cita cita
Sepanjang tahun lalu tidak dilalui dengan baik. Rencana mengirimkan aplikasi beasiswa terganjal banyak hal, pikiran tersita urusan menye cinta-cintaan tak berguna, pekerjaan tak beraturan, ibu jatuh sakit, uang kuliah adik harus segera dibayarkan.
Dan aku berada pada titik muak dengan pekerjaan.
Muak pada berita berita yang entah berpihak pada siapa.
Puncaknya kulayangkan juga surat pengunduran diri, yang belakangan ditarik kembali oleh atasan. Katanya aku terlalu emosional dan tidak berfikir benar.
Aku begitu suka menulis, membaca, bertemu banyak orang, belajar banyak hal. Namun sampai juga pada titik, apa iya aku cocok dengan pekerjaan jurnalistik? Apa iya satu-satunya cita-citaku ini bukan salah pilih?
Saat mengajukan pengunduran diri tentu bukan tanpa rencana lain. Aku memang belum mendaftar pekerjaan baru, tetapi aku punya tabungan tiga kali gaji bulanan, dan masih mengerjakan beberapa pekerjaan lepas. Juga dalam proses menerima tawaran pekerjaan lepas lainnya dari teman yang bekerja di penerbitan. Kupikir setidaknya bisa hidup 3 bulan dengan tabungan, dan tambahan beberapa bulan dari bekerja lepas, sampai menemukan pekerjaan yang diinginkan.
Namun, apa sih yang kuinginkan?
Aku ingin berada di Kalimantan dan mengurusi orang utan saja setiap hari. Aku ingin tinggal di rumah kecil yang memiliki kamar baca dan ruang belajar tempat di mana aku bisa mengundang anak-anak perempuan kecil agar kami bisa belajar mengenai bedanya pelukan kasih sayang dan pelukan nafsu.
Aku ingin menulis cerpen dan sajak, menyelam, berjalan kaki di pinggir hutan, atau menumbuhkan sayur di pekarangan. Aku ingin bertemu orang baru setiap minggu dan bertukar pandangan tentang banyak hal, hukuman mati, aborsi, inflasi, pengeringan lahan gambut, atau tentang konser seru selanjutnya.
Aku ingin setiap hari bisa membuat roti lapis berisi alpukat mentega yang begitu segar, dengan potongan tomat manis, dan menyesap teh hangat tanpa gula diantaranya. Ingin merasai pasir di sela jemari kaki, sembari menumbuhkan hutan bakau atau menata kerang di dasarnya.
Ingin menulis buku soal edukasi seks yang komprehensif namun sesuai jenjang usia dan mengakomodasi kearifan lokal masyarakat indonesia. Ingin melanjutkan sekolah dalam kultur yang berbeda. Ingin melihat adik-adik sekolah tinggi. Ingin melihat ibu bahagia.
Terlalu banyak ingin, tak tahu mana yang lebih penting dari yang lain.
Lima bulan sejak insiden surat pengunduran diri, seorang teman bercerita: "Aku lagi cari jati diri rik, sudah sampai titik ngerasa cocok ga sih aku jadi wartawan. Makanya aku masuk organisasi ini,".
Dia bukan semacam anak tersesat yang tidak sengaja terperosok ke lembah hitam pewarta. Kupikir kami sama-sama tipe manusia yang bercita-cita menjadi wartawan.
Dia bilang ketika melihat pencapaian wartawan lain, lalu membandingkan dengan diri sendiri, rasanya jatuh betul. Apa sih yang sudah aku lakukan bertahun belakangan selama jadi wartawan.
Dan aku merasa tidak sendirian.
Apa yang sudah aku lakukan?
Mungkin ini soal ekspektasi. Aku berharap punya lebih banyak waktu agar dapat menulis lebih mendalam bukan sekadar kulit-kulit berita yang dikerjakan terburu-buru beberapa jam saja, karena harus membuat 2-3 berita sehari. Bahkan aku pernah membuat 10 berita on line seharian saat Pidato Presiden 17 Agustus 2012. Sampah moneter-fiskal betul kesepuluhnya.
Aku berharap dapat menulis lebih sensitif gender dan sensitif lingkungan, yang tentu tak dianggap seksi oleh koran ekonomi. Siapa peduli kalau perempuan sulit mendapat kredit produktif? Siapa peduli keberlangsungan 1,2 juta hektare hutan lindung di Aceh yang akan dialihfungsikan?
Namun, siapa juga yang bilang hidup ini melulu soal yang kita harapkan dan inginkan?
Kupikir ini saatnya mengingat-ingat bagaimana aku mencita-citakan jadi wartawan sejak masih pakai rok merah, bagaimana ayah tidak menyetujui cita-cita itu, dan bagaimana pembelaan ibu saat harus beradu argumen dengan suaminya.
PS: Tengkyu ya, Bad!
Aku ingin duduk di halaman rumput, mengetik apapun yang gak dimulai dengan 'Jakarta--', menggambar, sambil becandaan sama kucing piaraan.
ReplyDeleteKeliatannya sederhana, tapi ternyata utopia belaka
Aku juga, ingin melakukan banyak hal dan merealisasikan semua impian. Tapi hari ini sedang sibuk, jadi mulainya besok saja. Begitu terus sampai seminggu, sebulan, setahun dan bertahun-tahun.
ReplyDeleteAku hanya berharap penundaan itu tak berlangsung sampai batas waktu, yang orang sebut, selamanya.
Begitu kira-kira ya...kita semua sama :((
*group hug*
Delete