Kamila dan Janacek
Kamila.
Ibuku bernama Kamila. Bukan nama yang banyak dipakai orang Indonesia masa kini. Juga orang Indonesia tahun 60-an saat ibu lahir, oh atau mungkin 70-an. Aku tak tahu pasti. Ibu saja tak tahu pasti tahun berapa ia lahir.
Ibuku bernama Kamila. Bukan nama yang banyak dipakai orang Indonesia masa kini. Juga orang Indonesia tahun 60-an saat ibu lahir, oh atau mungkin 70-an. Aku tak tahu pasti. Ibu saja tak tahu pasti tahun berapa ia lahir.
Ibu curiga akta kelahirannya tak tepat karena dia menemukan tanggal-tanggal kelahiran yang dicatat Ibunya (nenekku) setelah beliau meninggal. Maka kesempatan konfirmasi terakhir habis sudah.
Apalagi nama Ibu Kamila saja, tak ada nama tengah atau nama belakang. Padahal di nama tengah atau belakang lah orang Indonesia kerap mengindikasikan bulan kelahiran. Apalagi kata Kamila tak merujuk pada sesuatu hal. Seperti kubilang, tak banyak juga manusia yang kutahu bernama Kamila.
Kamila yang aku tahu, selain Ibu, adalah perempuan bersuami yang dicintai Janacek. Leoš Janáček, kupikir dia komposer yang tidak terlalu terkenal. Siapa yang tak tahu Beethoven, atau Mozart? Tapi siapa yang tahu Janacek?
(Oh, ada juga Camilla, istri Pangeran Charles, tapi dengan cara penulisan berbeda, jadi tak perlu kuhitung juga.)
Satu-satunya gubahan Janacek yang aku tahu adalah Sinfonnieta. Dulu sekali kudengarkan dengan penuh perhatian. Semacam pelarian dari semiotika, metode penelitian yang membuat gila.
Sinfonnieta, tahun 2008, malam sebelum ayah meninggal, memantul-mantu di dinding kamar. Siapa bilang aku teringat ayah sambil mendengarkan orkestra, tak sekalipun. Kalau mendengar Sinfonnieta sambil memejam mata, yang terbayang bukan ayah, melainkan film klasik, hitam-putih, adegan seorang tuan putri bergaun panjang dikejar-kejar penjahat di dalam kastil.
Dengan klasiknya, tuan puteri terus berlari ke atas kastil (seolah pintu keluar memang dari atas, bukan lewat bawah), sambil sesekali diselingi adegan bersembunyi dan penjahat mencari-cari. Saat iramanya sedang turun, si tuan puteri sedang bersembunyi sambil mengatur nafas, lalu irama musik meningkat, si penjahat menuju ke tempat persembunyian, dan tuan puteri berlari, adegan kejar-kejaran di mulai lagi.
Siangnya Ibu bilang ayah tak bangun dari tidurnya sejak semalam. Sudah hampir 12 jam. Akhirnya ia tak juga bangun sampai sekarang.
Tentu tak ada hubungann antara Sinfonnieta dan Ibu. Apalagi dengan kematian ayah. Lompatan-lompatan otakku saja yang begitu kacau, teringat ibu saat menemukan Janacek di daftar putar pagi ini. Siapa yang menyimpan satu file Sinfonnieta dengan judul 10- untitled, satu baris di bawah 10- Slippers Awake (Welchett Auf) dan di atas 10- Waltz in G-flat major? Setelah mengganti netbook beberapa kali, aku pikir aku tak lagi punya Janacek. Toh dalam folderku tak ada satu pun bernama Janacek.
Seperti Musik klasik yang rumit (setidaknya bagi otak-ku yang sempit), hidup ibu mungkin jadi rumit tanpa ayah. Dengan lima anak yang sulit, ibu mungkin lebih memilih ayah tetap hidup meski memiliki perempuan lain. Atau mungkin sebenarnya kematian lebih baik karena ibu tak perlu patah hati melihat dia dengan wanita lain? Ah, rumit.
Lalu kupikir-pikir, hubungan laki-perempuan seharusnya tidak sulit, nikmati saja jatuh cinta dan seks-nya. Tapi komitmen dan ekspektasi sering kali muncul tanpa disadari, dan membuat rumit.
Lalu kita lupa berhubungan dengan cara yang lebih sederhana.
Begitukah, Bu?
Pssst... kuberi bonus, Sinfonnieta:
Kamila yang aku tahu, selain Ibu, adalah perempuan bersuami yang dicintai Janacek. Leoš Janáček, kupikir dia komposer yang tidak terlalu terkenal. Siapa yang tak tahu Beethoven, atau Mozart? Tapi siapa yang tahu Janacek?
(Oh, ada juga Camilla, istri Pangeran Charles, tapi dengan cara penulisan berbeda, jadi tak perlu kuhitung juga.)
Satu-satunya gubahan Janacek yang aku tahu adalah Sinfonnieta. Dulu sekali kudengarkan dengan penuh perhatian. Semacam pelarian dari semiotika, metode penelitian yang membuat gila.
Sinfonnieta, tahun 2008, malam sebelum ayah meninggal, memantul-mantu di dinding kamar. Siapa bilang aku teringat ayah sambil mendengarkan orkestra, tak sekalipun. Kalau mendengar Sinfonnieta sambil memejam mata, yang terbayang bukan ayah, melainkan film klasik, hitam-putih, adegan seorang tuan putri bergaun panjang dikejar-kejar penjahat di dalam kastil.
Dengan klasiknya, tuan puteri terus berlari ke atas kastil (seolah pintu keluar memang dari atas, bukan lewat bawah), sambil sesekali diselingi adegan bersembunyi dan penjahat mencari-cari. Saat iramanya sedang turun, si tuan puteri sedang bersembunyi sambil mengatur nafas, lalu irama musik meningkat, si penjahat menuju ke tempat persembunyian, dan tuan puteri berlari, adegan kejar-kejaran di mulai lagi.
Siangnya Ibu bilang ayah tak bangun dari tidurnya sejak semalam. Sudah hampir 12 jam. Akhirnya ia tak juga bangun sampai sekarang.
Tentu tak ada hubungann antara Sinfonnieta dan Ibu. Apalagi dengan kematian ayah. Lompatan-lompatan otakku saja yang begitu kacau, teringat ibu saat menemukan Janacek di daftar putar pagi ini. Siapa yang menyimpan satu file Sinfonnieta dengan judul 10- untitled, satu baris di bawah 10- Slippers Awake (Welchett Auf) dan di atas 10- Waltz in G-flat major? Setelah mengganti netbook beberapa kali, aku pikir aku tak lagi punya Janacek. Toh dalam folderku tak ada satu pun bernama Janacek.
Seperti Musik klasik yang rumit (setidaknya bagi otak-ku yang sempit), hidup ibu mungkin jadi rumit tanpa ayah. Dengan lima anak yang sulit, ibu mungkin lebih memilih ayah tetap hidup meski memiliki perempuan lain. Atau mungkin sebenarnya kematian lebih baik karena ibu tak perlu patah hati melihat dia dengan wanita lain? Ah, rumit.
Lalu kupikir-pikir, hubungan laki-perempuan seharusnya tidak sulit, nikmati saja jatuh cinta dan seks-nya. Tapi komitmen dan ekspektasi sering kali muncul tanpa disadari, dan membuat rumit.
Lalu kita lupa berhubungan dengan cara yang lebih sederhana.
Begitukah, Bu?
Pssst... kuberi bonus, Sinfonnieta:
Comments
Post a Comment