Mobil Baru
Kata Ibu, adik tak suka mobil di rumah. Setelah bertahun lalu dia memodifikasi mobil keluarga menjadi mobil aneh dengan subwoofer yang tak pantas, hingga semua orang merasa tak lagi nyaman, kini dia marah-marah pada ibu soal betapa jeleknya mobil Ibu.
Dia bilang dia begitu kesal karena harus kehujanan saat berangkat kuliah akibat mengendarai sepeda motor. Saat Ibu meminta dia membawa mobil Ibu, dia bilang lebih baik dia menggunakan angkot dari pada mobil Ibu karena mobil Ibu sungguh memalukan bentuknya.
Ah, apakah anak kuliah masa kini menjadi begitu bergengsi sehingga malu memakai mobil tua?
Aku kuliah berjalan kaki. Kadang-kadang naik bis, kadang-kadang menebeng teman. Namun Fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada 2004 diisi oleh orang-orang yang berjalan kaki atau naik sepeda. Jadi menebeng bukan opsi yang sering muncul, dan bis juga hanya satu-dua. Mungkin jam lima sudah hampir tak ada yang lewat, jalan juga akhirnya dari Bulaksumur ke Jalan Kaliurang Km 6.
Aku suka berjalan kaki. Makin hari kulitku makin gelap. Saat pulang ke rumah ayah bilang aku seperti tukang becak, berkulit gelap dan berambut merah. Aku bilang Jogja panas, aku enggan mengenakan jaket saat berjalan kaki, gerah. Maka kulitku terbakar. Tapi aku suka, kulitku tampak bagus warnanya, cokelat, tak seperti kulit ibu yang kuning, atau kulit ayah yang begitu putih. Kupikir aku suka cokelat.
Menjelang semester 6, ayah begitu baik membelikan motor merah, dan meminjamkan mobil saat semester akhir. Mobil yang lebih banyak diam di kos. Saat ayah mulai masuk-keluar-masuk rumah sakit setahun sebelum meninggal, aku sudah merasa tak enak saat meminta uang. Lalu aku tak lagi berani meminta uang jajan setelah ayah meninggal, kecuali kepepet belum bayar tagihan kos. Hehe... Sementara hasil bekerja paruh waktu di dua tempat hanya cukup untuk bayar kos, makan a la kadarnya, dan mengurusi tetek bengek skripsi. Manalah ada dana untuk mengurusi mobil.
Dulu ayah mendapat kendaraan dari kantor, katanya, aku tak pernah tahu karena selalu ribuan kilometer jauhnya dari rumah, bahkan aku tak pernah ke rumah ayah di Riau sana, dan Ibu mengendarai mobil birunya itu. Kijang yang berisi sepatu-sepatu, baju-baju yang tergantung, kaus kaki, seragam bau keringat, dan terkadang handphone yang dinyatakan hilang beberapa hari.
Aku suka mobil biru Ibu, mobil itu yang pertama kali kugunakan saat belajar berkendara, kupacu di antara truk raksasa dan peti kemas. Kata supirku, kalau mau pandai berkendara, aku harus berani menyelinap di jalanan Lintas Timur Sumatera.
Maka aku sedih mobil Ibu dibilang lebih jelek dari angkot.
Mobil Ibu memang jauh berbeda dibandingkan terakhir kali kugunakan. Lapisan pada pintu terbakar dan menghitam di sana-sini, kucurigai akibat rokok. Jendelanya tergores, juga badan mobilnya. Kursi belakang tak bisa lagi tegak karena terhimpit subwoofer norak. Belum lagi kalau dikendarai. Mungkin lebih murah memberi mobil baru dari pada membuat mobil Ibu jadi enak dipakai kembali.
Itu yang diinginkan adik, mobil baru. Katanya ia bosan kehujanan.
Aku ingin marah. Namun, kupikir ayah, juga ibu, tak akan bahagia kalau anak-anaknya berkelahi karena urusan harta yang tak bisa dibawa mati.
Namun aku tetap tidak suka adik terus menerus meminta mobil baru kepada Ibu. Apa dia pikir beli mobil baru itu seperti beli nasi uduk di persimpangan jalan?
Ah, mobil baru.
Comments
Post a Comment