnya, tak sekalipun aku paham. Waktu itu aku mungkin kelas 2 SMP, dan hingga aku lulus, aku ingat guru-guru tak ramah pada anak perempuan yang suka melawan ini. Mereka hanya ramah di hari pembagian ijazah, mungkin karena NEM-ku tertinggi di antara teman sekolah.
Tapi aku, tetap tak mendapat jawaban dari mereka kenapa aku dianggap kurang ajar dan melawan, padahal aku hanya ingin dijelaskan apa salahnya bermain-main dengan uang-uangan.
Kupikir saat itu aku meminta diskusi, bukan jawaban-jawaban satu arah yang canggung dan menggurui a la orang dewasa, dengan kata kunci: pokoknya. Aku butuh penjelasan yang lebih mudah dimengerti oleh otak remaja-ku yang meledak-ledak dan berfikir pendek, penjelasan yang bisa kupahami soal orang-orang dewasa yang tersulut emosi karena selembar kertas persegi warna-warni.
Kenapa tak ada satupun orang dewasa yang sudi "merendah" dan berbicara dengan bahasa remaja. Jangan berharap remaja berbicara dengan bahasa orang dewasa, remaja belum pernah tahu rasanya dewasa, tapi orang dewasa, pasti melalui fase remaja.
Remaja perempuan yang begitu sengau mengajinya dalam tayangan youtubue itu, jangankan berniat menghina agama, aku yakin arti dari frasa menghina agama saja belum tentu mereka paham. Aku bukan psikolog, enggan menerka-nerka motifnya tapi yang kutangkap, mereka sekadar iseng dan berbagi tawa.
Saat mengetahui tindakan "lucu" itu jadi berita nasional, membuat dikeluarkan sekolah, dicemooh masyarakat, dan dihina-dina orang-orang yang merasa paling paham soal agama, mereka pasti kaget setengah mati. Mungkin bisa jadi trauma (ah, siapalah aku bernai-berani pakai kata trauma).
Tiba-tiba orang dewasa mengeroyok mereka atas nama tuhan dan agama, menuduh merek berbuat hina, dan aku hampir yakin tanpa penjelasan proporsional dalam bahasa remaja, dan kaca mata remaja. Karena orang dewasa yang berkuasa.
Mereka lupa, sebelum bertindak atas pikiran sendiri, pertama-tama yang dilakukan anak-anak adalah imitasi. Mereka lupa, negara membatasi usia 17 tahun sebelum dapat mengakui keberadaan individu independen dengan pemikiran dan tanggung jawab sendiri.
Bukankah akhirnya tindakan remaja saat ini juga adalah apa-apa yang mereka serap dari orang dewasa di sekitarnya, dari lingkungannya?
Ah, orang dewasa.
Comments
Post a Comment