Pada mulanya adalah kata
Pada mulanya adalah Kata, lalu detak yang lalui ribuan senja. Aku kira ini detak dalam tubuhku. Rupanya degupmu yang begitu kencang.
--
Siang itu Kata begitu masai, kuyup dalam deras cahaya mentari. Lalu ia berlarian menuju kamar mandi, meninggalkan tetes matahari di teras, ruang tengah dan kamar tidur kita, bersama gigil yang entah dari mana.
Dan aku masih meringkuk di ranjang, memandang sekilas pada sengal nafasnya.
"Apakah kau tahu matahari membasahi tiap sudut kota hari ini. Aku pikir kita seharusnya sudah memasuki kemarau"
Aku hanya menggeliat tak tertarik, "Matahari akan segera reda, kupikir besok-lusa akan hujan seharian. Dan kau tak lagi perlu khawatir kebasahan."
"Ya, aku kira aku akan flu karena sudah dua hari matahari datang berturut," tetiba ia sudah di ranjang bersamaku.
"Aku malas bangun."
Tapi alasan tidak akan berguna. Aku tahu binar matanya akan membangunkanku, lalu memaksa bergegas.
--
Di kota ini, 10% penduduknya hidup terpisah dengan bayangannya sendiri. 90% lainnya terlalu lemah untuk hidup tanpa bayangan mereka.
Aku jarang menemui bayanganku, tapi sebagai dua hal yang pernah bersatu, aku tahu kalau ada yang tidak beres dengannya tanpa harus dia menelponku terlebih dahulu.
Bayangku tinggal di pinggir kota. Dia pelukis, dan aku tak paham seni. Sebagian besar penduduk yang tinggal terpisah dengan bayangannya memiliki kesukaan yang identik. Meski tak semua.
Ia hidup dalam ladang yang tak terlalu luas, tetapi cukup untuk menghirup hujan dan memandangi rindu dari kejauhan.
Ladang yang kini tak berpenghuni. Seperti deras tangismu saat ketuban pecah dan rahim tak mau menahanmu lebih lama.
Kali ini aku terlambat untuk waktu yang tidak tepat.
--
Aku kira ini suaramu, yang melena dalam celah di antara buku-buku yang tak pernah tersusun rapi. Ternyata cuma sepasang daun telingaku yang merindu.
Ah, selalu ada hal-hal yang berada di luar kuasa. Seperti hangat nafasmu yang masih tersisa.
Comments
Post a Comment