Lewat Djam Malam: Karena Kita Semua Laila, pada Kadar Berbeda


Film produksi jadul, kalau ditonton di masa sekarang pasti berubah genre jadi komedi. Misalnya saja Kingkong yang muncul pertama sebagai film action pada 1933, saat saya menontonnya pada 2006, terasa seperti film seks komedi. Geli ngeliat kingkong yang terobesesi dengan belahan dada perempuan pirang sambil gelantungan di pencakar langit.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada Usmar Ismail, lewat Djam Malam yang diproduksi pada 1954 juga jadi terasa lucu jika kita menonton pada masa sekarang, dan dibaca setara dengan cara menonton film masa kini.

Jadi, marilah kita menonton film sesuai dengan konteks pada masanya.

Lewat Djam Malam bagi saya adalah film luar biasa dengan kritik soal kapitalisme yang juga luar biasa. Bayangpun, zaman belum punya sistem pemerintahan yang jelas saja dia sudah mengritik betapa manusia indonesia memuja uang dan kekuasaan.

Jadi, Iskandar adalah pemuda harapan bangsa nan galau, hidup dalam rasa bersalah karena membunuh sekeluarga dari Jakarta dengan tuduhan mata-mata. Di sini kritik terhadap kapitalisme sudah dimulai.

Adegan dibuka dengan close up derap sepatu Iskanda yang sedang menuju rumah Norma. Saya sebenarnya tidak paham mengapa Iskandar tinggal di rumah tunangannya, alih-alih tinggal di rumah sendiri. Mungkin rumahnya jelek, atau rumahnya rusak akibat perang. Pokoknya tidak ada suting di rumahnya, dan tidak ada penjelasan.

Saya juga tidak mengerti kenapa warga Bandung pada masa itu ga nyinyir sama bukan muhrim yang tinggal serumah. Walopun uda tunangan kan ya belon kawin kan. Oke sip. Kembali ke film.

Kritik-kritik terus berlanjut. Misalnya soal gaya hidup Norma yang diisi pesta-pesta meski masa belum juga aman betul, dan penerimaan pegawai dengan sistem "titip" di pemerintahan, tanpa tahu apakah calon pegawai mampu menghadapi beban kerjanya. Belum lagi kritik pada eks pejuang yang tidak punya skill untuk bekerja lalu paling gampang ya jual tubuh, tubuh orang pula.

Karena waktu kuliah sering skip mata kuliah komunikasi sosial dan sosiologi komunikasi, ada baiknya saya tidak membahas kritik soal kapitalisme itu. Khawatir jadi makin ngawur.

Saya lebih tertarik memperhatikan Norma, Laila, dan penjual kue kering di Dago. Perhatikan wajah dan tubuh Laila dan Norma. Kalau mereka lahir tahun 90an, saya yakin mereka cuma dapat peran pembantu ndeso di sinetron. Sementara penjual kue kering di Dago akan dapat peran kelas menengah, minimal sahabat tokoh utama lah.

Bukan saya mau bilang kalau mereka nggak cantik. Saya mau bilang kalau konsep cantik itu berkembang, dan ga ajeg.

Pada satu masa, cantik adalah tubuh seksi dan montok dengan bokong semlohai, pada masa lain dan tempat lain cantik adalah lubang telinga yang begitu panjang di Kalimantan, atau tubuh-tubuh perempuan Mauritius yang bulat karena obesitas. Lalu jika kita lihat kertas mengilap di majalah perempuan, cantik adalah mbak-mbak kurus muka tirus, dengan kulit berwarna terang.

Karena cantik adalah soal tubuh, dan wajah. Karena paling mudah terpapar dunia di luar diri, wajah dan tubuh secara umum sering kali dinilai secara sosial alih-alih privat. Mana yang cantik, mana yang tidak. Masyarakat terus berubah, maka penilaian pada kecantikan juga kerap berubah. Namun satu yang tak berubah, bahwa kecantikan sering dipandang membawa kenikmatan.

Film ini membenturkan kenikmatan tubuh dengan kegelisahan jiwa. Norma yang pesta-pesta dengan makanan enak, Adlin yang flirting sana sini, Puja yang menjadikan Laila sebagai komoditas untuk pemenuhan hasrat seksual, hingga Gunawan dan Gaffar dengan kekayaannya. Dalam keadaan begitu, Iskandar muncul sebagai manusia yang bisa saja meraih kenikmatan tubuh, tapi abai, karena tak kunjung mendapatkan ketenangan jiwa.

