Kriminalisasi Pembeli Seks?


Saat melintasi trotoar sekitaran Bundaran HI kemarin sore, saya dicegat reporter dari PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), entah mewakili PKBI Indonesia, atau PKBI Jakarta.

Reporter ini bertanya mengenai kriminalisasi pembeli seks. Dari caranya bertanya, dia kelihatan ingin betul menyuruh saya berkata: ya, saya setuju pada kriminalisasi pembeli seks.

Masnya: Mb, setuju tidak pada kriminalisasi pembeli seks?
Saya: lah, kenapa harus dikriminalisasi?
Dia: Kenapa tidak?
Saya: Itu kan hukum ekonomi, ada supply, ada demand. Ada demand ada supply. Kalau aku punya uang, aku ingin beli handphone, dan ada penjual, kenapa aku ga boleh beli? Aku kan ga nadah? Selama si pembeli juga beli dengan fair, ikut "aturan", misal pakai kondom, tidak melakukan kekerasan, ya hal-hal semacam itu, kenapa harus dikriminalisasi mas? Aku malah ga ngerti logikanya ni.

Persoalan pembeli dan penjual seks memang lebih rumit dari pada persoalan membeli telepon genggam. Namun mengkriminalisasi pembeli seks juga tidak menyelesaikan akar masalah kalau memang tujuannya adalah untuk mengurangi endemi HIV.

Selanjutnya pembicaraan menjadi panjang, tidak sekadar tanya-jawab.

Pertanyaan-pertanyaan mengarahkan yang digunakan reporter PKBI itu adalah: KENYATAANNYA ada sekian juta laki-laki menularkan kepada istrinya. KENYATAANNYA laki-laki pembeli seks tidak mau pakai kondom. KENYATAANNYA sudah ada kriminalisasi terhadap perempuan pekerja seks.

KENYATAANNYA ada sekian juta laki-laki menularkan kepada istrinya.

Saat mengatakan ini, si reporter tidak menegaskan yang dia maksud menularkan. Apakah HIV, ataukah IMS. Jadi saya pikir itu general saja, IMS. Setahu saya, duduk di toilet saja bisa tertular IMS. Jadi si istri juga tidak perlu berganti pasangan cuma untuk tertular IMS.

Lagi pula, apakah sudah ada penelitian laki-laki yang menularkan penyakit ke istrinya adalah karena dia berhubungan seks dengan pekerja seks, ataukah dia berhubungan dengan rekan yang sama-sama sedang butuh? Tidak semua orang dengan mudah bertransaksi dengan pekerja seks. Kenapa mengabaikan kemungkinan perselingkuhan fisik tanpa alat bayar? Kenapa semuanya menyalahkan pekerja seks? Seperti cari kambing hitam saja.

KENYATAANNYA laki-laki pembeli seks tidak mau pakai kondom.

NAH! Persoalannya itu kan pada akhirnya, bahwa mereka ga mau pakai kondom. Seorang mbak pekerja seks di Jogja pernah bercerita, pelanggan hampir selalu menawarkan bayaran yang lebih tinggi kalau tidak pakai kondom.

Jangan berpikir tinggi itu seberapa tinggi, paling selisihnya Rp30.000 saja. Cuma cukup untuk ongkos taksi dari Semanggi ke Mampang doang. Tapi untuk mbak pekerja seks, uang itu bisa untuk makan dua hari sekeluarga.

Kalau persoalannya karena ga mau pakai kondom, kenapa harus kriminalisasi orang yang membeli seks? Bisa aja dia berhubungan seks sama banyak rekan, berganti-ganti, lalu saling menularkan. Ga harus beli seks juga bisa ketularan kok. Kenapa jadi nyalahin mbak-mbak pekerja seks doang?

Iya, pekerja seks (baik laki-laki maupun perempuan) juga berisiko menularkan, karena terpapar pada banyak vagina dan penis. But don't be prick, there are things called one night stand, or casual sex. Do you think those can't spread disease?

Balik lagi ke soal utamanya, pemakaian kondom kan? Atau kalau bisa, ya jangan berganti-ganti pasangan. Ini persoalan edukasi.

Masalahnya, bagaimana bisa mengedukasi dengan komprehensif dan efektif kalau seks masih saja dilihat sebagai hal negatif. Dibicarakan diam-diam, bisik bisik, karena takut lidahnya dipotong tuhan di neraka. Emang tuhan ga bisa denger bisik bisik? -__-

Seks harus dilihat dengan kepala terbuka secara positif, baru bisa belajar dan berdiskusi dengan komprehensif, melihat dari segala sisi. Kalau buka pikirannya setengah-setengah, tahunya juga setengah-setengah, mikirnya yang porno-porno doang.

Gampangnya, buka dulu pikiran sebelum buka celana. Bukan sebaliknya. Kalau pikiran terbuka, buka celana juga bakal lebih hati-hati, ada banyak pertimbangan.

Saat edukasi sudah komprehensif, pengetahuan sudah lengkap, pasti juga mikir seribu kali sebelum meutuskan ga pake kondom, entah dalam hubungan seks yang berbayar atau tidak. Sakitnya ga bakal sebanding sama enaknya.

Ga bisa dipungkiri kalau nafsu yang bicara, akal sehat juga ga jalan lancar. Lagi marah aja suka bikin ga bisa mikir, apalagi kalau lagi nafsu. Makanya saya percaya, orang yang lebih banyak terpapar seksualitas yang lebih komprehensif (ga cuma sekadar penetrasi penis ke vagina) juga lebih bisa mengontrol hal-hal begini.

Ini masalah kebiasaan. Misalnya di kelas selam diajari untuk selalu melakukan segala sesuatu dengan benar untuk melatih kebiasaan, supaya selalu melakukan dengan benar.

Instruktur saya bilang saat menyelam di kedalaman kinerja orang jadi lebih lambat, alias lemot. Sehingga semua hal benar harus diajarkan dan dilakukan berulang agar menajdi kebiasaan sehingga menjadi insting. Saat terjadi sesuatu, maka yang terlacak otak adalah kebiasaan yang benar itu. Sama aja dengan persoalan seks. Saat otak juga lambat pake logika lantaran nafsu, maka autopilot yang jalan, sehingga saat terjadi sesuatu, insting yang diciptakan dari kebiasaan baik dan edukasi yang jalan.

Edukasi seks itu bukan soal cara berhubungan seks. Saya ga sependapat dengan Menteri Pendidikan Muhamad Nuh yang bilang dia kolot maka dia tidak setuju. Ini bukan soal kolot, ini soal mau tahu atau tidak mau tahu.

Banyak orang yang berpikir edukasi seks adalah insting, ga perlu belajar. Itu sama bahayanya dengan pikiran bahwa menjadi orang tua adalah persoalan insting dna kamu tidak perlu belajar. Ga heran banyak anak balita dikasi makan ciki sama ibunya.

Berulang kali dalam banyak tulisan saya katakan bagaimana pipis yang benar dan bagaimana membersihkan vagina dan penis setelah pipis, adalah salah satu pendidikan seks. Saat usia remaja pendidikan seks bisa mengajarkan soal perubahan tubuh. Kenapa suaranya berubah, kenapa jakunya tumbuh, apa dan kenapa menstruasi atau mimpi basah, atau kenapa beberapa bagian tubuhnya ditumbuhi rambut, dan bagaimana cara merawat serta membersihkannya.

Bahwa berhubungan seks sebelum umur 20 tahun bisa meningkatkan kanker cerviks bisa diajarkan ketika mereka sudah akil balig. Pada fase tertentu cara memakai kondom juga perlu dibicarakan.

Tidak ada yang menjamin anak-anak muda ini tidak berhubungan seks sama sekali. Saya pikir lebih mengkhawatirkan lagi kalau mereka berhubungan seks seenak udel dan ga tau yang namanya kondom sama sekali. Mending kalau "cuma" hamil, lah kalau tertular HIV, urusan kan lebih ribet lagi dari pada ngajarin pake kondom.

Argumen pamungkas dari si reporter adalah: KENYATAANNYA sudah ada kriminalisasi terhadap perempuan pekerja seks.

Ini yang logikanya paling sulit dimengerti. Kalau merasa kriminalisasi pekerja seks adalah salah. Lalu, apakah dengan mengriminalisasi pembeli seks, itu akan mengubah stigma kriminalisasi pekerja seks? Jelas nggak dong, itu malah akan meneguhkan dan menambah beban kriminalisasi pekerja seks.

Lagi pula, kalau alasan melakukan kriminalisasi adalah ingin melindungi istri, itu seperti melindungi satu kelompok perempuan, dan melupakan kelompok perempuan lainnya.

Maksud saya, sebagian besar pekerja seks di Indonesia mendapatkan uang bukan untuk beli mercedes atau untuk jalan-jalan ke Bahama kan? Mereka menjual seks cuma supaya bisa makan sekali sehari, dari beras penuh kutu berkualitas rendah yang tak laku masuk hipermarket.

Putnam Tong dalam salah satu bukunya mengatakan yang menanggung beban ketidakadilan paling besar adalah perempuan miskin. Karena beban itu tidak hanya datang dari laki-laki, juga datang dari lingkungan, kehidupan sosial, juga perempuan lain dengan status sosial yang lebih tinggi.

Comments

  1. Makasih ya... sudah menulis tentang kriminalisasi pembeli seks..!

    ReplyDelete
  2. Sulit memang, apalagi jika membicarakannya saja sudah dianggap keramat.

    ReplyDelete
  3. Hmm pas hari sabtu itu juga saya ketemu sama rombongan demonstrasi di Bunderah HI yang kayaknya temanya sama. Saya inget ada yg bawa spanduk soal beli perempuan, seks, dsb.Saya setuju sebetulnya bahwa seks sebaiknya dianggap sebagai hal yang lumrah, kebutuhan biologis selain sandang papan. Dengan membicarakan hal tersebut, tentu orang bakal lebih aware kenapa dan mengapa.

    Paragraf terakhir mengingatkan saya soal bupate ng(Aceng) dari Garut itu :(. Maka saya yakin juga sih, pendidikan moral agama tidak punya kemampuan untuk membendung persoalan semacam nafsu begini

    ReplyDelete
  4. Terima kasih Mbak Rika, obrolan kita yang sebentar itu jadi tulisan. hehe. Menarik ini, saya punya argumentasi yang bisa kita jadikan bahan diskusi. tetapi membahasnya di forum tanya jawab di sini nanti malah jadi debat kusir. MAri kita kopi darat di acara rabu perempuan di kafe tjikini jam 5 sore. Kita bisa diskusi di sana. salam kenal. Ryan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mas Ryan! senang sekali bisa ketemu di sini! Maaf ya aku ga bisa kalau hari kerja, karena deadline ku setiap hari jam 5. Mungkin kali lain mas.

      Delete
  5. I think this one liner speaks the same of my thoughts: "Gampangnya, buka dulu pikiran sebelum buka celana. Bukan sebaliknya. Kalau pikiran terbuka, buka celana juga bakal lebih hati-hati, ada banyak pertimbangan."

    Keep up the good work, Rik!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi