pohon srikaya


Langit masih sebiru rindu. Dan aku masih memandangi jalanan dari celah tirai. Ada sepotong halaman di antara tirai dan jalan. Halaman yang teronggok begitu saja. Seperti sisa koran yang terserak usai para muslim sembahyang di lapangan dekat rumah.

Masih ada bulan sisa semalam, putih di langit yang sebiru rindu. Tak banyak awan, hanya sejumput di ujung barat, hampir pudar tersapu udara yang bergerak.

Ranting pohon srikaya masih manggut-manggut meraih jalanan, mungkin ia berusaha ramah pada pejalan kaki di depan rumah. Namun, siapa yang peduli pada ranting-ranting srikaya?

Ada tumpukan berkas di kantor yang minta segera digarap. Anak-anak harus segera diantar ke sekolah. 4 kg iga di freezer harus segera diolah menjadi pindang tulang yang nikmat. Tugas essay belum lagi tergarap satu paragraf pun.

Semua berlalu tanpa mempedulikan lambaian pohon srikaya. Kasihan betul.

Pohon srikaya di halaman rumah adalah salah satu pemandangan kesukaanku saat mata menerabas jendela. Pohon kurus yang batangnya tak lebih besar dari kaki-kaki. Berbuah satu-dua, tak pernah lebat, tak pernah begitu manis. Juga tak meneduhkan. Tak banyak gunanya memang. Mungkin karena itulah pejalan kaki tak banyak yang peduli.

Namun pagi itu, ada seorang anak yang menghampiri. Dia berlari mengejar bayangnya sendiri, hirau pada srikaya yang melambai-lambai merai jalanan. Namun, seperti tersadar, anak itu kembali.

"Selamat pagi pohon srikaya," katanya setengah terengah sambil memegangi lututnya. Setelah mengatur nafas, ia mengeluarkan botol air minum dari sisi tas.

Anak laki-laki itu mengenakan rompi kotak-kotak cokelat muda, kemeja putih, dan celana senada dengan rompinya. Rambut lurus-hitamnya menyembul di balik topi bundar, berkulit cokelat cerah, dengan mata yang berbinar khas.

"Maaf, aku haus sekali. Kamu mau?" katanya sembari menyodorkan air kepada pohon srikaya yang menyembul dari pagar rendah di halaman rumah.

Pohon srikaya menggeleng perlahan. Katanya semalam hujan, dia masih merasa sangat segar, belum ingin tambahan. Anak laki-laki itu mengembalikan botol minum ke dalam tas.

Aku tidak benar-benar mendengar percakapan mereka. Itu percakapan yang kubuat sendiri sembari memandangi dari celah tirai. Aku masih duduk di sofa dengan secangkir teh dan 1Q84 karangan Murakami yang tak kunjung kubaca. Anak itu, dan pohon srikaya sepertinya tak menyadari kalau aku memperhatikan mereka.

Mungkin 5 menit, mungkin 7 menit, hingga anak laki-laki berompi itu berlalu. Usai melambai, ia berlari riang mengejar bayangan yang semakin panjang, menuju sekolah di ujung jalan.

Dan langit masih sebiru rindu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island