Posts

Showing posts from February, 2013

koran

Pagi ini koran berkeringat kata-kata dan ayah tercetak di dalamnya Ibu menanak tangis dalam-dalam                 Begitu matang Dihidangkan dengan satu keping senyum Pada piring kami yang kosong Aku meninggalkan Ibu--dan senyum pada piring kosong--saat koran belum datang Tapi gerimis sudah bertandang Jadi, kalau matahari terlambat pulang Mungkin dia bersama koran-koran yang menunggu siang

Gambar Putri-Putri

Matahari sudah silau, tapi belum panas, masih hangat di pipi dan tanganku. Si pedagang baru masih merapikan gambar tempel di atas terpal biru. Dia punya gambar bunga berwarna merah jambu. Bunga yang sebesar tanganku itu punya batang dan daun berwarna hijau. Juga dilengkapi keranjang, dan beberapa bunga lain. Ada bunga yang satu-satu, ada yang bergerombol. Juga ada rumput berwarna hijau. Seperti bongkar pasang gambar tempel, nanti kita bisa mengatur gambar tempel itu. Seperti yang dibelikan Ibu untuk tembok kamarku. Di sebelah gambar bunga ada kelompok gambar tempel berisi liuk-liuk garis berwarna hitam. Aku tidak suka gambar tempel yang ini. Kenapa warnanya hitam. Siapa yang mau beli gambar tempel berwarna hitam yang membosankan. Dia juga punya satu set gambar miki mos dan mini mos, di bawah gambar itu tertulis mickey mouse dan minnie mouse. Aku sudah bisa membaca, tapi aku sulit membaca yang itu, bagaimana caranya menyebut huruf C sebelum K? Ibu pernah bilang itu Bahasa Inggris

Pedagang Baru

Di gerbang sekolah ada pedagang baru. Berjejer bersama pedagang-pedagang lain yang meletakan barang-barangnya di atas terpal biru. Pedagang-pedagang ini dilarang masuk sekolah. Kalau bel masuk berbunyi, gerbang ditutup, mereka tetap di sana, sampai kami pulang sekolah. Kalau bel istirahat berbunyi dan ada anak yang malas ke kantin, dia diam-diam pergi ke gerbang sekolah. Kami bisa jajan dari balik gerbang. Menunjuk mainan dan makanan dari celah tembok. Biasanya mereka, para pedagang, ada di sana, tetapi kadang-kadang juga tak ada. Itu adalah saat petugas berseragam datang, dengan mobil berwarna biru berkacak pinggang di luar gerbang sekolah. Pedagang baru itu memakai kaus abu-abu. Belum pernah kulihat sebelumnya. Dia meletakan jualannya di samping tukang siomay. Aku melongok dari dalam mobil, ternyata dia menggelar gambar tempel. Banyak sekali gambar tempel. Ada gambar bunga, gambar tweety, mickey mouse, doraemon. Setelah mobil sampai di dalam sekolah, aku meraih tangan ayah

Pulang

Petani terakhir yang kami temui berkata, gerbang besar sudah dekat. Maka kami memutuskan untuk berjalan kaki saja, menuju jalanan yang kian syahdu. Kami lupa, meski perempuan, dia adalah petani gunung. Sedekat apapun yang dia maksud, akan puluhan kali lebih jauh dan melelahkan buat anak-anak urban yang cuma bisa merengek-rengek menetek pada ibu di rumah. Bayang semakin memanjang ke timur, dan punggungku semakin bungkuk. Ransel ini mungkin 7 kg beratnya, ditambah perjalanan berjam-jam, bukan indikasi yang baik bagi mahluk-mahluk berdaging dan bertulang. Semakin jauh, jalanan setapak makin tak beraturan. Ladang pun semakin berantakan, dibiarkan tumbuh begitu saja oleh burung-burung yang tainya membawa biji-bijian. Mungkin 7 jam, atau 8 jam, tak pernah ada yang betul-betul memastikan sejak bertemu petani terakhir tadi, hingga kami temukan juga gerbang kelabu yang tak  gagah, tetapi juga lebih dari sekadar gerbang biasa. Seperti benteng yang mengelilingi entah apa yang harus dil

pohon srikaya

Langit masih sebiru rindu. Dan aku masih memandangi jalanan dari celah tirai. Ada sepotong halaman di antara tirai dan jalan. Halaman yang teronggok begitu saja. Seperti sisa koran yang terserak usai para muslim sembahyang di lapangan dekat rumah. Masih ada bulan sisa semalam, putih di langit yang sebiru rindu. Tak banyak awan, hanya sejumput di ujung barat, hampir pudar tersapu udara yang bergerak. Ranting pohon srikaya masih manggut-manggut meraih jalanan, mungkin ia berusaha ramah pada pejalan kaki di depan rumah. Namun, siapa yang peduli pada ranting-ranting srikaya? Ada tumpukan berkas di kantor yang minta segera digarap. Anak-anak harus segera diantar ke sekolah. 4 kg iga di freezer harus segera diolah menjadi pindang tulang yang nikmat. Tugas essay belum lagi tergarap satu paragraf pun. Semua berlalu tanpa mempedulikan lambaian pohon srikaya. Kasihan betul. Pohon srikaya di halaman rumah adalah salah satu pemandangan kesukaanku saat mata menerabas jendela. Pohon kurus

Hey, little-troublemaker!

