Bank dan Pak Haji (5/5)
Tiang-tiang sudah terpasang mengangkangi
jalanan becek terlapis karpet yang kini sewarna tanah. Tenda kuning di antara
tiang menaungi panggung berisi kursi-kursi empuk, serta televisi layar datar
yang harganya lebih mahal dari pada hasil panen sebagian petambak. Nantinya Pak
Menteri dari partai beringin akan duduk di sana, bersama pejabat yang tidak
kita tahu namanya.
Semakin menjauhi panggung, karpet
semakin cokelat tanah dan kursi semakin tidak empuk. Sofa berkayu ukir berada
tepat di hadap panggung, di belakangnya, ada kursi berlapis bantalan, lalu
kursi plastik berlapis kain, hingga akhirnya menjadi kursi plastik biasa di
ujung luar tenda. Jenis kursi mungkin menandakan tingkat kepentingan tamu
undangan atas perhelatan tersebut.
Barisan terdepan diisi pejabat
daerah, dan pejabat kementerian. Baris selanjutnya adalah petambak-petambak
kaya, dan orang-orang yang cukup berpengaruh di wilayahnya. Selanjutnya ada
rombongan pegawai kementerian atau dinas perikanan, tertebak dari seragam yang
mereka kenakan. Para penyuluh berada di belakang para pegawai tersebut, lalu
ditutup oleh masyarakat sekitar.
Nurkholis duduk menyingkir di luar
tenda, di pinggir jalan becek, di sisi tambak, bersama tumpukan kardus dan
gulungan terpal. Angin kering pertengahan maret melempar-lempar ujung terpal, matahari
yang menguapkan air tambak membuat kulit lengas, belum lagi amis menyeruak di
mana-mana. Air mukanya lelah, tapi senyumnya sumringah.
Bau amis kali ini petanda panen yang
berhasil.
Baru 2 hari lalu Nurkholis menarik
jala berisi 4,15 kuintal udang dari tambak seluas 6.000 meter persegi. Kini ia
mengantongi Rp9 juta dari modal 50.000 menur (benih udang) cuma-cuma dari
koperasi dan sekitar Rp4 juta modal pakan selama 3 bulan. Uang itu tak akan
lama dia simpan karena akan segera menjadi modal untuk membeli benih, pakan,
bensin, dan obat bagi tanam berikutnya pada 16 Maret 2013. Sisanya, untuk hidup
sehari-hari.
Bukan Nurkholis saja yang menikmati
panen. Dalam hitungan jam, Pak Haji Maftuhin, akan menikmati 18 ton udang. Untuk
itulah tenda-tenda dipasang, menyambut 18 ton udang yang akan dipanen Menteri
Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo.
Pak Haji adalah pemiliki tambak
udang yang dijadikan tambak percontohan dalam program revitalisasi tambak di
sekitar Pantai Utara Jawa. Tambak di Desa Singajaya, Indramayu ini merupakan
satu dari lima tambak percontohan yang tersebar di Karawang, Cirebon, Serang,
dan Subang.
Usai panen, tak hanya sekali Pak
Menteri memuji PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) yang telah bekerja sama dalam
program revitalisasi melalui penyaluran pinjaman hingga Rp5 miliar kepada
petambak udang. Dari Rp5 miliar itu, tak seperak mampir ke kantong Nurkholis,
Dira (35 tahun), atau Samsudin (42 tahun).
Pinjaman Rp5 miliar diterima oleh
tujuh petambak asal subang yang tergabung dalam kelompok Mina Tanjung Pusaka 2,
dengan minimal plafon diterima Rp500 juta. Artinya, mereka bukan petambak
mikro. Berdasarkan definisi plafon Bank Indonesia, pinjaman Rp50 juta—Rp500
juta dikelompokan dalam kredit kecil, Rp500 juta—Rp5 miliar kredit menengah,
sementara kredit mikro berplafon di bawah Rp50 juta.
Meski demikian dalam implementasinya
pemberian plafon bisa saja beragam, PT Bank Danamon Tbk misalnya, memberi
plafon pinjaman mikro Rp10 juta—Rp100 juta per nasabah. Sementara PT Bank
Mandiri Tbk memberikan batasan kredit mikro Rp100 juta, tetapi bisa ditambah
hingga maksimal Rp200 juta.
