Posts

Showing posts from October, 2012

Cantik

Aku ini perempuan yang paling suka cari pembelaan. Membenar-benarkan diri sendiri. Tadinya ingin bilang seperti si sinting Yunus waktu membenar-benarkan diri dihadap Tuhan kala mangkir dari perintah mengadabkan Niniwe. Ah, tapi siapalah aku ini mau membanding-bandingkan diri dengan Yunus. Tiada aku ditelan paus, tiada pula mengadabkan kaum manapun. Malahan, akulah yang tidak beradab. Pun kali ini, aku sedang ingin membenar-benarkan diri. Benar atau salah sering kali bergantung pada bagaimana piawainya kau mencipta-cipta alasan, atau seberapa banyak yang bersepakat. Namun sebenarnya aku belum piawai betul membuat-buat alasan. Anggap saja kali ini aku sedang belajar, trial and error. Boleh ada yang setuju, boleh ada yang mendebat. Boleh debat kusir atau debat dengan dalil-dalil. Ingin kubilang, bukan salahku kalau aku terobsesi pada perempuan cantik. Pada kulit-kulit mulus dan bening, pada lekuk pinggul dan payudara yang mendongak, pada rambut panjang berkilauan, pada apapun cantik

Ayah

Aku besar sebagai anak perempuan yang sangat menyanjung ayah. Ayahku tampan, berkelas, dan paling hebat sedunia. Awalnya aku adalah penggemar terbesar ayahku sendiri. Saat kelas 3 SD, cinta dan kesetiaanku yang begitu besar pada ayah terbuktikan melalui sebuah pilihan. Sore itu ayah bertanya: "Mau ikut mama, atau papa?" Jelas, tidak perlu ditanya, ikut ayah, kemana pun ayah mau. Entah ada apa dengan pilihan tersebut, tidak pernah datang keadaan tinggal dengan ayah saja, atau ibu saja. Tahun-tahun berjalan, aku masih mencintai ayah dengan beberapa memar yang timbul-hilang. Aku juga masih mencintai ayah saat kopi panas terlempar dari nampan di tangan menjadi panas di badan. Pun saat bara rokok menyelomot sudut bibir. Siapa peduli, aku mencintai ayah. Ayah yang cuma satu-satunya. Tapi orang tua bukan malaikat, dan aku tidak selalu jadi anak kecil. Siapa yang bisa percaya bahwa ada laki-laki baik di dunia jika cinta seluruh hidupnya ternyata

Kisah

aku ingin bercerita kisah sederhana seperti hujan yang membasahi dinding kaca dan senyummu yang membuatku merasa ada kisah-kisah yang menyelamatkan kenangan seperti cermin kecil di sudut kamar mandi yang membuatmu puas mematut diri kisah soal ketiba-tibaan yang membuatku ingin berbicara denganmu semacam rasa ingin merokok saat tidak ada yang harus dilakukan atau keinginan melahap yang tak didahului lapar kisah soal angka-angka pada kartu dalam saku angka yang membuatmu ada bagi negara sekadar kisah untuk menyelamatkan kenangan agar tidak pudar ditimpa tiga kilogram suara

kenapa

Perempuan seperti aku, dalam usiaku, pasti punya banyak kegelisahan, punya banyak pertanyaan. Misalnya saja aku bertanya-tanya kenapa masyarakat begitu patriarki, tidak ada kesetaraan bagi perempuan sehingga ketidakmampuan memiliki anak selalu dibebankan pada perempuan, atau menjadi janda selalu aib sedangkan jadi duda adalah kesenangan. Kenapa masih ada yang kelaparan sementara Merrill Lynch menghitung kurang dari 1% populasi indonesia yang tergabung dalam kelompok orang kaya bisa punya aset individu hingga US$241 miliar. Kenapa infrastruktur Indonesia sebegitu buruknya sehingga untuk ke Papua saja bisa sama mahalnya dengan ke Benua tetangga. Juga kenapa serapan anggaran pemerintah tidak pernah bisa optimal sehingga infrastruktur kita bisa baik sedikit. Kenapa orang di sekitar tidak ada yang menanggapi global warming dengan serius sehingga mereka sadar seharusnya tidak lagi menggunakan plastik saat belanja dan membawa kantung belanja sendiri, mematikan listrik yang tidak terp

menangis

Selalu ada masa di mana kita cuma bisa menangis tanpa alasan. Tangis sepenuh hati yang tidak perlu sebab dan tidak akan berakibat. Tangis yang begitu tulus, seperti seorang ibu yang mengompres kening hangat anaknya. Tangis yang tidak membuat nafasmu memburu, tangis yang tidak membuatmu sesenggukan, tangis yang tidak akan membuat matamu bengkak atau meninggalkan sembab di wajahmu. Tangis ini seperti air pancuran setelah bekerja seharian, membersihkan hatimu, menyegarkan gelisahmu. Tangis yang menyerupai air saat mengaliri kerongkongan setelah berjalan kaki dari Thamrin ke Sudirman. Tangis yang membuatmu jatuh dalam tdur yang lelap sesudahnya. Tangis yang membuatmu berdamai dengan apapun persoalan yang sudah muncul, dan akan muncul nantinya. Tangis yang membuatmu kuat menundukan masa yang akan datang. Tangis yang membuatmu mampu melihat segala hal yang tak kasat meski hanya dengan mata telanjang. Aku hanya ingin menangis. Namun tak tahu bagaimana caranya.

Bosan

Nafasmu naik turun, seirama rusuk tempatku bersandar. Kau begitu kurus, lebih nyaman bersandar pada tembok di belakangku, tapi tembok tak hangat. Tembok juga tak memiliki bau khas ini. Bau yang sama saat pertama kali  peluhmu ada di ranjangku, satu tahun lalu. Sudah satu tahun rupanya. Saat itu kita begitu canggung. Sekarang? Mungkin sedikit canggung, tapi tak sebanyak dulu. Kita tak lagi bingung kapan harus memulai, tak lagi bingung harus mencari bahan pembicaraan. Tak lagi ada basa basi. Sekarang aku bosan dengan semua yang aku tahu soal dirimu. Bosan pada obrolan ranjang, pada bibir yang basah karena berpagutan, bahkan bosan pada pakaian yang harus kulucuti. Ah, mungkin kita butuh sedikit udara segar, bagaimana kalau cuti sebentar, biar senja yang menentukan kapan ini semua harus dimulai (lagi).

Pada mulanya adalah kata

Pada mulanya adalah Kata, lalu detak yang lalui ribuan senja. Aku kira ini detak dalam tubuhku. Rupanya degupmu yang begitu kencang. -- Siang itu Kata begitu masai, kuyup dalam deras cahaya mentari. Lalu ia berlarian menuju kamar mandi, meninggalkan tetes matahari di teras, ruang tengah dan kamar tidur kita, bersama gigil yang entah dari mana. Dan aku masih meringkuk di ranjang, memandang sekilas pada sengal nafasnya. "Apakah kau tahu matahari membasahi tiap sudut kota hari ini. Aku pikir kita seharusnya sudah memasuki kemarau" Aku hanya menggeliat tak tertarik, "Matahari akan segera reda, kupikir besok-lusa akan hujan seharian. Dan kau tak lagi perlu khawatir kebasahan." "Ya, aku kira aku akan flu karena sudah dua hari matahari datang berturut," tetiba ia sudah di ranjang bersamaku. "Aku malas bangun." Tapi alasan tidak akan berguna. Aku tahu binar matanya akan membangunkanku, lalu memaksa bergegas. -- Di kota ini, 10% pendu

Siapa yang bisa menolak cinta?

Hati yang lemah sebaiknya tak menyusur memori, karena ia akan terperangkap di dalamnya. Kota ini, sayang, memiliki matahari bermata tiga, dan hembus rindu yang tiada habisnya. Jam 11 malam, aspal masih basah sisa hujan tadi siang. Aku dapat merasakan uap air keluar dari gorong-gorong. Seperti hati yang tetiba membuka lemari-lemari memori. Ada kamu di dalamnya. Ini aneh. Karena aku tidak mengenalmu di kota ini, dan sungguh tak ada sesuatu apapun yang dapat mengasosiasikan dirimu dengan kota kecil ini. Namun bayangmu lindap dalam tiap pendar bias cahaya, tanpa kuasa yang melarang. Aku menghirup baumu, mungkin cuping hidungku mengada-ada. Namun ini jelas baumu, yang dihembuskan memori. Sifat melankoliku tak akan pernah cocok untuk relasi laki-laki dan perempuan yang dilabel sebagai pasangan. Maka aku memutuskun untuk menolak jatuh cinta. Karena cinta dan sifat melankoli hanya akan membuat segala sesuatu tampak muram. Tapi, siapa yang bisa menolak cinta jika ia tiba? Aku tid

Aku Tinggal dalam Negara Kembang Api

Image
Tulisan ini ditempel di jalan Rasuna Said dengan menggunakan isolasi cokelat. Foto oleh Superpiko Negara ini, sayang, seperti kembang api. Berkilau, menarik perhatian, memercik kemana-mana, menghabisi dirinya dalam satu sulutan. Jikalau ada yang bertanya seberapa ku mencintai negara ini, aku tak tahu. Tentu aku mencintai Indonesia sebagai tanah air, bagian dari diriku, tempat kembali. Namun, sebagai sebuah negara, apakah aku mencintai negara ini? Aku tak tahu. Keluarga kami, banyak disakiti Indonesia sebagai negara. Aku, misalnya, tak memiliki akta lahir yang sesuai dengan tanggal kelahiranku, hanya karena Ibu mengandung aku sebelum hubungannya dengan ayah direstui negara. Nenekku adalah seorang tionghoa, beberapa sepupu harus mengungsi, atau minimal menggantungkan sejadahnya sepanjang kerusuhan 1998, hanya karena kulitnya langsat dan matanya sempit. Ibu juga pernah bercerita kalau dahulu Ibu harus pindah sekolah, hanya karena ibu berkerudung, dan kakek sepaham dengan seb

Ibu, Musim Haji, dan Anak Perempuan yang Egois

Image
Musim haji sudah tiba, kloter pertama jamaah asal Indonesia sudah tiba di Mekah. Sedih rasanya. Setiap kali membaca berita mengenai haji, keteringatan mengalir pada Ibu. Dia harusnya sudah ke sana bertahun lalu, tapi Ayah tak pernah mau. Ayah bilang, biar orang tuanya dahulu, lalu mereka berdua kemudian. Belum lagi terlaksana Ayah keburu tak ada. Ibu bukannya tak punya uang. Dia menyimpan dananya sendiri. Untuk naik haji, dia bilang. Dia sudah mendaftar bertahun lalu. Seharusnya dia pergi tahun ini, atau tahun kemarin. Ah, aku tak tahu, karena dulu aku tak pernah mau tahu. Bahkan, aku pernah berfikir Ibu egois, hanya memikirkan dirinya, padahal akan banyak biaya dibutuhkan untuk empat adiku bersekolah, mengingat adik lelaki tertuaku tak juga rampung D3-nya bahkan hingga hampir menginjak tahun ketujuh. Padahal, akulah segala biang keegoisan. Ada banyak cerita jamaah yang pulang jadi jenazah. Aku tidak sanggup membayangkan hal itu terjadi pada Ibu. Aku memang anak yang pali