Image
taken from wikipedia Inti dari Django Unchained sebenarnya tidak berbeda jauh dengan film-film Disney, pangeran penyelamat putri yang sedang dalam kesusahan. Ini cerita Django menyelamatkan Broomhilda. Kalau Aladin punya jin, Django punya Schultz, yang kemampuannya bahkan lebih dari sekadar jin yang cuma bisa memberi tiga permintaan. Semacam Romeo dan Juliet yang terpisahkan karena terlahir dari keluarga tertentu, Django dan Broomhilda terpisahkan karena berkulit hitam dan percaya pada kebebasan. Kebebasan yang membuat gagap ketika benar-benar nyata. Klasik. Satu jam pertama adalah komedi yang nampar, dilanjut kisah sedih perbudakan, lalu soal minoritas dalam minoritas, disambung adegan penyelamatan yang norak (a bit cheesy but funny in a good way I supposed), akhirnya ditutup dengan gaya Hollywood, seolah sedang berkata: Hey, jangan lupa, ini film cowboy Hollywood loh! Secara keseluruhan, brilian! Meski ga sesadis inglorious basterd, yang mana sampe sekarang aku masi

Nikmat mana yang kau dustakan?

Beberapa orang yang saya kenal terkadang terlalu buta untuk melihat nikmat semesta. Mengeluh sepanjang hari mengenai kantornya yang tidak menyenangkan, gajinya yang terlalu kecil, waktunya yang terlalu singkat, teman-teman yang tidak menyenangkan, atau bahkan soal keberuntungan yang tak kunjung datang. Seorang kenalan mengisi blognya kebanyakan dengan tulisan satu-dua paragaraf keluhan. Teman dari si kenalan juga kerap mengeluh tiap kali bertemu, sepertinya seluruh hidupnya tidak ada yang baik. Mengeluh tentu wajar, tetapi kalau seluruh hidup dikeluhkan seolah tidak pernah ada hal baik yang terjadi, agak aneh bagi saya. I'm not a lucky bastard who has no single problem in my life, course I did. Even sometimes feel like want to escape and find a new life. Saya bisa saja iri pada si kenalan karena saya tidak pernah dapat tugas luar kota, apalagi luar negeri, yang isinya bersenang-senang. Tugas luar kota saya melulu bekerja dari pagi hingga sore dan menulis berita di malam hari.

Cerita Gelisah

Salah satu hal menyenangkan di Jakarta ini adalah jalan kaki di malam hari. Biar gelisah keluar bersama keringat. Ada tukang ojek yang sukanya siul siul minta diajak berantem, pegawai kantoran yang sedang berjajar di warung pecel lele, bule-bule yang menyampirkan jas dan bergegas, taksi yang menurunkan kecepatannya berharap aku ingin diantar, atau pemuda yang keranjang sepedanya penuh rentengan kopi. Aku membayangkan si pegawai kantoran baru saja mengalami hari yang buruk karena bosnya sedang uring-uringan, lalu motornya macet di parkiran kantor, tak mau menyala, hingga akhirnya dia memutuskan untuk makan malam dahulu baru kemudian memikirkan jalan keluar. Bule yang bergegas mungkin frustrasi dengan macetnya Thamrin, hingga memutuskan jalan kaki saja menuju apartemen. Bapak taksi mungkin sedang bahagia karena akan memiliki momongan, sekaligus gelisah pada biaya persalinan, padahal sejak tadi tak ada lagi penumpang. Namun kebahagiaannya mengalahkan kegelisahan, sehingga ia berk

Vegetarian

Kenapa aku selalu menolak disebut vegetarian? Mudah saja sih, karena aku masih makan ikan. Ha! Sebenarnya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya, sampai tadi malam, Diana bertanya: so, how many vegetarian in this table? Andrea sontak menjawab: it's three of us, me, tess, and rika. Namun Tess langsung meralat: just me and andrea. Tess adalah seorang vegetarian sejak berusia 13 tahun, teman lama waktu mengambil kelas sejarah politik Indonesia. Sepertinya dia ingat aku seolah selalu menolak disebut vegetarian. Setiap ada yang bertanya, aku lebih memilih untuk menjelaskan bahwa aku tidak makan daging, hanya sayur dan ikan, alih-alih menyebut diri vegetarian. Atau jika sedang malas menjelaskan, aku hanya berkata: yeah, kind of. Dan aku tidak pernah memikirkan hal itu. Maksudnya aku tidak pernah secara sadar betul-betul menolak disebut vegetarian, tapi juga tidak pernah mengklaim sebagai vegetarian. Sampai tadi malam ketika Tess mengoreksi Andrea. Tersadar, kenapa aku selal