Buku yang mengubah hidup


Habis baca posting mba Fame dan mas Arya, tetiba juga ingin menulis soal buku.
saya sama sekali bukan kutu buku. Buku bacaan saya juga ringan dan itu-itu saja. Referensi pun terbatas. Namun, 24 tahun hidup saya tidak akan pernah sampai di titik seperti saat ini kalau tidak membaca buku-buku ini.

Ini bukan buku favorit, tapi lima buku ini dalam definisi tertentu telah mengarahkan hidup saya. (Kenapa lima? Entah sejak kapan saya sangat menyukai angka lima, mungkin karena waktu SD menghapal perkalian lima amatlah mudah. Atau mungkin karena saya berjodoh saja begitu dengan angka lima.)



Sailormoon (Naoko Takeuchi, 1991--1997)

Komik Sailormoon versi hitam putih seharga Rp3.500 yang terdiri dari 18 seri (bukan versi Sailormoon yang berwarna Rp4.000 kala itu) ini juga mengubah hidup saya. Komik ini membantu saya mengeksplorasi seksualitas.

Saat memanjat tiang rumah nenek, saya mendapati kenyataan bahwa vagina bisa membawa kenikmatan. Lalu kelas 3 SD saya menyadari bahwa melihat gambar ciuman memberi sensasi tersendiri, seperti kesemutan pada tengkuk yang menyebar ke seluruh tubuh, lalu membuat bagian bawah perut berdenyut.

Semuda itu saya berangkulan dengan seksualitas, meski belum menyadari hal tersebut sampai berkuliah. Saya tak pernah menyadari bahwa menggesekan alat kelamin yang membawa kenikmatan adalah masturbasi, baru saya mengenal kata masturbasi ketika berkuliah, tanpa sadar sudah melakukannya sejak kelas 3.

Di sini komik Sailormoon berperan, beberapa adegan ciuman sering saya pandangi sembari menikmati gesekan pada kemaluan. Komik ini, membuat saya lebih cepat dewasa. Ahahahah...


Ironi Satu Kota Tiga Tuhan: Deskripsi Jurnalistik Dari Yerusalem, (T. Taufiqulhadi, 2001)

Sampul buku karangan T. Taufiqulhadi ini menunjukan seorang tentara yang menggandeng kakek tua bersurban. Cerita soal kehidupan sosial Yahudi, Kristen dan Muslim di Yerusalem jauh dari hingar bingar peperangan. Bagaimana yahudi lebih memilih berbelanja di toko halal muslim dari pada di toko milik kristen, bukanlah hal yang biasa bagi saya kala itu.

Saya besar di lingkungan Islam yang kurang toleran. Mengucapkan selamat natal adalah berdosa, dan menjawab salam tertentu kepada non-muslim juga mendekatkan diri pada api neraka. Lingkungan saya tinggal dulu adalah lingkungan yang sangat menghormati haji dan guru ngaji, pembangunan gereja yang berjarak mungkin 1,5 km dari masjid di kampung adalah kesedihan dan kemarahan mendalam bagi mereka.

Buku ini mengajarkan toleransi yang sangat besar, di jantung kota yang menjadi rebutan. Saya yang pada kelas 1 SMA menganggap zionis adalah penjahat dan Yahudi harus dimusnahkan seperti tercerahkan.

Selain itu, buku ini menginspirasi saya untuk bercita-cita, cita-cita yang dalam titik tertentu sudah saya penuhi: menjadi wartawan. Kalau tidak membaca buku ini, mungkin saya masih bingung mau jadi apa kelak.


Atheis (Achdiat K. Mihardja, 1949)

Ini juga salah satu buku yang saya baca masa SMA. Sebagai mbak-mbak berjilbab yang dibesarkan dengan larangan menanyakan agama karena itu adalah dosa besar, murtad, dan tidak bisa diselamatkan dari api neraka, novel ini semacam menggoda untuk bertanya-tanya.

Bahwa manusia serelijius apapun adalah hanya manusia, keraguan adalah manusiawi. Bahwa untuk melawan godaan terahdap dunia modern bukanlah agama, tapi bagaimana kita berdamai dengan diri kita dan berdamai dengan keinginan untuk mengenyahkan godaan itu sendiri.

Dan yang paling penting, ini novel pertama saya yang agak berat. Membuka referensi kepada novel Indonesia lainnya.


The Public Sphere: An Introduction (Alan McKee, 2005)
(yang ini ga nemu gambar cover-nya)


Ini buku berbahasa inggris non fiksi pertama yang benar-benar saya baca dari hati karena semata berminat membaca, tanpa perintah apapun dari dosen. Ini luar biasa bagi mahasiswa yang sukanya skip kelas komunikasi politik seperti saya.

Sesungguhnya baca konsep public sphere dari buku yang dikarang Habermas sulit bisa dimengerti bagi mahasiswa yang lebih suka baca majalah Horison dari pada Basis seperti saya. Buku ini membawa cakrawala berfikir baru, bahwa di luar sana, pasti ada manusia-manusia yang bisa menulsi buku yang lebih mudah dimengerti bagi mahasiswa begajulan seperti saya.

Paska buku ini, saya jadi lebih rajin mengecek subtitusi buku yang disarankan dosen, mana tau ada pengarang lain yang lebih pas cara mengantar isi pesannya kepada saya.



The Body Social: Symbolism, Self and Society (Anthonny Synnot, 1993)

Saat kuliah, teman dalam lingkungan pers kampus saya suka sekali bicara dengan kata-kata susah membahas politik negara. Sementara saya lebih suka membaca novel atau kumpulan cerpen. Saya tak menyukai ideologi apapun. Saya tak bersetia pada apapun kecuali pada diri saya sendiri. Saya tak meminati bidang apapun, atau bacaan khusus kecuali fiksi.

Sampai saya menemukan buku ini di toko buku diskon.

Saya lupa apa yang dulu sangat saya sukai dari buku ini. Mungkin penjelasannya mengenai kuasa-kuasa atas tubuh terasa dekat, mungkin juga karena Synnot berhasil menjawab kegelisahan saya. Sungguh saya tak ingat pasti.

Yang pasti buku ini membawa saya pada akhirnya bergabung dengan lembaga nirlaba yang diawaki anak-anak muda. Lembaga yang salah satunya mempromosikan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Lembaga yang membuat saya merasa seperti di rumah.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah