Impor atau Tambah Modal? (4/5)
Produksi
perikanan pada 2012 mencapai 15,26 juta ton, artinya tingkat realisasi mencapai
102,7% dari target yang ditetapkan pada awal tahun lalu sebesar 14,86 juta ton.
Adapun volume produksi tersebut tumbuh 23,16% dibandingkan dengan produksi
sepanjang 2011 sebesar 12,39 juta ton.
Kenaikan
produksi perikanan turut mendukung pertumbuhan nilai ekspor perikanan di tengah
defisit neraca perdagangan US$1,7 miliar pada 2012. Sepanjang tahun lalu nilai
ekspor perikanan mencapai US$3,9 miliar, tumbuh 10,79% dari nilai ekspor 2011
US$3,52 miliar.
Adapun komoditas udang menyumbang 38% atau
US$1,48 miliar dari total nilai ekspor perikanan. Sedangkan tahun ini ekspor
udang akan ditingkatkan hingga 40% atau US$ 1,56 miliar. Dengan nilai tersebut,
Indonesia mengukuhkan diri sebagai eksportir udang terbesar kedua di dunia,
setelah China pada posisi pertama.
Selain udang, Indonesia juga menempati
posisi kedua di dunia sebagai eksportir rumput laut terbesar dengan nilai
ekspor RP134,85 miliar dan total volume produksi 5,1 juta ton basah pada 2012. Tak
hanya itu, Indonesia juga disebut sebagai produsen dengan kualitas mutiara laut
selatan (south sea pearl) terbaik,
terbesar, dan terindah di dunia yang memenuhi 43% dari kebutuhan global.
Dengan
berbagai potensi tersebut, sektor perikanan membutuhkan tambahan modal kerja
lebih dari Rp30 triliun hingga 2015 untuk memenuhi peningkatan konsumsi ikan
serta produk perikanan lainnya yang diperkirakan mencapai 7 kg per orang per
tahun.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan
dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Thomas Darmawan mengungkapkan
apabila perbankan tidak membantu memenuhi kebutuhan dana tersebut, jelas akan
terjadi ketidakseimbangan permintaan dan pasokan, sehingga dikhawatirkan dapat
meningkatkan impor.
Menurutnya industri pengolahan perikanan
saat ini lebih mudah mengakses kredit perbankan dibandingkan sektor hulu yang
baru memasuki tahap awal untuk mendapat kepercayaan industri.
Demi melihat potensi tersebut, PT
Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mulai melakukan kerja sama dengan Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencari
inovasi pembiayaan perikanan budidaya.
Setelah beberapa kali mengadakan
rapat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta melakukan kunjungan
lapangan, Direktur Usaha Mikro Kecil dan Menengah BRI Djarot Kusumayakti
menemukan bahwa pembiayaan harus diberikan sesuai dengan sifat alami usaha yang
dijalankan oleh masing-masing calon debitur. Sebab itu perseroan mencobakan dua
jenis pinjaman, secara langsung kepada debitur, dan berkelompok melalui program
revitalisasi tambak yang diinisiasi kementerian.
Pada level teknis, pembicaraan
dimulai sejak Januari 2013 antara Kepala Divisi Kredit Program BRI Teten
Zakaria dengan Shrimp Club Indonesia (SCI) yang diwakili Mimin Hermawan.
Ketua SCI wilayah Jawa Barat Mimin
Hermawan mengungkapkan sejak Februari 2013 anggota asosiasi mulai mendapatkan
pencairan pinjaman dari BRI. Pencairan tak didapat begitu saja, terlebih dahulu
mereka mengadakan rapat dan presentasi mengenai seluk-beluk bisnis tambak udang
kepada bank yang awalnya dibentuk dari kas masjid untuk membantu nelayan
menghindari tengkulak tersebut.
Padahal, sudah 13 tahun dan lebih
dari 10 kali Mimin tertolak saat mengajukan permohonan kredit kepada perbankan.
Menurutnya ini adalah pertama kalinya bank kembali melirik sektor pertambakan
secara masif, setelah melengos selama puluhan tahun.
"Dalam tahap pertama ini, sudah
enam orang yang mendapatkan pinjaman, masing-masing Rp500 juta. Saya sendiri
dapat Rp2 miliar, totalnya jadi Rp5 miliar," jelasnya.
Berkat pendekatan tersebut
masing-masing petambak dapat memperoleh persetujuan pinjaman dalam waktu 3 hari—4
hari sejak pengajuan, dengan bunga 10%—12% dalam jangka waktu pinjaman hingga 2
tahun.
Meski demikian jumlah penerima
pinjaman belum signifikan. Ketujuh penerima pinjaman hanyalah 4% dari total 148
anggota kelompok petambak Mina Tanjung Pusaka 2. Sebab itu saat ini kelompok
berikutnya juga mulai mengajukan aplikasi pembiayaan ke bank yang sama.
Dede Efendi alias Bodong (35 tahun)
mengaku belum berkesempatan memperoleh kredit pada tahap pertama tersebut.
Sebab itu pekan lalu dia mengajukan lamaran untuk menerima kredit. Dalam
formulir tersebut dia meminta dana sebesar Rp2 miliar.
Dari pengajuan dana Rp2 miliar
tersebut, pihak bank menyetujui pencairan dana sebesar Rp500 juta. Dede mengaku
tidak terkejut. Menurutnya saat ini adalah kesempatan emas para petambak karena
bank mulai berlomba-lomba memberikan pinjaman.
"Kalau dapat sih pasti dapat,
cuma kan sekarang nilainya berapa. Saya mengajukan Rp2 miliar, tetapi mereka
baru menawarkan Rp500 juta," katanya.
Hal yang sama disampaikan Sharif
Cicip Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang begitu bangga terhadap
terobosan tersebut. Menurutnya saat ini industri perbankan sedang berlomba
mencairkan pinjaman kepada sektor pertambakan lantaran potensi Indonesia di
sektor pertambakan undang bahkan bisa lebih baik dari China.
Dengan iklim tropis Indonesia dapat
memanen udang sebanyak tiga hingga empat kali dalam setahun, sementara China
hanya bisa sekali panen. Apalagi dengan adanya tambak-tambak percontohan
diharapkan tiap hektar tambak dapat menghasilkan 30 ton—40 ton udang.
Selain itu Indonesia juga
diuntungkan sebagai satu-satunya negara yang komoditas udangnya belum
terjangkit sindrom kematian dini (early mortality syndrome/ EMS). Adapun
penyakit yang telah berjangkit di RRC, Thailand, Vietnam dan Malaysia ini
menyebabkan pasokan udang dunia berkurang signifikan karena masifnya kasus
kematian masal.
"Pasar udang dunia saat ini
sedang kering, ini kesempatan kita untuk memenuhi kebutuhan dunia. Komoditas
udang di hampir seluruh negara dunia terkena penyakit misterius yang belum ada
obatnya. Berkat ketelitian karantina kita tidak terjangkit sampai sekarang,
maka ini harus menjadi kesempatan," terangnya.
Sebelum menyalurkan pembiayaan
langsung kepada petambak, BRI bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan telah
menggarap 19.000 hektare tambak binaan.
Slamet mengatakan saat ini
pemerintah menyediakan 20%—30% dari total kebutuhan dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan revitalisasi. Sementara sisa porsi kebutuhan dana sebesar 70%—80%
ditalangi oleh mitra perbankan, selain BRI juga PT Tabungan Negara Tbk (BTN).
Dia memperkirakan hingga Februari
2013 BRI telah mencairkan Rp2 miliar dari plafon Rp40 miliar--Rp50 miliar
kepada petambak di Subang melalui program Kredit Usaha rakyat (KUR) yang
termasuk dalam program tersebut. Selain itu BTN diperkirakan telah menyalurkan
Rp4 miliar dari plafon Rp40 miliar di wilayah yang sama, dengan skema yang
sama.
Menurutnya saat ini pihak
Kementerian juga masih melakukan pendataan guna menetapkan penerima KUR. Dia
optimistis untuk masa yang akan datang kementerian memang dapat mendorong pihak
perbankan untuk menjadi motor pendanaan.
"Tapi, yang jelas, dana
pinjaman ini harus digunakan untuk produktivitas tambak, jangan sampai dipakai
kawin lagi," pungkas Cicip.
Comments
Post a Comment