Pulang


Petani terakhir yang kami temui berkata, gerbang besar sudah dekat. Maka kami memutuskan untuk berjalan kaki saja, menuju jalanan yang kian syahdu.

Kami lupa, meski perempuan, dia adalah petani gunung. Sedekat apapun yang dia maksud, akan puluhan kali lebih jauh dan melelahkan buat anak-anak urban yang cuma bisa merengek-rengek menetek pada ibu di rumah.

Bayang semakin memanjang ke timur, dan punggungku semakin bungkuk. Ransel ini mungkin 7 kg beratnya, ditambah perjalanan berjam-jam, bukan indikasi yang baik bagi mahluk-mahluk berdaging dan bertulang.

Semakin jauh, jalanan setapak makin tak beraturan. Ladang pun semakin berantakan, dibiarkan tumbuh begitu saja oleh burung-burung yang tainya membawa biji-bijian.

Mungkin 7 jam, atau 8 jam, tak pernah ada yang betul-betul memastikan sejak bertemu petani terakhir tadi, hingga kami temukan juga gerbang kelabu yang tak  gagah, tetapi juga lebih dari sekadar gerbang biasa.

Seperti benteng yang mengelilingi entah apa yang harus dilindungi di dalamnya. Benteng ini katanya memiliki dua gerbang, tetapi gerbang lainnya tak lagi bisa dilalui. Maka gerbang kelabu di hadap kami adalah satu-satunya cara memasuki ruang di dalamnya.

Aku tak pernah tahu, dan tidak berpikir perlu untuk tahu apa yang ada di balik gerbang. Namun, di hadap gerbang ini, rasanya seperti pulang. Seperti ada tembuni yang menunggu, dan semerbak harum rahim ibu, mempersilakan datang, mengajak pulang.

Perempuan paruh baya menggeser gerbang kelabu, meminta perhatianku. Tak sedikit pun bibirnya bergerak. Namun aku paham dia mempersilakan masuk.

Dia meminta ranselku, untuk mengecek apa saja yang boleh dibawa. Lagi-lagi tanpa berbicara. Anehnya aku paham betul yang dia inginkan. Seperti berbicara langsung ke dalam pikiranku, seperti sedang disuntikan ide-ide ke kepala.

Sampai titik ini dia menghela nafas panjang, dan mengambil alat potong besar yang tak bisa kuidentifikasi jenisnya. Jelas terlihat seperti alat potong, tetapi tak pernah kulihat yang seperti itu.

"Maaf sekali, seluruh barang harus ditinggal di gerbang. Begitu juga bayanganmu. Tak ada satupun penduduk di kota ini yang diizinkan memiliki bayangan. Kau, tentu saja, boleh masuk. Namun bayangan harus tinggal di sini," kata perempuan penjaga gerbang langsung ke pikiranku.

Bayangan tak menyukai ide itu, katanya manusia tak lagi jadi manusia kalau tak punya bayangan. Sebab itu dia membujuk, hampir merengek, agar kami pergi saja dari tempat ini.

Ah, tapi rahim ibu memanggil.

Penjaga gerbang menatap tajam, seolah ingin segera menyelesaikan persoalan ini. Segera menjauhi gerbang, pergi dari hadapnya, atau segera potong si bayangan.

Tak pernah terbayang hidup tanpa bayangan. Tak pernah ada hidup tanpa bayangan. Mungkin akan terasa aneh pada awalnya. Namun kurasa lama-lama siapapun akan terbiasa.

Rasanya tak akan ada perubahan signifikan hidup tanpa bayangan. Kuingat-ingat signifikansi hidup tanpa bayangan. Rasanya tak ada.

"Ini bukan pulang, setidaknya bukan pulang yang kau inginkan. Ini pulang yang kelak akan kau sesali. Kau tidak lagi menjadi kau tanpa aku. Kau akan kehilangan nalarmu perlahan, lalu rasa, dan akhirnya hanya jiwa-jiwa yang ke sana-ke mari," Bayangan masih berusaha meyakinkan.

Siapa sangka sesulit ini memutuskan nasib Bayangan. Seumur hidup tak pernah betul-betul kupikirkan keberadaannya. Tak pernah kuhitung seberapa pentingnya dia.

"Ambil yang mau kau ambil, aku akan ke kota," tegasku akhirnya.

Belum kering lidah bicara, kilau pemotong sudah memisahkan Bayangan. Dia tampak tak tak percaya, tetapi kami kini sudah terpisah.

Mungkin nanti, nanti yang tak pernah kita ketahui, nalar dan rasa akan hilang perlahan.

Namun, siapa peduli? Ini rahim lautan, tempat berenang senang. Biar saja tak bernalar, berbayang atau berperasa, aku sudah pulang.

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi