Bagaimana kalau kehidupan modern ini dekadensi peradaban?
Pagi tadi ketika berjalan kaki sepanjang Rasuna Said, tiba-tiba saya merasa gedung yang menjulang dan asap tebal di kiri kanan ini jangan-jangan adalah dekadensi peradaban.
Seperti kata Lemn Sissay, bagaimana kalau hal-hal yang kita anggap kemajuan, justru adalah kemunduran? Apa iya, hidup “modern” adalah lebih baik dari kehidupan di pinggiran hutan dengan udara segarnya?
Kenapa orang kota sering kali sok, merasa bahwa lebih modern adalah lebih baik dan bak pahlawan menawarkan cara hidup baru bagi suku-suku di pedalaman? Apakah iya, menjadi lebih modern dan berkejaran dengan waktu adalah lebih baik dari pada menunggu babi masuk dalam jerat?
Mengapa Suku Anak Dalam, Suku Sasak, Suku Asmat, dipaksa modern? Diberi pakaian gaya orang-orang di kota, dibuatkan sekolah formal dengan kurikulum Kementrian Pendidikan. Apakah ilmu dari pendidikan sekolah formal dapat membantu mereka mendapatkan buruan yang lebih baik?
Atau, jangan-jangan sekolah dan segalanya itu adalah persiapan agar mereka dapat bertahan ketika Hutan yang menjadi rumah mereka dihancurkan?
Pada masa fellowship di Greenpeace, seorang teman dari Kalimantan mengatakan bahwa salah satu kelompok Suku Dayak di daerahnya mulai terserang diare. Wabah itu menjadi celah bagi kehidupan modern untuk masuk, dan mengatakan bahwa gaya hidup tradisional tersebut tidak sehat.
Namun setelah dirunut, ternyata kehidupan modern itu sendirilah yang telah merusak budaya mereka. Pertambangan telah mencemari mata air yang biasa digunakan, sebab itu diare mewabah.
Duh, orang-orang modern, apa masih tidak tahu malu untuk muncul sebagai pahlawan?
Berapa ratus budaya yang harus dikorbankan, dihilangkan demi kehidupan modern yang belum tentu bikin bahagia dan belum tentu lebih baik ini?
Bagaimana kalau ternyata yang lebih baik adalah hidup seperti mereka? Bersahabat dengan alam, sederhana, dan tidak saling merusak. Kenapa tidak membiarkan hutan mereka, mata air mereka, udara mereka, terus alami agar mereka dapat mempertahankan budaya-nya?
Bagaimana kalau segala yang kita pikir lebih baik ini justru tidak lebih baik? Bagaimana kalau sebenarnya yang terbaik adalah yang sudah kita tinggalkan ratusan tahun lalu?
Lagi pula, bukankah yang terbaik itu selalu berubah secara konstan? Masihkan harus percaya yang lebih baik? Apa iya, asap pabrik yang mengepul itu lebih baik? Apa iya, sugai Ciliwung yang hitam dan pekat itu lebih baik? Apa iya, high heels dan blazer itu lebih baik?
Saya tidak pernah membenci kehidupan modern. Toh saya adalah salah satu roda penggerak di dalamnya. Namun saya tidak suka superioritas kehidupan modern yang merasa bisa mendefinisikan segalanya. Termasuk mendefinisikan mau diapakan bumi ini nantinya.
Saya masih berjalan di sepanjang Rasuna, merasa kecil dan sendirian. Tetiba teringat Francis Dela Cruz, seorang enviromentalis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya untuk Bumi yang lebih baik.
Dalam banyak kesempatan Papa Francis (panggilan akrab kami para penerima fellowship untuknya) selalu berkata:
“What I am doing now, is planting fig trees. I know I won’t have enough time to either taste the fruit or find the tree big enough. But I know my grandchildren, or anybody from the future going to taste the fruit. And that’s enough for me, to imagine that somebody going to take the positive benefit from what I’m doing now. Environmental thing always need more than just 20 years until you find progress result”.
Urusan lingkungan memang tak sekadar membutuhkan sepuluh atau 20 tahun. Jika bumi terus dieksploitasi, MUNGKIN manusia bisa adil pada sesamanya di saat ini. Akan tetapi keadilan bukan hanya horizontal bagi sesama kita saat ini, tetapi juga untuk manusia-manusia masa depan.
Keadilan juga bukan sekadar kepada manusia, jangan pernah lupa manusia cuma bagian kecil dari alam dan isinya. Apa mengeksploitasi segalanya saat ini sudah cukup adil bagi alam serta manusia-manusia yang akan datang?
Pohon-pohon besar (kalau ada yang cukup besar) di sepanjang Rasuna, Thamrin, Sudirman, butuh berapa tahun untuk bisa sebesar itu? Apa si penanam pohon masih hidup dan bisa menikmati berteduh di bawah pohon besar yang rindang itu? Atau jangan-jangan si penanam pohon tahu bahwa dia tidak akan bisa menikmati sampai pohon itu kokoh dan rindang, karena tak ada waktu untuk menikmatinya.
Pengaruh dari sikap baik kepada lingkungan bukanlah sesuatu yang instan, bukan sesuatu yang dapat dirasakan langsung oleh orang-orang yang melakukan hal-hal ramah lingkungan pada saat ini.
Mungkin banyak orang tidak akan menyadari dan tidak akan berbuat apapun sampai kedua kutub benar-benar mencair, karena itulah harus ada yang mengingatkan mereka. Terus menerus, tanpa bosan.
There’s no finish line. You always need a lifetime!
Bagaimana kalo ternyata tidak ada yang namanya Modern? Suku dayak yg katanya tidak moderen adalah versi moderen dari manusia perahu yg pertama kali mencapai kalimantan ratusan tahun lalu. Kalau patokan moderen adalah kota, apakah Kota New York lebih Moderen dari Bandung misalnya? Buat aku mungkin tidak bisa menyalahkan moderen karena memang tidak ada istilah moderen. Mungkin yang di salahkan adalah proses, proses jadi benar sering kali di dahului dengan salah. Katanya sih gt.. :P
ReplyDeletekalau pakai logika itu, kupikir tinggal bawa ke levelnya masing-masing aja. misalnya, apa iya kehidupan suku dayak yang lebih modern itu lebih baik dari pada kehidupan yang lebih tidak modern pada masa sebelumnya. lalu setelah ada kehidupan yang lebih modern lagi dari saat ini, apa itu juga bisa jadi lebih baik dari yang sekarang atau lebih mundur...
DeleteadA gk yg namanya hutan modern? gunung modern? laut modern? udara modern? gua modern, apa pabrik-pabrik berasap itu kita paksa untuk mematikan tungkunya? lalu tetap memproduksi barangnya, dengan cara manual tanpa bantuan mesin berasap? hanya bantuan tangan manusia dan alat mekanika sederhana , semuanya dikerjakan dengan tangan dan akan menjadi hasil karya yg tidak akan digunakan seenaknya karena sulitnya membuat produk tersebut, dan karena permintaan pasar akan kebutuhan barang yg dihasilkan pabrik tersebut besar maka untuk mengganti mesin-mesin berasap tersebut, dibuka lapangan pekerjaan sebesar-besarnya dan calon pelamar diutamakan dari kalangan ANJAL, masyarakat usia produktif yg tidak bekerja dan YATIM PIATU yg tidak bersekolah? mungkin masalah kemiskinan dan pengangguran akan terselesaikan dengan segera ya?
Delete