Ayah
Aku besar sebagai anak perempuan yang sangat menyanjung
ayah. Ayahku tampan, berkelas, dan paling hebat sedunia. Awalnya aku adalah
penggemar terbesar ayahku sendiri.
Saat kelas 3 SD, cinta dan kesetiaanku yang begitu besar
pada ayah terbuktikan melalui sebuah pilihan.
Sore itu ayah bertanya: "Mau ikut mama, atau
papa?"
Jelas, tidak perlu ditanya, ikut ayah, kemana pun ayah mau.
Entah ada apa dengan pilihan tersebut, tidak pernah datang
keadaan tinggal dengan ayah saja, atau ibu saja.
Tahun-tahun berjalan, aku masih mencintai ayah dengan
beberapa memar yang timbul-hilang.
Aku juga masih mencintai ayah saat kopi panas terlempar dari
nampan di tangan menjadi panas di badan. Pun saat bara rokok menyelomot sudut
bibir.
Siapa peduli, aku mencintai ayah. Ayah yang cuma
satu-satunya.
Tapi orang tua bukan malaikat, dan aku tidak selalu jadi
anak kecil.
Siapa yang bisa percaya bahwa ada laki-laki baik di dunia
jika cinta seluruh hidupnya ternyata hianat?
Apalagi perempuan-perempuan itu tidak lebih cantik dari ibu,
bahkan tak seujung kuku adik-adik perempuanku.
Diusir juga ibu dari rumah dinas ayah, rumah yang tak pernah
sekalipun kuinjak. Mana sudi. Aku lebih suka rumah kecil kami. Rumah kecil di
pinggir sungai, yang dari balkonnya bisa kulihat matahari tenggelam.
Lalu aku benci Riau, dan benci setiap jaksa perempuan.
Aku benci setiap uang yang dikirimkan ayah. Namun ibu
bilang, aku harus rajin-rajin minta uang, lalu simpan untuk masa depan,
kalau-kalau suatu saat ada perempuan yang akan mengambil ini semua. Kata ibu,
kalau aku tidak suka, aku harus ingat ada 2 adik perempuan dan 2 adik laki-laki
yang kelak menjadi tanggung jawabku.
Ah, aku bohong.
Siapa yang tak suka uang? Aku hanya tak suka ayah, dan
segala yang berhubungan dengannya.
Tapi semua itu tidak benar.
Bukan ayah yang membuat aku kecewa, tapi ekspektasiku
sendiri.
Aku ini generasi komik Jepang. Generasi yang berharap kisah
cinta semanis gulali dan keluarga sehangat api unggun di Kaliurang. Aku lupa
kalau orang Jepang itu juga kumpulan frustrasi yang sadisnya bukan main kalau
bikin film setan atau film porno.
Mana ada keluarga yang sempurna.
Akhirnya penyakit yang membawa ayah kembali, dan aku sudah
terlanjur tak peduli.
Aku ini anak perempuan picik yang terlanjur sakit hati. Aku
pikir ayah harus sehat, karena dia punya 4 anak, selain aku, yang butuh
keberadaannya. Butuh dibimbing olehnya, betapapun hianatnya ia.
Sayangnya, tak satupun manusia mampu hianat dari
kematian.
Ah ayah...
I dislike you, but you still my dad though. My lovely dad.
Comments
Post a Comment