Direktur Direktorat Kredit Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan (UMKM) Zainal Abidin mengungkapkan penyaluran
kredit sektor perikanan memang lebih didominasi kredit kecil dan menengah dari
pada mikro. Menurutnya bank kesulitan apabila harus meminjamkan dana dengan
jumlah yang sangat kecil lantaran tingginya biaya-biaya yang harus dikeluarkan
sehingga dikhawatirkan tidak menguntungkan, bahkan bisa merugikan bank.
Padahal bukan hanya bank yang
enggan, petambak pun enggan berurusan dengan perbankan lantaran banyaknya
urusan administrasi yang harus dilalui. “Ya namanya kita belum pernah pinjam ke
bank, agak riskan lah, agak susah karena kita orang awam,” begitu kata
Nurkholis.
Sebab itu tak sekalipun dia berusaha
mengajukan pinjaman ke bank, selain terbayang proses yang berbelit, bunga juga
menjadi kekhawatiran tersendiri. Bukan hanya ke bank, bahkan dia juga enggan
meminjam pada tengkulak maupun kerabat. Katanya utang dalam usaha tambak bisa
jadi sangat spekulatif, dia enggan terjebak hutang saat panen gagal.
Pinjaman tanpa bunga, tanpa riba, tapi...
Sembari menghisap kretek, Dira
menyambung ucapan Nurkholis. Katanya, petambak di desa Singajaya jarang sekali
yang mau meminjam uang ke bank, meski jarak bank terdekat hanya 2 km. Dia
sendiri lebih suka meminjam kepada kerabat, atau jika terpaksa, kepada Pak Haji
Maftuhin, petambak kaya yang juga pengepul di wilayah tersebut.
Pinjaman yang diberikan pengepul
biasanya tidak berbentuk uang, melainkan barang kebutuhan pertambakan, seperti
menur, pakan, obat, hingga bahan bakar. Berbagai pasokan tersebut bisa diambil
kapan saja saat petambak membutuhkan, bahkan diantar oleh para pekerja tambak Pak Haji.
Berita baiknya, Pak Haji tak meminta
bunga atas harga barang yang dipinjamkan, harga pun tak dinaikan sebelumnya,
semua sesuai pasaran. Petambak biasanya baru membayar ketika masa panen tiba.
Bahkan, jangka waktu hutang dapat diperpanjang hingga musim panen berikutnya
jika petambak tak mampu membayar lunas kali itu.
Sebagai imbalan, petambak diharuskan
menjual hasil panen kepada Pak Haji, sesuai dengan harga beli yang ditetapkan.
Tak ada negosiasi, tak ada tawar-menawar. Harga yang ditetapkan itulah yang
akan dibawa pulang petambak yang berutang. Hal ini menyebabkan 30%--40% keuntungan
dari hasil panen tersebut diserap
tengkulak.
Hal yang sama dialami Ketua Shrimp
Club Indonesia (SCI) cabang Jawa Barat Mimin Hermawan. Sebelum bank mengabulkan
permohonan kredit sebsar Rp2 miliar pada bulan lalu, selama 13 tahun dia
berulang kali mengambil pinjaman kepada pengepul.
"Kalau pinjam ke tengkulak,
nanti jual udang juga harus ke tengkulak, mereka akan potong harga udang dengan
selisih Rp2.000--Rp3.000 per kg. Lebih nyaman ke bank lah, kalau ke tengkulak
kan 30%—40% untungnya ke mereka, kalau ke bank ya sekitar 15%," terangnya.
Sebab itu Dira enggan meminjam dari
pengepul. Dana Rp50 juta—Rp60 juta untuk menggarap lahan sewaaan seluas 2
hektare didapat dari pinjaman kerabat, ataupun modal sendiri. Padahal itu saja
masih kurang. Idealnya lahan 2 hektare dapat menghabiskan modal lebih dari
Rp100 juta, tetapi tak ada cukup modal untuk berkembang ideal.
Dira mengaku pernah berpikir untuk
mengambil pinjaman ke bank, tetapi urung dilakukan lantaran lahan sewa tak
dapat dijadikan jaminan. Belum lagi
masalah administrasi lainnya, semakin enggan dia ke bank selain untuk menyimpan
uang.
Lain lagi dengan Samsudin. Lahan 1
hektare yang digarapnya dimodali dana dari menjual mobil. Sekitar 5 tahun lalu
Samsudin minggat ke Jakarta lantaran tambaknya gagal panen. Setelah mengoperasikan
taksi putih tarif bawah selama setahun, dia berhasil melunasi mobil tersebut. Mobil
itulah yang dijual dan dijadikan modal tambaknya yang diperkirakan panen
sekitar April atau Mei tahun ini.
