Modal kerja untuk perempuan, agar kredit produktif tak dipakai kawin lagi


Hampir 2 tahun berjibaku di koran ekonomi, tercerabut dari lingkungan lembaga nirlaba di mana saya mengusahakan cita-cita mengenai peningkatan kesehatan reproduksi, terutama bagi kelompok marjinal, salah satunya perempuan.

Berulang kali memutar otak agar bisa menulis soal perempuan di halaman, susahnya bukan main.  Isu yang saya cover adalah perbankan dan moneter. Artinya isu-isu mengenai neraca perdagangan, intermediasi perbankan dan hal-hal rumit dalam laporan keuangan.

Sampai suatu hari saya temukan fakta mengenai kredit pada kelompok perempuan. Saya korek-korek pada setiap liputan, sampai membuat teman liputan jengah. Dia marah, katanya saya tak bisa membedakan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Maklum, ini bukan tulisan yang akan laku di koran-koran ekonomi.

Jadi juga tulisan yang saya harap bisa membawa gender mainstreaming di koran saya. Meski hanya satu tulisan, meski bukan tulisan yang luar biasa.

Sayangnya, sedikit penyesuaian pada lead berita oleh editor, menjadikan tulisan saya tak lagi membela hak perempuan untuk mendapatkan akses terhadap modal kerja. Lead dari editor, bagi saya, seperti pesimis kepada perempuan, seolah perempuan diberi kredit hanya karena dia cocok dengan adagium jawa: wanita, wani ditata.

Hancur hati saya, ingin menangis rasanya. Oke stop. Mulai lebay.

Udalahya, intinya saya persembahkan tulisan tanpa penyesuaian oleh editor. Semoga ada gunanya.


=======
Laporan Penelitian Kebijakan dari Bank Dunia yang dirilis 12 tahun lalu mengungkapkan kesetaraan gender adalah salah satu hal yang dibutuhkan untuk memperkuat kemampuan negara untuk berkembang dalam mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif.

Bank Dunia juga mengungkapkan wilayah-wilayah dengan pengaruh perempuan dalam kehidupan publik memiliki tingkat korupsi lebih rendah.

Senada dengan hasil penelitian Bank Dunia, Santoso Wibowo, Direktur Grup Pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mengungkapkan kelompok perempuan lebih terpercaya dalam pengelolaan dana kredit sehingga mengurangi kemungkinan kredit macet akibat penyelewengan penggunaan dana.

Dia melanjutkan selama ini permasalahan penyaluran kredit mikro adalah penyalahgunaan dana produktif menjadi konsumtif oleh debitur. Hal itu, lanjutnya, belum pernah ditemukan pada penyaluran kredit ke kelompok perempuan.

"Penyaluran kredit ke kelompok perempuan lebih terjaga dari sisi prudensialitas karena uang yang diterima benar-benar digunakan untuk kegiatan produktif. Kalau diberi ke laki-laki, uangnya bisa-bisa dipake untuk kawin lagi, atau minimal beli rokok," ungkapnya.

Itu salah satu alasan industri perbankan mulai melirik perempuan sebagai pasar untuk penyaluran kredit mikro. Meski membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengedukasi pasar baru tersebut, seperti kredit mikro dan kecil pada umumnya, marjin suku bunga yang diperoleh pun tak kalah tinggi, sekitar 25% per tahun.

Tercatat setidaknya tiga bank sudah memiliki program khusus penyalruan kredit kepada perempuan, yaitu PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD Sumut), dan PT Bank Sahabat Sampoerna. Sementara PT Bank Internasional Indonesia Tbk lebih memilih menyalurkannya melalui dana pemberdayaan masyarakat.

Selain mendapat keuntungan dari tingginya marjin bunga kredit, bank juga diuntungkan deengan rendahnya rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL). Bank Indonesia menilai bank juga diuntungkan karena kelompok perempuan lebih mudah diatur sehingga terhindar dari penyelewengan penggunaan dana.

Meski program tersebut belum lagi berjalan di seluruh Indonesia, tetapi bank sentral mengklaim setidaknya sekitar 40.000 perempuan telah bergabung dalam program Tunas Usaha Rakyat (TUR) yang dikembangkan oleh BTPN. Perempuan yang sebagian besar ibu rumah tangga tersebut menerima kredit tanpa agunan, dengan metode tanggung renteng berkelompok. Setiap kelompok terdiri atas 20 peserta--30 perserta dengan plafon hingga Rp5 juta per peserta.


Janji Sebagai Jaminan

Meski tanpa agunan dan hanya berdasarkan surat persetujuan bersama, rasio kredit bermasalah dari penyaluran kredit tersebut kini 0%. Artinya tidak ada kredit yang tidak dapat dikembalikan kepada industri perbankan.

Meski risiko dan biaya yang dikeluarkan juga cukup tinggi, tetapi Direktur Utama BTPN Jerry Ng mengaku akan terus mengembangkan model bisnis tersebut dengan fokus hanya kepada perempuan. Adapun dia mengungkapkan dalam pengembangan penyaluran TUR, perseroan menggunakan metode pembiayaan syariah. Dengan demikian pereseroan tidak mematok suku bunga tertentu.

Mirip dengan BTPN, Bank Sahabat Sampoerna juga tengah mengembangkan program Kelompok Wanita Tanggung Renteng (Kwantren) dengan biaya bunga 1%--1,5% per bulan atau mencapai hingga 18% per tahun. Biaya tersebut adalah biaya yang dipatok dari bank kepada koperasi. Sementara dalam penyalurannya, untuk memenuhi biaya, ditambah marjin bunga, kredit tersebut sampai di tangan kelompok perempuan dengan bunga sekitar 25%.

"Dalam menyalurkan kredit ini agak berisiko juga karena tidak ada kolateran. Kami hanya memegang semacam janji yang diucapkan ibu-ibu itu setiap melakukan pertemuan," jelas Indra W. Supriadi, Direktur Utama Bank Sahabat Sampoerna.

Hingga saat ini sekitar 14.500 ibu-ibu yang tersebar di 20 kantong di wilayah Jawa Timur telah menyerap Rp13,8 miliar dengan menyisakan kredit bermasalah di bawah 1% dari total penyaluran kredit tersebut.

Setiap kelompok yang terdiri atas 8 anggota--16 anggota tersebut akan saling menanggung kredit yang diambil teman kelompoknya apabila ada yang tidak mampu membayar. Inilah inti dari janji dan sistem tanggung renteng yang dapat menjaga risiko kredit bermasalah yang dihadapi perseroan. Oleh sebab itu pemilihan teman kelompok lebih sering didasarkan pada kedekatan geografis dan emosional.

Sementara itu dengan model yang sama, dalam penyaluran Kredit Sumut Sejahtera, BPD Sumut menyalurkan plafon Rp500.000--Rp5 juta kepada sekitar 60.000 perempuan prasejahtera di wilayah Sumatera Utara.

Lain lagi dengan BII yang lebih nyaman menyalurkan kredit dalam kerangka program tanggung jawab sosial yang berkesinambungan. Kredit Rp1 miliar yang diberikan kepada 1.250 perempuan di wilayah Jonggol (Jawa Barat), Sragen (Jawa Tengah) dan Kulon Progo (D.I. Yogyakarta) tersebut  disalurkan melalui Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) dengan bunga 1%--2% setiap bulannya.

Bunga yang dikenakan tersebut merupakan pengganti biaya operasional dalam pengembangan kelompok perempuan. Sementara selebihnya akan disalurkan kembali bagi kredit kepada kelompok mereka sendiri sheingga plafon yang diberikan dapat bertumbuh.

Santoso melanjutkan, penyaluran kredit dan pembiayaan tersebut telah berhasil menyiapkan kelompok perempuan menjadi komunitas yang mampu mengakses industri perbankan (bankable) sebagai salah satu bentuk penetrasi keuangan inklusif.

Satu hal yang perlu dicatat, dalam pengembangan kredit-kredit tersebut, industri perbankan, bahkan BPD sekalipun berjalan sendiri tanpa keterlibatan pemerintah. Padahal dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 3 tahun lalu menunjukan 70% dari 32,53 juta rakyat miskin adalah perempuan.

Siapa tahu kalau pemerintah terlibat di dalamnya, program akan semakin efektif menjangkau seluruh Indonesia, atau justru bertambah morat marit? Siapa yang tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Ustad yang berfikir dengan penisnya

Takut