Kepelikan Rumah Tangga hingga Kredit Bermasalah (3/5)


“Udang itu ada mitosnya, mbak. Ketika tanam udang, saya dan istri harus akur, ndak boleh ada macam-macam. Hubungan harus dijaga. Jadi ya kadang sewaktu-waktu udang itu ga ada padahal kita sudah tanam banyak. Tapi gilirannya ada, ya ada aja, itu giliran panen banyak, padahal tanam juga nggak seberapa.”

Bisa jadi mitos belaka, tetapi setidaknya itulah yang dipercaya Samsudin (42 tahun), pemilik 1 hektare tambak udang di Desa Singaraja, Indramayu.

Petambak tradisional kebanyakan mengembangkan usaha secara otodidak berdasar pengalaman leluhur, atau memperoleh pengalaman dari keluarga yang telah turun temurun menggeluti bidang yang sama.

Padahal bisa saja penyebab kegagalan panen adalah populasi udang yang terlalu padat, alih alih akibat kepelikan hubungan rumah tangga seperti yang dituduhkan Samsudin.

Salah satu persoalan dalam pertambakan misalnya eksploitasi lahan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian tanahnya. Sebut saja wilayah Pinrang, dalam kurun 10 tahun sejak 1989 hingga 1999 tercatat 6.000 lahan yang dikonversi menjadi tambak udang. Belum lagi kebanyakan lahan dipaksa terus berproduksi tanpa diperhatikan kesuburannya.

Kurangnya pengetahuan dan pengelolaan tanpa teknik memadai biasanya berimbas pada penurunan kualitas air, padat penebaran benih yang tidak sesuai, kurangnya kualitas pakan, serta ketiadaan pencegahan penyakit. Muaranya pertumbuhan udang menjadi lambat, udang keropos, kematian satu per satu, atau paling parah mati total sebelum umur panen.

Itu saja belum menghitung persoalan kuasa alam seperti perubahan iklim, dan curah hujan yang terlalu tinggi.

Samsudin boleh melihatnya sebagai mitos, tetapi kerugian bukan mitos belaka. Dia bercerita, bertahun lalu Singaraja adalah desa kaya dengan ribuan hektare tambak udang. Namun kegagalan panen melanda wilayah tersebut, menyebabkan kebangkrutan, tidak hanya pada petambak tradisional, tetapi juga petambak modern. Itu adalah masa di mana dia memutuskan menjadi supir taksi putih tarif bawah di Ibukota.

Petambak tradisional bukan satu-satunya. Hal yang sama juga terjadi pada nelayan. Kebanyakan nelayan tradisional memiliki kapal dengan kapasitas di bawah 10 gross ton (GT), atau bahkan di bawah 5 GT, tanpa pengetahuan formal mengenai teknik, ekonomi, apalagi oceanografi.

Dengan kapal kecil, daya tampung dan daya jangkaupun menjadi sempit. Kapal harus sering-sering kembali ke pelabuhan untuk menyetor ikan lantaran kapalnya kepenuhan. Hal ini tentu menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi terutama dari aspek bahan bakar. Belum lagi energi dan waktu yang terbuang.

Sementara dalam kesempatan lain nelayan tak bisa mendapatkan banyak ikan, hanya bisa membawa ikan-ikan kecil yang hampir tak layak tangkap sebagai indikasi over fishing akibat daya jelajah nelayan yang hanya bisa menangkap ikan di wilayah itu-itu saja.

Belum lagi persoalan perubahan iklim yang memaksa nelayan berkawan badai tanpa teknologi mumpuni. Maklum saja, teknologi navigasi nelayan tradisional kita mungkin tak jauh berbeda dengan teknologi Pinisi saat Kerajaan Luwu masih berdiri.

Seperti yang terjadi pada awal tahun ini, selalu ada masa nelayan terpaksa dirumahkan, dan harus bekerja serabutan. Rentang masa melipat layar bisa saja beberapa hari, minggu, atau bahkan bulan, tergantung kemurahan alam.

Dengan segala macam risiko tersebut, jangankan bank, pun pelaku usaha tidak berani mengajukan aplikasi pinjaman. Mereka khawatir panen gagal, padahal utang terlanjur bertumpuk. Sebab itu Samsudin lebih memilih mengembangkan tambak udang seadanya dengan dana sendiri.

Direktur Direktorat Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan UMKM Bank Indonesia (BI) Zainal Abidin berkisah, 20 tahun lalu bank banyak menyalurkan kredit kepada nelayan melalui skema Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Sayangnya banyak pinjaman bermuara pada kredit macet.

Dia menduga kredit macet terjadi lantaran nelayan dan pembudidaya ikan hidup berpindah-pindah. Hal tersebut menyulitkan bank saat melakukan penagihan. Selain itu edukasi yang minim juga menyebabkan kurangnya kesadaran pengembalian kreditoleh debitur. Terhitung sejak saat itu bank sangat mereferensikan nasabah untuk memiliki tempat tinggal permanen dan sertifikat yang dapat dijadikan agunan.

Bank tentu mencatat kesulitan penagihan, serta ketidaksinambungan panen dan  hasil tangkapan sebagai risiko besar terhadap keberlangsungan pengembalian dana pinjaman. Sebab itu pada titik ini bank berharap pada jaminan.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir mengatakan jaminan yang dimaksud tidak harus berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh notaris. Nelayan maupun pembudidaya bisa saja mengagunkan girig, ketok, ataupun surat keterangan tanah hibah dari Sultan sebagai agunan terhadap pinjaman.

Namun, untuk pinjaman di bawah Rp20 juta asalkan calon debitur memiliki usaha, dan dapat menunjukan usahanya tersebut. Nantinya aset usaha itulah yang akan digunakan sebagai jaminan untuk dapat mencairkan kredit.

Persoalannya, tidak semua calon debitur mau terbuka pada kegiatan usaha yang dijalani. “Kadang kan debitur ini gak mau ceritakan apa bisnisnya, pokoknya taunya terima uang aja. Dia pikir mau apa bank mengecek segala. Padahal kami harus sangat prudence dalam menyalurkan pembiayaan karena ini dana nasabah juga yang disalurkan. Ini yang tidak dipahami mereka. Mereka maunya uang langsung diterima, kalau tidak mereka akan marah ke teller,” terang Sofyan.

Belum selesai sampai di situ. Ketika pinjaman sudah diberikan, debitur juga sering kali mangkir dalam pengembalian dana. Dia mengungkapkan, BRI kerap mengalami hal tersebut. Biasanya debitur berkelompok dengan para debitur lain, dan menegaskan kepada bank untuk tidak mengembalikan pinjaman karena toh uang yang mereka pakai adalah uang negara.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh perwakilan Dinas Perikanan Provinsi Riau dan Kepulauan Riau dalam Rapat Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan.  Nelayan dan pembudidaya yang mengambil pinjaman secara berkelompok sering kali kompak, bersatu padu untuk tidak membayar kredit kepada bank.

Keluhan Sofyan bukan tidak berdasar. Imbasnya adalah rasio kredit bermasalah. Lihat saja total kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) sektor UMKM perikanan. Hingga Desember 2012, Rp168,8 miliar dari Rp3 triliun pembiayaan UMKM ke sektor perikanan tercatat sebagai kredit bermasalah. Jika dirasiokan, nilai tersebut mencapai 5,62%. Padahal batas toleransi bank sentral terhadap rasio kredit bermasalah hanya mencapai 5%.

Meski demikian, nilai kredit bermasalah tersebut relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Sejak Mei hingga Juli tahun lalu rasio NPL sektor ini mencapai kisaran 6%, bahkan meningkat hingga kisaran 8% pada periode Agustus 2012—November 2012.

Sofyan menegaskan, lembaga perbankan tidak memiliki keberanian menghadapi masyarakat kecil di pedesaan, sehingga sering kali kalah dalam kasus-kasus demikian. Menurutnya kelompok masyarakat tersebut belum teredukasi dengan baik mengenai industri perbankan, ataupun hukum. “Kalau di kota, kami berani untuk menjawab dan menghadapi, karena kita sama-sama paham barangnya, ngerti hukumnya, kalau di desa kami tidak berani,” katanya.

Padahal bukan saja bank yang tak berani berhadapan dengan masyarakat yang disebut tak paham hukum ini. Rakyat kecil boleh jadi lebih takut lagi, karena mereka tahu mereka tak paham hukum, dan tak paham segala macam syarat administrasi dan birokrasi di perbankan.



Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island