Cantik


Aku ini perempuan yang paling suka cari pembelaan. Membenar-benarkan diri sendiri. Tadinya ingin bilang seperti si sinting Yunus waktu membenar-benarkan diri dihadap Tuhan kala mangkir dari perintah mengadabkan Niniwe. Ah, tapi siapalah aku ini mau membanding-bandingkan diri dengan Yunus. Tiada aku ditelan paus, tiada pula mengadabkan kaum manapun. Malahan, akulah yang tidak beradab.

Pun kali ini, aku sedang ingin membenar-benarkan diri. Benar atau salah sering kali bergantung pada bagaimana piawainya kau mencipta-cipta alasan, atau seberapa banyak yang bersepakat. Namun sebenarnya aku belum piawai betul membuat-buat alasan. Anggap saja kali ini aku sedang belajar, trial and error. Boleh ada yang setuju, boleh ada yang mendebat. Boleh debat kusir atau debat dengan dalil-dalil.

Ingin kubilang, bukan salahku kalau aku terobsesi pada perempuan cantik. Pada kulit-kulit mulus dan bening, pada lekuk pinggul dan payudara yang mendongak, pada rambut panjang berkilauan, pada apapun cantik versi masarakat modern dengan majalah-majalah kertas berkilaunya.

Dulu, pernikahan ayah dan ibuku tidak disetujui oleh keluarga ayah, juga keluarga ibu. Keluarga ayahku ini sesungguhnya kasihan, tersilaukan oleh hal yang disebut Berschei dan Walster sebagai 'efek halo' kecantikan. Dipikir keluarga ayah, yang terkadang kurasa primitif itu, kecantikan adalah segala-galanya.

Jadi, aku besar di tengah cemooh kakak tertua ayah yang setiap kali bertemu denganku selalu berkata: "Anak Perry ko tak elok" (Anaknya Perry ini tidak cantik). Dipikirnya tidak masalah mengulang-ulang kalimat itu di depan anak kecil. Dipikirnya aku tidak mengerti.

Dia lupa kalau aku jagoan bahasa, aku mengerti bahasa sunda, bahasa pedamaran, bahasa palembang, bahasa jawa, hanya saja tidak bisa mengucap. Ah, biar saja aku bangga untuk hal-hal remeh ini, jika tidak, apalagi yang bisa kubanggakan, cantik saja tidak. (Bagaimana bisa aku tidak terpengaruh jika sejak balita sampai SD kelas 5 itu saja yang kudengar.) Haha.

Kakak perempuan tertua ayahku ini juga sering kali bilang ibuku jelek betul. Kulit Cinanya, hidung peseknya, badannya yang tak semampai. Ah, sudah macam ratu kecantikan sejagat raya saja kakak perempuan ayahku itu.

Jadilah aku benci betul pada kakak perempuan ayah.

Namun, dasar manusia tanpa konsep diri, aku benci tetapi sekaligus terobsesi. Terobsesi menjadi putih, tinggi, berhidung mancung. Pokoknya cantik seperti konsep cantiknya keluarga ayah yang kukira terobsesi pada The Odyssey karya Plato, bahwa yang cantik-cantik itu baik, dan yang jelek adalah penjahat.

Pada saat yang sama, aku juga terobsesi untuk menjadi pintar. Sebagai anak yang sukanya cuma makan tempe dan sayur genjer, aku sadar aku juga tak pintar-pintar amat, harus berulang kali mengulang ujian Fisika agar dapat nilai 7,5. Jadi aku turunkan sedikit obsesikau, setidaknya menjadi sedikit lebih pintar dari anak-anak perempuan dari kakak perempuan tertua ayah.

Artinya lebih pintar dari kakak-kakak sepupuku yang berkulit pualam dan bersemburat merah pada pipinya, seperti apel Fuji yang tak sanggup dibelikan ibu saat aku TK. Eh, waktu TK apa sudah ada apel Fuji dijual di sini?

Dan kalau kepintaran itu hanya ditunjukan dari universitas yang kita dapat, maka aku setidaknya sedikit lebih berhasil dari kakak-kakak sepupuku. Aku pikir cuma aku yang lancar sekolahnya, masuk universitas negeri dan lulus tidak terlambat-terlambat amat dengan nilai yang setidaknya masih bisa digunakan untuk mendaftar S2 di luar negeri. Walaupun aku juga sebenarnya tidak pintar, setidaknya sedikit saja dibandingkan kakak-kakak sepupuku yang berwajah artis itu.

Aku sampai tahap membenarkan pemikiran Yudeo-Kristen. Amsal Salomo atau Yesaya kalau tidak salah yang mengungkapkan bahwa kecantikan itu sia-sia adanya, seperti bunga yang layu. Hehe... tapi tidak yakin juga. Sudah kubilang, aku ini pemikir dan pembaca setengah-setengah. Berargumen saja tidak hapal mengutip ayatnya.

Jadi, kakak-kakak sepupuku ini entah bagaimana nasibnya. Aku tidak pernah dekat dengan keluarga ayah. Katanya salah satunya dinikahkan usai tamat SMA, yang lain mengikuti aliran agama yang sangat ketat, bahkan berbedak saja tidak boleh. Lalu dua lainnya, aku tidak pernah tahu kabarnya.

Tapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya juga kalau aku jadi sedikit lebih bagus karir persekolahannya? Mendapat pengakuan? Sungguh sinting kepalaku ini. Apa pentingnya pula untuk mendapat pengakuan. Sesungguhnya orang yang butuh pengakuan bukankah orang yang merasa tidak diakui, lalu berkecil hati, dan berusaha seluruh kemampuan diri agar diakui. Sungguh menyedihkan hidupku kalau begitu.

Di luar persoalan itu, aku ya tetap saja terobesesi pada kecantikan. Meskipun aku tahu tidak akan pernah bertambah tinggi, atau bertambah bening kulitnya, menjadi mancung hidungnya, atau berlekuk-lekuk tubuhnya. Namanya juga terobsesi, apa bisa kubuat? Ke psikiater mahal sekali ongkosnya. Mungkin menjadi waras cuma hak orang-orang kaya.

Aku ingin sekali menegaskan, dan menulis besar-besar ucapan Leo Tolstoy "sungguh mengagumkan bagaimana sempurnanya delusi bahwa kecantikan adalah kebaikan," tapi mana aku sanggup.

Toh aku juga masih terjebak dalam delusi itu.

Comments

  1. Betul non.. kecantikan, kegantengan tuh ngga awet. Paling 10-20 taun juga udh ilang. Mending yg jelek kaya ak, sampe mati juga awet (jeleknya )..he he

    ReplyDelete
  2. Kalau aku sering mikir bahwa perempuan cantik sesungguhnya tak perlu cinta untuk disukai... cinta mereka butuhkan setelah kecantikannya pudar... hahahaha. Nggak perlu cinta untuk bilang "aku menyukaimu" pada perempuan cantik kan yak ... udah cantik, jd buat apa cinta! Hoeek deh pendapatku ini hahahahahaha ...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi