Perkenalkan, temanku bernama depresi


Sejak akhir 2010 sampai paruh awal tahun ini, aku keluar-masuk rumah sakit. Secara klinis aku vertigo, juga pendarahan dari anus yang tak kunjung berhenti. Beberapa kali juga mencret-mencret luar biasa, sampai turun 4 kg dalam 1 minggu. Secara klinis, aku sakit.

Namun dokter tak pernah menemukan akar dari segala penyakit itu. Namun aku tahu, itu depresi. Waktu SMA aku pernah punya gejala yang sama, guru konseling di SMA juga curiga pada depresi. Sesuatu yang tak pernah diundang, entah kapan dia datang, dan terus saja bercokol tak kunjung pulang, entah ke mana pun dia berasal.

Berulang kali rasanya mau mati. Bahkan sudah mendaftar obat apa saja yang bisa menyebabkan kematian. Padahal, secara "normal" hidup baik-baik saja.

Biaya hidup bisa ditanggung sepenuhnya oleh gaji, bahkan masih bisa menabung reksadana dan mengirimi Ibu setiap bulan. Terdaftar di pusat kebugaran, dan masih bisa jalan-jalan meski tak mewah. Sama sekali tak ada yang salah.

Tapi semuanya terlihat salah. Misalnya, kenapa secara fisik aku jelek sekali. Kenapa aku bodoh sekali, menulis soal kebijakan moneter saja tidak bisa konsentrasi. Mengapa laki-laki tertarik hanya karena aku punya vagina saja. Kenapa kerjaku berantakan sekali. Kenapa tidak ada orang yang menyukai aku (secara universal, bukan urusan cinta-cintaan). Ya semacam itulah.

Mood swing juga semakin parah. Tidak berpikir panjang, bertindak impulsif dan cenderung membahayakan diri. Hanya mengenal 2 mood, senang berlebih, atau sedih berlebih. Tidak ada diantaranya. Perasaan rasanya gelisah dan meluap-luap, seperti mau meledak tanpa tahu kenapa. Bekerja menulis berita 5 paragraf saja rasanya seperti disuruh menulis novel: sulit, karena tidak bisa berkonsentrasi.

Saat gelisah, yang bisa dilakukan hanyalah melarikan diri. Entah lari dari apa. Lalu berulang kali pergi ke pelabuhan, atau ke ancol, kota tua, monas, manalah, sekadar untuk duduk dipojokan dengan berkaleng-kaleng bir. Berulang kali menangis di tengah liputan dan rasanya ingin berhenti hidup. Berulang kali ingin melarikan diri.

Rasanya lebih dari lelah, rasanya seperti melihat hidup ada pada kendali sesuatu yang tidak dikenal, dan kita hanya menonton sambil ketakutan di pojokan.

Saat depresi semakin parah, aku menghentikan banyak kegiatan mudah sehari-hari. Aku semakin jarang olah raga, padahal sudah membayar pusat kebugaran selama setahun penuh. Bahkan aku juga jarang mengajar baca dan tulis di pinggir rel kereta di Senen.

Aku pernah punya pacar, cuma dia yang menguatkan. Bahkan saat itu aku pikir dari seluruh dunia aku cuma punya dia. Aku berharap banyak. Setidaknya berharap dia mengeluarkan aku dari hidup yang tidak hidup ini.

Sampai suatu masalah kecil muncul. Aku rasa lama-kelamaan dia juga cukup lelah meladeni orang yang terus-menerus berhawa gelap dan tidak menyenangkan. Kupikir dia kelelahan mengasuh orang yang menyedihkan. Maka selalu ada saat menyulam dan merobek.

Akhirnya, tak ada siapapun.

Tapi, siapa bilang sendirian adalah hal buruk?

Saat sendirian setidaknya aku jadi lebih kenal diri sendiri. Bagaimana tidak, cuma ada aku sama aku, ya ngobrollah kami berdua. Sampai tersadar aku sakit. Seperti bilang ke diri sendiri: "Itu tadi depresi namanya rik!"

Menyadari terkena depresi, sebenarnya juga bikin makin depresi, berasa lemah, dan tidak punya kekuatan emosi, memanjakan hati.

Sampai akhirnya aku ga malu bilang aku depresi. Sampai akhirnya aku yakin aku harus keluar dari gejala ini. Aku harus bisa menonton bioskop seperti ornag "normal". Harus bisa lari di treadmill seperti orang "normal", dan berangkat kerja dengan "normal".

Mungkin belum juga normal sampai sekarang. Tapi berusaha keluar saja sudah lompatan yang bagus, setidaknya menurutku.

Hey wonderful life, I'm gonna catch you!

Comments

  1. Kamu bipolar juga barangkali.
    Tdk bermaksud menggurui, mengenali masalah adalah langkah paling krusial. And you're not alone *toss*

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah iya, kalau dari baca-baca kataknya bipolar, ndi. ahahhaha

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah