Pak Menteri dan Wartawan
Pekan lalu mailing list menerima transkrip ucapan seorang menteri, yang katanya melecehkan profesi wartawan.
Begini isi transkrip ucapan pak menteri itu:
“...Wartawan itu harus diajak bergerak. ,, Wartawan itu, apa yang didengar itu yang ditulis. Kalau trus gak dengar apa-apa dia gak nulis apa-apa (suara hadirin tertawa). Dipengaruhi orang-orang lain itu yang ditulis. Kacau sudah. Kita yang kacau. Tetapi kalau diterangkan sama wartawan ajak makan siang wartawannya, kumpulkan sepuluh orang, terangkan, terangkan, sekali belum mengerti, dua kali, dua klai belum ngerti, lima kali, lima kali belum ngerti, sepuluh kali. Sampai dia ngerti betul. Baru muat. Begitu dimuat, periksa muatannya, sudah benar belum. Kalau mau, kasih hadiah. Kalau gak mau kasih gak apa-apa, tetapi kebangetan (hadirin tertawa gemuruh). Masa, segede BP Migas gak pernah mau kasih hadiah...”
Seorang teman menanggapi hal itu. Katanya saat awal menjabat di Kementerian yang strategis ini, setelah sebelumnya menjadi menteri di Kementerian lain, pak pejabat sempat bertanya kepada Humas Kementerian, berapa "jatah" yang diberikan kepada wartawan kalau menghadiri konferensi pers. Pada saat itu Pak Menteri minta agar Humas menaikan "jatah" tersebut. Alasannya, supaya wartawan bisa mencicil kredit motor.
Saya yang tak jarang menadah pada ludah-ludah pejabat negara, memang bukan penggemar Menteri satu itu. Dia bukan tipe pejabat negara yang bisa konkrit menjawab saat ditanya mengenai kebijakan, juga bukan pejabat yang sepertinya paham betul dengan apa yang dia kerjakan.
Namun kali ini, saya tidak menyalahkan Pak Menteri. Menurut saya, kesalahannya hanya satu, bahwa beliau terlalu vulgar.
Industri media di Indonesia memang jauh dari ideal. Namun bukan berarti semuanya sama kacau. Saya bilang sih ada banyak tipe wartawan kalau mau dibagi berdasarkan apakah dia mengambil "jatah" atau tidak.
Ada wartawan yang tidak ambil sama sekali. Paling mudah mengembalikan pada Humas yang memberi langsung. Namun namanya juga Humas, pasti pintar bicara, kalau sekiranya susah meyakinkan Humas itu, maka uang (atau voucher) bisa juga dikembalikan lewat kantor. Kantor yang akan mengirimkan ke perusahaan tersebut.
Beberapa lain kadang-kadang mengambil "uang transport" dari penyelenggara. Ada juga yang lihat-lihat siapa penyelenggara acara. Saya tidak mengerti tipe penyelenggara seperti apa yang boleh diambil dananya dan mana yang tidak.
Ada juga yang ambil saja kalau dikasih, pamali menolak rejeki. Sementara lainnya memang niat minta "jatah".
Terakhir adalah bodrek, bukan jurnalis sesungguhnya. Tidak punya media betulan. Hanya datang, meminta uang, lalu entah ke mana. Namun kemudian muncul lagi di acara lainnya.
Praktek seperti ini memang terjadi, seorang teman di koran daerah bahkan mengatakan pemberian amplop dilakukan terang-terangan, bukan dosa sosial. Sebab itu ayah benci betul profesi ini. Katanya dia sering diperas oknum wartawan.
Bahkan teman saya pernah dihubungi Humas Pemprov katanya ada titipan dari Pak Gubernur. Saat teman menolak, si Humas dengan semangat berkata akan mengantarkan THR titipan ke rumah teman. Ahahahah... ini perdebatan telur atau ayam. Uang semacam itu ada karena wartawan atau karena humas?
Namun, menurut saya tidak bisa serta-merta disamaratakan semua wartawan. Misalnya saja pekerja kantor, ada yang malas ada yang rajin. Polisi ada yang resek ada yang kerja betulan. Guru ada yang serius mengajar ada juga yang terima suap katrol nilai. Bankir juga ada yang serius mengelola uang kita, ada juga yang mengalirkan ke kantor pribadi. Hal semacam itu pasti ada kan.
Seorang teman pernah kesal dan berkata: tuh bodrek, datang cuma minta makan doang.
Ah, kenapa marah? Bukannya harusnya kita sedih ya? Ada yang datang jauh-jauh, melupakan harga diri, hanya untuk numpang makan di seminar.
Beberapa orang mungkin marah, tetapi saya selalu pikir itu pilihan masing-masing. Toh saya juga pasti tidak bisa membantu saat ada yang kesulitan keuangan. Saya memang tidak suka pada citra yang mereka buat atas profesi ini, tetapi mereka dan saya cuma sama-sama cari makan bukan?
Persoalannya, tidak hanya bodrek sih, ada juga beberapa wartawan yang terang-terangan meminta, sehingga pemberitaan bisa disesuikan keinginan narasumber. Namun, hal itu juga tak jarang terjadi secara legal atas nama iklan bukan?
Dengan gaji dari pekerjaan ini saya masih bisa mengirim sedikit untuk ibu, menabung sedikit, dan berinvestasi reksadana secukupnya. Sisanya hanya cukup untuk makan, ongkos liputan, dan bayar kos. Kalau mau bersenang-senang, maka saya harus menulis sedikit-sedikit untuk proyek-proyek kecil.
Ini bukan profesi yang membuat saya kaya harta. Ini profesi yang membuat saya kaya ilmu, kaya pengalaman, kaya relasi. Kalau tidak jadi wartawan, mana bisa saya mengobrol santai sambil berbagi rokok dengan Dirut, Menteri atau setingkat Menteri.
Maksud saya, seorang kepala divisi atau manajer di suatu perusahaan memang terlihat lebih keren dari pada jadi wartawan. Namun mereka juga butuh media untuk tahu kebijakan terbaru BI, berapa kerugian suatu perusahaan, berapa defisit neraca berjalan Indonesia. Karena mereka tidak punya akses langsung. Sedangkan saya, terlalu tidak percaya pada media sehingga butuh cari tahu sendiri.
Seorang wartawan senior pernah menasehati saya: kamu tidak akan pernah kaya dengan menjadi wartawan, ini adalah pekerjaan hobi. Kamu harus senang, baru bisa nikmat di sini. Sementara untuk sukses, perkara lain lagi.
Nasib menjadi kuli/buruh tinta...hehehe...sering disalahpahami...bahkan sampe sekarang ortu/sodara masih aja bingung kenapa hari Minggu harus kerja/ngetik berita. Well, andaikan orang-orang sadar, di TV aja sampai larut malam & pagi buta ada news presenter & tim produksi yang masih kerja supaya orang bisa santai nonton TV...
ReplyDelete