Kematian yang telanjang


Di hadapku adalah kekasih teman baikku. Baiklah, mantan kekasih teman baikku. Ah, makin seperti lagu dangdut saja. Dia adalah mantan pacar temanku yang mati (biar saja aku sebut dia mati. Meninggal terlalu formal, dan bukankah tak ada kata benda untuk meninggal, kemeninggalan? Kematian adalah kematian mengapa harus diperhalus?) hampir setahun lalu.

Ini bukan kematian epic seperti Kurt Cobain yang menembak diri dengan pistol, atau Virginia Woolf yang menenggelamkan diri di sungai. Seperti kebanyakan berita bunuh diri di Jakarta, Hans loncat dari gedung tinggi. Mungkin seperti loncatan pertama pada Bungee Jumping, hanya saja tanpa ada loncatan selanjutnya.

Karena aku orang terakhir yang bersamanya sebelum ia memutuskan loncat dan mati begitu saja, maka polisi pikir akan penting untuk menanyaiku. Satu jam setengah plus menunggu, tanpa donat seperti polisi di film-film Hollywood. Ruang kecil dengan dua orang polisi yang menggunakan mesin tik. Rasa-rasanya seperti sedang membuat surat laporan kehilangan dompet saja.

Siapa yang menyangka ia akan mati?

Siang itu dia bahkan baru saja menerima surat rekomendasi untuk beasiswanya. Tak ada orang yang akan bunuh diri dan masih mengerjakan formulir beasiswa. Setelah itu, kami masih sempat menanyakan harga speaker untuk mazda birunya.

Siapa yang akan bunuh diri dan masih berencana memasang speaker di mobil sembari menyelesaikan formulir beasiswa. Hanya Hans, sejauh yang kuketahui.

Tentu saja kematian Hans mengejutkan. Orang tuanya memintaku mengirimkan jenazah Hans ke Semarang. Baru kali ini aku mengurus paket berisi jenazah. Rumit dan mahal.

Hans tampak tampan setelah perias jenazah membetulkan wajahnya dan memasangkan jas hitam setelah dokter menyuntikan semacam formalin ke tubuh dinginnya. Formalin dibutuhkan agar tubuhnya tidak meledak saat tekanan begitu tinggi dalam kabin barang di pesawat terbang.

Sesudah berjas, tubuh Hans dimasukan dalam plastik. Baru kemudian dimasukan dalam peti kayu, bersama barang-barang lain dalam bagasi pesawat.

Kuburan Hans begitu megah, meski tak semegah kuburan di sebelahnya. Hio masih menyala kala iring-iringan mulai membubarkan diri. Masih ada sisa uang alam baka yang dibakar, serta jeruk dan apel yang ranum. 17 tahun lalu, sore seperti ini, biasanya aku menggondol jeruk ranum ini dari bong* di dekat rumah. Bukan karena aku menginginkan jeruk, hanya saja ada rasa bangga jika berani mencuri jeruk dari pemakaman, lalu dipamerkan pada teman. Entah kebanggaan macam apa itu.

Rei tak banyak bicara saat mengetahui kabar kematian Hans. Dia hanya diam, meski ada kilatan kecewa. salahku, baru memberi tahu malamnya, padahal Hans sudah berlumur darah kala senja. Tewas seketika.

Sejak itu, hingga pemakaman, dan berbulan kemudian, hampir tak ada obrolan utuh dengan Rei. Biasanya ia hanya berjalan di hadapku, lalu aku mengikuti dari belakang. Aku pikir dia masih marah, mengapa bukan dia manusia yang terakhir bersama Hans sebelum dia mati. Kematian Hans bukan hal yang pernah kupikirikan. Tentu menggelisahkan bagi Rei, juga bagiku.

Lalu kami tak lagi bertemu.

Sampai Selasa pagi tadi, saat aku mendapatinya di terminal 2F, mengantri check in. Kami terdaftar untuk penerbangan yang sama pukul 06.10, menuju Yogyakarta.

Obrolan kami masih tak utuh, bahkan saat Rei sudah duduk manis di kursi sebelahku dengan safety belt terpasang. Tak ada yang berubah, Rei bercerita dengan suara sendunya, lalu aku menanggapi sekenanya.

Rei tak terganggu jika aku tak terlalu menegrti ucapannya. Mungkin dia sudah cukup puas mengetahui aku masih di sana dan mendengar selintas.

"Ayo kita kejar sunset, ini kan akhir tahun, matahari di sisi selatan, harusnya bisa lihat sunset di pantai. Wediombo ya?!"

Maka, sesuai keinginannya, kami akan mengejar senja.

Pesawat kami seharusnya mendarat 7.20. Lalu masih ada banyak waktu untuk check in di hotel yang telah dipesan kantor, lalu mencari penyewaan mobil serta tetek bengek lainnya.

Pukul 14.00 kami sudah di Jalan Wonosari. Menuju Wediombo adalah perjalanan berliku membelah bukit, melewati rumah penduduk, dan Hutan Bunder. Dari Jogja, mungkin membutuhkan 3 jam.

---

Saat langit mulai jingga, Rei berjalan menuju bibir pantai. Menggamit lenganku. Ia terus berjalan.

"Bei, bagaimana kalau kita ini sangkan paraning dumadi? Kita tak ada, dan kelak juga tak ada. Tanpa penyebab yang membuat kita ada dan kelak tiada,"

Entah harus kujawab bagaimana pertanyaan macam itu, jadi kubiarkan saja berlalu.

"Bei, aku ingin telanjang. Seperti saat dilahirkan. Seperti tak pernah punya pakaian. Ini bau lautan, bau rahim yang mengembang, bukankah dulu kita berdua telanjang dalam rahim ibu? Satu tahun kita tak bertemu, tapi kita pernah berbagi rahim yang sama, berenang dalam air ketuban yang sama, berbagi ari-ari yang sama. Tak ada siapapun di sini, aku ingin berbagi laut yang sama,"

Rei tiba-tiba saja telanjang. Aku pun demikian. Rasanya seperti sudah lama telanjang. Seperti sejak dilahirkan.

Rei kembali menggamit lenganku.

Dan angin datang. Menyentuh ketelanjangan dengan sentuhan yang telanjang. Lalu ombak pun ada. Bergeliatan di permukaan. Sekali lagi angin datang. Menyentuh dingin geliat permukaan laut.

Aku berjalan mengikuti Rei menuju lautan. Seperti pulang, setelah singkat masa tualang. Dihadapku adalah rahim yang mengembang, membuka, meminta datang.

Ini bau lautan. Bau rahim yang mengembang. Di sana kami belajar menendang. Menunggui tumbuhnya jantung, mata, paru-paru, juga kelamin. Termasuk menunggui tumbuhnya jari. Jari yang kan dihisap sendiri.

---

Sekarang ia rasakan dirinya bersenang di rahim lautan. Tempat di mana ia datang dan menghilang. Tempat dimana ia ada dan kelak menjadi tiada. Tempat yang menyadarkan bahwa ia memang tak pernah ada. Ia bersenang bersama tembuni lautan, dalam ketuban lautan. Ia bersenang, dalam detak lautan. Pulang, pada rahim lautan.



*bong: pemakaman etnis cina/ kuburan cino

Comments

  1. nice story. murakamish ya? aku teringat satu scene di norwegian wood.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi