Hal-hal yang Terlewat
Rabu siang Ibu mengirim pesan singkat:
Teh, doain mama ya biar sehat.
Seumur 25 tahun, ini pertama kalinya Ibu mengirim pesan semacam itu. Meski ditelepon dia berkata baik-baik saja, pasti ada yang tidak beres. Lagi pula di Indonesia ini, mana ada yang bilang dirinya tidak baik-baik saja. Baik-baik saja adalah jawaban standar dari semua pertanyaan: Apa kabar?
Malamnya adik mengirim pesan singkat yang intinya mengatakan: Mama struk.
Maka saat matahari masih dingin di timur, aku sudah di rumah.
Ibu terserang TIA, kata dokter-dokter Malaysia ini. Aku tidak betul-betul paham arti kata iskemik dari serangan iskemik sesaat yang menyerang Ibu. Satu-satunya yang paling mudah dipahami dari ucapan dokter adalah, otak ibu sudah diserang stroke. Ini bukan pertanda baik.
Google menemukan beberapa situs yang membantu untuk semakin khawatir. Stroke iskemik ini kalau terlambat ditangani akan menyebabkan semakin banyak jaringan otak yang tidak lagi berfungsi sehingga bisa berpengaruh pada motorik, ataupun memori ibu.
Aku pikir itulah kenapa belakangan Ibu sering tersesat di lorong-lorong yang dikenalnya dalam ribuan subuh. Mungkin itu juga yang membuat kalimat-kalimat Ibu belakangan jadi sulit dimengerti. Belum lagi pusing-pusing yang tak kunjung hilang dari pagi hingga pagi kembali.
Dan aku tidak pernah ada di rumah saat Ibu mengalami itu semua.
Malamnya, aku duduk bersama Ibu sembari menyiapkan jamur untuk makan malam. Bukan di dapur, tapi di ruang keluarga.
"Di sini hari-hari terakhir Papa sebelum meninggal. Tergeletak, di depan tv. Bahkan kalau mama ke kamar mandi saja, pasti dicari. Katanya: Mama tuh jangan pergi-pergi, Papa takut ada apa-apa."
Saat itu aku tidak berani melihat wajah Ibu. Aku tidak pernah ada di rumah ini. Aku tercerabut dari banyak kejadian. Sembari membersihkan jamur, aku hanya bisa membayangkan Ayah yang gagah dengan seragam jaksanya, Ayah yang membentak-bentak tersangka, menjadi begitu tidak berdaya. Masa-masa itu pasti sangat melukai harga diri Ayah.
"Terakhir di rumah sakit, Anthy sama Icha mama suruh pulang. Gedeh* juga mama suruh pulang. Ga tega mama kalau mereka lihat Papa begitu. Nafasnya uda di leher. malamnya status papa sudah plus. Artinya sudah ga ada Papa itu. Mama dipanggil dokter ke ruang tamu di kamar Papa. Sebelum dokter bilang, sebenernya mama sudah tahu dokter mau bilang apa. Dokter bilang: Ibu, maaf, semua daya upaya sudah kami upayakan..."
Aku mengingat kamar Ayah di rumah sakit. Yang paling kuingat adalah monitor yang menunjukan denyut jantung dan bunyinya yang menghantui.
"Belum selesai dokter bilang, tiba-tiba ada suara Papa. Dia cuma bilang: Mama..., langsung buru-buru mama masuk ninggalin dokter. Ga mama peduliin lagi dokter. Papa sadar, jantungnya ada lagi di monitor! Langsung buru-buru mama suruh adek dianter ke rumah sakit. Rupanya begitu ada adek, Papa langsung muncul lagi semangat hdiupnya Dari situ Papa berjuang betul-betul. Dokter sampai bilang: Perjuangan Pak Perry ini luar biasa bu!"
Ah, apa yang aku lakukan di malam itu? Makan Malam? Mengerjakan skripsi? Siapa yang tahu.
"Papa cuma bilang sama adek: Anthy jangan nangis, Icha jangan nangis, Adhy jangan nangis! Papa ga mau lihat ada yang nangis. Mama juga jangan nangis! Itu kan malam pas Papa nelepon kamu. papa juga sempet telepon Yogi kan?"
Aku ingat, itu adalah malam saat ayah menelepon. Katanya: jaga adik baik-baik. Ayah tak berpesan banyak. Satu kalimat itu saja. Dia juga menelepon pacar, katanya: Yogi, om titip Rika, ya.
Ibu tiba-tiba saja bangkit, kembali ke kamarnya.
Dan aku masih menekuni jamur di hadapanku. Berapa banyak hal-hal yang sudah terlewat? Berapa banyak lagi yang akan dilewatkan kalau terus berkeras bekerja di Ibu Kota?
*Nenek dalam bahasa Palembang.
Comments
Post a Comment