Berita Halaman 3
Siang tadi, di Bandara Soekarno Hatta, saya bertemu dengan seorang buruh migran asal Wonosari yang sejak 1999 membawa devisa ke Indonesia dari di Hongkong. Kami bertukar cerita, tepatnya dia bercerita soal betapa cantiknya Hongkong, dan saya mendengarkan sambil menyantap gudeg mahal a la bandara dengan rasa yang ditolak lidah.
Kalau hanya melihat sepintas, secara materi ibu yang berasal dari Wonosari ini mungkin potret buruh migran di sektor informal sukses. Kopernya Louis Vuitton (saya tak memiliki kemampuan mendeteksi asli-tidaknya), tas backpack dan handbag-nya juga bukan tas yang dibanderol dengan harga murah.
Gaya berpakaian ibu berambut pendek ini juga tak kalah jika dibandingkan dengan ibu-ibu kaya di komplek kos waktu di Jogja. Make-up natural, blus berwarna cerah namun tak mencolok, dengan wedges yang nampak nyaman dan berkelas meski sederhana. Siapa yang sangka dari Wonosari dia ke Hongkong untuk menjadi pekerja rumah tangga?
Logat Jawa-nya yang medok, sudah menginternasional. Beberapa negara sudah disinggahinya. Sementara saya, bolak balik ya Slipi-Sudirman doang.
Sementara televisi masih menayangkan pekerja rumah tangga asal Indonesia yang digosok punggungnya, diperkosa majikan, atau dijatuhi hukuman mati.
Saya tidak bermaksud mengatakan televisi sedang mengada-ada. Hal tersebut pasti benar adanya. Saat saya ke Singapura Maret lalu, News Strait Times menyajikan berita besar soal pekerja rumah tangga asal Indonesia yang mencuri di rumah majikannya. Berita tersebut dianggap begitu penting di Singapura. Saya rasa cerita mengenai seorang pekerja rumah tangga tidak akan menjadi berita di halaman 3 di koran Nasional sekelas Kompas.
Namun di Singapura, pencurian oleh seorang pekerja rumah tangga asal Indonesia menghabiskan 6 kolom di koran nasional, di halaman 3.
Dan televisi nasional masih menyiarkan soal pekerja Indonesia di Arab Saudi yang disinyalir bunuh diri karena tak tahan dengan penyiksaan.
Bad News is Good News.
Tentu saja. Saya juga bosan menulis berita baik-baik soal bank-bank nasional kita yang bisa-bisanya mendapat marjin bunga sampai 44% dari pedagang pasar miskin yang mungkin makan tempe bongkrek sebagai menu sahurnya. Namun, menulis soal seberapa banyak devisa yang tidak jadi kabur ke bank di luar negeri karena keberhasilan aturan devisa hasil ekspor bank sentral juga menyenangkan bukan?
Maksud saya, dalam banyak hal, menulis berita baik juga tak buruk-buruk amat. Apakah wartawan-wartawan ini tidak khawatir membuat pembaca atau pemirsanya menjadi paranoid? Bangun tidur disuguhi berita pembukaan bursa dengan IHSG tang terus turun dan nilai tukar rupiah yang melemah, siang sedikit, televisi menyuguhkan tayangan soal korupsi pajak, lalu koran yang kita intip dari penumpang bis di sebelah adalah perkosaan dan pembunuhan ata seorang perempuan berjilbab, malamnya, hukuman mati bagi TKI berpadu dengan pembantaian di Syria dan Rohingya yang tak ada habisnya.
Hidup kita kok seperti dikejar-kejara negara api, semua tempat membara, dan menuju kehancuran. Tidak ada tempat berlindung kecuali avatar bangun dari tidur panjangnya. Menunggu Satrio Piningit, semacam menunggu godot.
Tidakkah stasiun TV ini ingin menceritakan soal tenaga kerja kita yang berhasil menjadi pekerja kepercayaan majikannya di Hongkong? Atau soal mantan pekerja dari negeri jiran yang uang gajinya cukup untuk modal berbisnis kecil-kecilan dan membuka lapangan pekerjaan untuk 5-6 orang di kampungnya.
Tidakkah hal macam itu penting? agar calon-calon pekerja informal ke negara orang tahu bagaimana caranya menginjak bumi dan menjunjung langit di negeri orang, sehingga dapat mendulang sukses di sektor informal di negeri orang. Hal-hal semacam cara bergaul dan berkomunikasi yang baik (bukan sekadar bisa berbahasa asing) misalnya, saya rasa sama pentingnya dengan mengajarkan bagaimana cara menggunakan microwave atau setrika uap air yang saya juga belum pernah menggunakannya.
Tidakkah... Ah, sudahlah.
Memang tidak semudah itu. Bagaimanapun, media adalah bisnis. Selama televisi masih menyediakan slot bagi motivator yang bilang hidup itu mudah dan indah, serta segala penyangkalan lain soal dunia pada tayangan prime time, siapa yang akan peduli soal kebulatan tekad, keteguhan berusaha, dan kerja keras para buruh migran kita yang berhasil. Terus saja kita melayang-layang dalam nasihat motivator.
apalagi kalau kamu iseng-iseng baca bagian komentar di portal berita. Aduh rasanya kayak liat anak-anak SMA orasi. Ribut gaduh emosian. Rame sih, rating webnya jadi tinggi. Tapi kan ya gitu deh
ReplyDeletesebagai wartawan yg juga ngisi portal, selain koran, aku punya kegelisahan yang sama. atas nama rating, portalku belakangan banyak berisi berita yg ga penting seperti indonesian idol dan cherry belle. Padahal aku tetap yakin berita ekonomi juga bisa menarik tergantung cara pengemasannya, ada yang bilang medium is the message. kudunya kantor bisa mengembangkan sistem tersendiri sehingga berita ekonomi bisa sampai ke tahap itu. tapiii ya gitu deh. hehe...
Delete