Menur dalam lahan 1 hektare tersebut
sebenarnya telah siap panen saat ini. Namun Samsudin ingin menunggu lebih lama
lagi agar bobot udang meningkat sehingga pendapatan lebih maksimal. Saat itulah
dia mendapat arahan dari Pak Haji untuk meningkatkan pakan udang agar berat
udang juga bertambah.
Dia mengaku terbantu atas keberadaan
pengepul. Bahkan menurutnya pengepul jauh lebih banyak membantu dari pada
pemerintah. Dari Pak Haji dia mendapatkan edukasi mengenai budi daya yang baik.
Selain itu sosialisasi program juga lebih sering diperoleh dari pengepul dari
pada Dinas Perikanan.
Zainal mengungkapkan pengepul
merupakan bentuk sederhana dari inklusi keuangan (financial inclusion) dengan
menggunakan model agensi yang kini tengah dikembangkan oleh bank sentral. Sebab
itu pengepul, tengkulak, ataupun rentenir tidak akan pernah bisa benar-benar
hilang.
Dia menerangkan, ada dua model
pembiayaan sederhana yang paling ideal untuk sektor yang belum mampu berbank (bankable) seperti tambak dan nelayan
tradisional, salah satunya adalah melalui agensi seperti yang dilakukan para
pengepul. Sementara model lainnya adalah melalui sistem tanggung renteng.
Pembiayaan melalui pengepul mirip
dengan pembiayaan rantai pasokan (supply
chain) yang biasanya dikucurkan melalui kredit korporasi. Dalam pembiayaan
rantai pasokan, bank membiayai industri pengolahan, lalu industri itulah yang
akan membiayai rantai pasokannya.
Zainal menilai cara ini lebih ideal
dari pada jika bank memberikan pinjaman secara langsung, selain meningkatkan
biaya, risiko kredit bermasalah juga lebih besar bagi bank karena tidak
mengenali debiturnya dengan baik. Berbeda dengan pengepul yang mengenal secara
personal rantai pasokannya, sehingga dapat memberikan pinjaman berdasar
kepercayaan.
Kelebihan lainnya dari model agensi
adalah petambak dapat mengajukan pinjaman kapanpun saat membutuhkan, tanpa
perlu administrasi dan birokrasi.
Sementara bagi pengepul, kepastian
atas keberlanjutan pasokan serta keuntungan marjin datang satu paket dengan
ikatan piutang pada petambak.
Kredit Modal Janji
Tentu pengepul bukan satu-satunya
jalan. Selain melalui rantai pasokan, tanggung renteng dapat juga
diimplementasikan untuk mendapatkan pembiayaan atas usaha-usaha yang belum bankable. Meski demikian Zainal tak yakin pasti bank mana yang sudah
menetapkan sistem ini kepada nelayan.
Sistem tanggung renteng telah dilakukan oleh
PT Bank Sahabat Sampoerna Tbk (BSS) dalam penyaluran kredit melalui program
kelompok wanita tanggung renteng (Kwantren) dan PT Bank Pembangunan daerah
Sumatera Utara dalam penyaluran kredit mikro produktif perempuan. Program yang
menyasar debitur perempuan yang memiliki usaha mikro produktif ini menetapkan
bunga sekitar 25% per tahun.
Direktur Utama BSS Indra W. Supriadi mengakui
bunga yang diberikan cukup tinggi karena biaya yang dibutuhkan untuk
mengedukasi kelompok perempuan cukup tinggi. Terutama mengingat kelompok
tersebut tidak dimintai agunan. Bank hanya berpegang janji untuk bertanggung
jawab yang dilaraskan perempuan dalam kelompok Kwantren.
Beban kredit adalah
tanggung jawab kelompok. Dengan demikian apabila salah satu dari 16 anggota
kelompok ada yang tidak mampu membayar maka anggota lain harus menalangi
cicilan tersebut. Inilah inti dari janji
dan sistem tanggung renteng sehingga dapat menjaga risiko kredit bermasalah yang
dihadapi perseroan. Oleh sebab itu, pemilihan teman kelompok lebih sering
didasarkan pada kedekatan geografis dan emosional.
Selain kedua model tersebut,
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) sebenarnya menyarankan model
lain, yaitu koperasi. Menurutnya bank akan lebih mudah menyalurkan pembiayaan
kepada koperasi. Adapun saran ini diberikan saat kelompok nelayan mengeluhkan
sulitnya mendapatkan pinjaman kepada bank karena bank tidak menerima agunan
kapal.
Saat usulan tersebut dilontarkan
kepada nelayan di sekitar Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, Amrullah (38 tahun)
tidak merasa mendapat solusi yang diharapkan. Begitu juga dengan Maulana (48
tahun). Menurutnya agar bisa mendapat pinjam dari koperasi mereka juga perlu
memiliki setoran modal, padahal untuk menyetor saja mereka tidak memiliki dana.
Bahkan Maulana menuduh selama ini
koperasi sulit memberikan pinjaman karena dia tidak memiliki hubungan
kekerabatan dengan petugas koperasi. Katanya di masyarakat pesisir, kekerabatan
di atas segalanya.
“Ya kan pinjaman sekarang ini hanya
bisa untuk yang sudah punya, jadi yang kaya tambah kaya, sedangkan yang butuh
seperti kita ini ga pernah bisa dikasi. Di sini sistem [kekerabatan] yang kuat,
katanya mengadu.
Apalagi saat ini mereka tak memiliki
rumah tinggal sendiri, hanya ada kapal, yang ditolak PT Bank Pembangunan Daerah
DKI Jakarta (Bank DKI), tak bisa dijadikan agunan. Padahal Bank DKI adalah
satu-satunya bank yang ada di gugusan Kepulauan Seribu.
Zainal menegaskan kapal nelayan bisa
saja dijadikan agunan seperti halnya sepeda motor ataupun mobil. Syaratnya
kapal tersebut memiliki surat bukti kepemilikan kapal yang tengah digalakan
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Meski demikian penerimaan surat tersebut
berpulang kepada masing-masing bank karena pola penghitungan risiko tiap bank
sangat berbeda tergantung besar-kecilnya ukuran bank tersebut, dan fokus
bisnisnya.
Hemat tapi Modal Tak Lancar, Modal Tak
Lancar tapi Hemat
Sebab itu dia menawarkan solusi lain.
Nelayan bisa saja mengambil pinjaman ke bank yang bekerja sama dengan tempat
pelelangan ikan (TPI) dan pelabuhan.
Menurutnya saat ini PT Bank Bukopin Tbk telah bekerja sama dengan tempat
pelalangan ikan dan pelabuhan. Nantinya bank akan memotong penagihan kredit
melalui penjualan ikan yang dilakukan nelayan. Dengan cara ini keberlangsungan
cicilan kredit lebih terjamin bagi bank.
Oleh karena itu penjualan ikan
dilepas pantai justru akan menyulitkan nelayan untuk memperoleh pembiayaan
lantaran bank sulit mengetahui pendapatan kapal yang menjual hasil tangkapan di
luar wilayah perairan. Padahal pemantauan terhadap pendapatan nasabah adalah
salah satu cara bank untuk memastikan pengembalian kredit.
Penjualan ikan di tengah laut memang
memudahkan nelayan, tetapi hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan upaya
pembiayaan kepada nelayan. Apalagi nelayan dengan kapal berukuran kecil sering
kali tidak memiliki harta tetap di darat, sebab itu pelabuhan merupakan salah
satu upaya terakhir dari bank.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan
Perikanan menerbitkan peraturan No 30/MEN/2012 mengenai usaha perikanan tangkap
di wilayah pengeloan perikanan Republik Indonesia. Dalam peraturan tersebut
diungkapkan kapal dapat mendaratkan ikan di luar pelabuhan.
Dalam aturan tersebut kapal dapat
menjual ikannya di tengah laut kepada kapal pengumpul tanpa harus membawa langsung
ke pelabuhan. Langkah tersebut sebenarnya dilakukan agar nelayan UMKM lebih
efisien menggunakan bahan bakar lantaran tidak perlu terlalu sering kembali ke
pelabuhan untuk mengantarkan ikan.
Selain efisiensi bahan bakar,
penjualan ikan di tengah laut juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas ikan
dan mengurangi susut hasil penangkapan ikan. Dengan demikian pendapatan nelayan
diharapkan dapat meningkat, dan pasokan bahan baku industri pengolahan ikan pun
terjaga.
Nenek moyang kita memang pelaut,
bukan bankir. Mahir melaut, tapi kurang paham hitungan utang dan bunga
pinjaman, berani menantang badai tapi ciut pada lantai mengilap dan teller
cantik bergincu merah. Jadi, mau kembali pada Pak Haji, pinjam ke bank yang
bekerja sama dengan TPI, atau coba-coba membentuk koperasi?
Comments
Post a Comment