Ketenangan dan kesenangan jiwa ditunjukan sebagai hal yang berasal dari diri sendiri. Tak peduli betapapun lingkungan (Norma dan keluarganya) bisa menghadirkan kenikmatan fisik dan dan usaha-usaha untuk menenangkan jiwanya, Iskandar tak akan pernah bisa tenang selama dia impulsif, bertindak atas keinginan hati dan kegelisahan masa lalu.

Aristippus, (mas-mas yang pertama pake konsep hedon) jelas-jelas mengembangkan filsafat yang menegaskan pada kenikmatan tubuh, katanya kesenangan tubuh adalah lebih baik dari kesenangan jiwa. Epikuros ga mau terima, katanya harusnya ada yang lebih tinggi dari sekadar kenikmatan tubuh.

Tapi ya udalah ya, nanti ga selesai kalo ngomongin kenikmatan tubuh Vs kenikmatan jiwa. Bisa bawa-bawa Plato dan ajaran katolik, terus islam, terus budha, terus ke mana-mana dan ga jadi ngomongin Norma sama Laila.

Jadi meski konsep cantik (sebagai bagian dari kenikmatan tubuh) terus berubah, bahkan belakangan berkembang menjadi berbagai tipe (cantik protagonis, cantik penjahat, cantik penggoda dll) tapi dalam konsep cantik yang paling sederhana (tanpa bergaman tipe) film-film Indonesia itu renaissance sekali, keukeuh pada prinsip kecantikan fisik adalah pancaran dari jiwa (khas pemikiran rennaissance). Kalo kata Dante: kecantikan adalah refleksi kemuliaan Allah.

Laila berkali-kali menyebut Norma sebagai Nona yang cantik (meski saya tetap menganggap Laila lebih cantik dari Norma). Norma dipuja karena kencantikannya. Kecantikan Norma dianggap sebagai cerminan hatinya yang baik dan kualitas-kualitas dirinya.

Kecantikan lainnya, merupakan kontribusi dari rambut. Kata Hemingway: gadis bukanlah gadis tanpa rambutnya (maap yak terjemahan bebas agak kacrut).

Rambut Norma selalu tampil terurai saat di berada di lingkungan sosial. Daya tarik rambut selalu muncul dalam banyak mitologi, lokal atau di Eropa sana. Rapunzel punya rambut panjang, Dayang Sumbi atau Roro Jonggrang juga sulit dibayangkan dengan rambut pixie.

Kalo kata Veblen, rambut itu simbol status. Rambut panjang merupakan simbol kekayaan dan kesenangan (soalnya rempong kerja kasar kalo rambut panjang tergerai, minimal kudu dikuncir dulu).

Sementara Laila, digelung memperlihatkan tengkuk. Tengkuk itu simbol seksual. Kali ini saya lupa baca di mana, tapi perempuan pekerja seks di masa lalu menggelung rambutnya tinggi-tinggi hingga tengkuknya kelihatan. Begitu juga ronggeng. Sementara perempuan "baik-baik" menyanggul rambutnya dengan lebih rendah, menutupi tengkuk.

Bandingkan dengan film Indonesia masa kini. Protagonis biasanya berambut lurus terurai panjang, dengan wajah cantik.

Saya cuma mau bilang, walaupun konsep cantiknya sudah berbeda, dulu sutradara cari mbak-mbak semok dan chubby, sekarang cari mbak-mbak yang keliatan tulang di dadanya dan berpipi tirus. Namun resepnya tetep sama untuk para tokoh perempuan ini: berwajah cantik (sesuai dengan kesepakatan masyarakat terhadap kecantikan di masanya), dan berambut tergerai panjang.

Dan kecantikan memang selalu berubah. Kata Beauvoir kecantikan bersifat politis. Ketertarikan perempuan pada kecantikan merupakan kontribusi yang dapat menekan perempuan. Atau kalau dalam frasa Judith Rodin yang saya baca sepintas: harga dari mitos kecantikan sangat tinggi, perangkap semacam itu sangat banyak jumlahnya, dan tidak sebanding dengan keuntungannya.

Mungkin itu yang terjadi pada Laila, terperangkap pada konsep ideal mengenai kecantikan, dia ingin punya gaun, perhiasan, dan peralatan rumah tangga. Gaun dan perhiasan membuatnya cantik secara fisik, lalu peralatan rumah tangga (beserta suaminya) membuat hidupnya cantik secara sosial.

Karena kita semua Laila, pada kadarnya sendiri-sendiri.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island