Soegija: repertoar kehilangan yang kurang mengenyangkan


Dalam a lover's disclosure, Roland Barthes mengungkapkan ketidakhadiran adalah konsekuensi dari keberadaan liyan. Ketidakhadiran adalah penerapan aktif, pengadaan citra mengenai ruang kosong yang terus menerus, repertoar yang terus diulang mengenai ketidakhadiran itu sendiri.

Saya pikir ini esensi Soegija, bukan soal sejarah, bukan perang kemerdekaan, bukan kisah cinta berbeda bangsa, bahkan bukan soal Romo Soegija itu sendiri, melainkan soal ketidakhadiran. Soegija adalah repertoar mengenai ketidakhadiran seseorang atau sesuatu.

Ini soal Mariyem yang gelisah pada ketidakhadiran Maryono, juga kegelisahan Lingling pada absennya Mama. Soal Nobuzuki dan Robert yang rindu pada rumah, juga soal kehilangan Marwoto terhadap hidupnya yang hanya separuh. Belum lagi rasa kekosongan Romo Soegija pada kedamaian, dan kegelisahan Thole pada sapi-sapinya.

Masih meminjam Barthes, perasaan kosong pada ketidakhadiran bisa saja dimanipulasi. Lingling memanipulasinya dengan kotak musik, sedangkan Marwoto memanipulasi ketiadaan separuh hidupnya melalui pelayanan pada Romo Soegija.

Nobuzuki dan Robert jelas memanipulasi kehilangan dengan cara menjalankan segala perintah. Thole mengalihkan perhatian dari kehilangan sapinya pada kemerdekaan (dan frustrasinya).

Mariyem memanipulasi rasa kehilangan Maryono dengan menjadi suster traumatis yang terus menerus marah-marah, sensitif, serta tidak mau mengakui jatuh cintanya berdasar pada jarak terjajah-dijajah.

Romo Soegija? Dia mengalihkan kegelisahan dengan menulis dan menyibukan diri. Seperti yang dia katakan: Pemimpin itu harus bekerja.

Jadilah Soegija potongan kegelisahan mengenai ketiadaan. Kerangka besarnya adalah fragmen dari masing-masing ketiadaan.

Buat saya, jangan pernah berharap sebelum menonton. Maka saya peringatkan, jangan berharap Soegija menjadi semacam film dengan alur meningkat menuju klimaks. Dalam Soegija, Garin Nugroho sekadar bertutur, seperti halnya Luc Besson pada The Lady dan Jackie Chan pada 1911.

Jika Luc Besson fokus pada Aung San Suu Kyi, Jackie Chan fokus pada Sun Yat Sen, Maka Garin tidak fokus pada Romo Soegija. Garin berusaha fokus pada banyak tokoh, yang kesemuanya berada di sekitar Romo Soegija. Sayangnya, peramuan banyak tokoh ini, membawa kegelisahan, tidak mengena di hati. Seperti minum air es usai marathon 10 km, tak menghilangkan dahaga.

Jika film menggunakan judul Soegija, tak salah kalau saya kira film ini juga menceritakan Romo Soegija. Namun tak setitik pun film ini berkisah mengenai Romo Soegija. Mungkin karena berdasar catatan oleh Romo Soegija, tak heran kalau dia lebih fokus pada sekitar, dari pada diri sendiri, mengingat dia adalah Romo.

Memang ada fragmen-fragmen pemikiran Romo Soegija dalam rentang 9 tahun, sejak ia diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang pada 1940 hingga pernyataan kemerdekaan Indonesia secara de jure oleh Belanda pada 1949.

Namun pemikiran Romo Soegija sendiri juga tidak menjadi inti Soegija, ya setidaknya ini menurut saya. Romo Soegija seperti di awang-awang dalam Soegija. Romo Soegija tampak seperti pemantau dari kejauhan.

Meski sudah berusaha ditegaskan bahwa pengakuan Vatikan secara de jure pada negara Indonesia merupakan jasa Romo Soegija, dia bahkan memindahkan pelayanannya ke Jogjakarta guna mendukung pemerintah, hingga membuka gereja Bintaran untuk masyarakat di masa sulit, tetapi dalam film ini Romo Soegija tetap di awang-awang.

Banyak karakter digambarkan lebih kuat dari Soegija. Bahkan tokoh-tokoh yang tidak utama sekalipun.

Pak Besut sebagai penunjuk waktu, lebih mendapat peran sebagai pencerita dan penjaga alur dari pada tokoh Romo Soegija. Gayanya yang dramatis, bahkan lebih menarik perhatian dari pada si pemilik judul.

Bahkan Thole yang frustrasi karena sapinya hilang, lebih menarik perhatian saya, mengingatkan pada tokoh tupai pengejar kenari dalam Ice Age. Dia berperan penting sebagai salah satu kekuatan yang menjadikan film tidak terlalu berat dan menyegarkan.

Thole yang berhasil membaca MERDEKA ini juga lebih seru dari pada Marwoto yang justru tampak usaha banget ngelawak (dan emang lucu juga sih sebenernya).

Mungkin persoalan kedekatan kultur, saya merasa Soegija masih jauh lebih menarik dari pada 1911 ataupun The Lady. Tidak hanya cerita berat-berat soal masa berat, Garin juga berhasil membuat kita tertawa sambil merasakan ironi. Lelucon tak garing yang tidak saya temukan pada garapan Luc Besson dan Jackie Chan tersebut.

Saya sih suka dengan film-film yang kompleks, datar tanpa klimaks, tapi cantik. Garin berhasil di sisi cantik ini.

Bukan sekadar memanjakan mata dengan sinematografi yang cantik dan soundtrack apik, Garin juga menyuguhkan dialog yang tidak menggantung (seperti kebanyakan masalah pada film lokal). Dialog tidak dipaksakan dalam Bahasa Indonesia, melainkan perpaduan antara Bahasa Jawa, Belanda, Jepang dan Indonesia yang terasa pas.

Saya tak bisa berbahasa Belanda dan Jepang, saya tak tahu apakah penggunaannya sudah pas. Namun yang jelas penggunaan Bahasa Jawa dalam Soegija terasa natural dan menyenangkan.

Saya kira Garin berhasil meramu kerenyahan dalam cerita yang begitu komplek. Sebagai fragmen, Soegija sangat menarik. Namun sebagai satu kesatuan, rasanya seperti adonan kue gurih yang kurang padat: nikmat, tapi kurang mengenyangkan.

--------------------------------------------------

Produser: Djaduk Ferianto, Murti Hadi Wijayanto SJ, Tri Giovanni
Sutradara: Garin Nugroho
Penulis: Armantono, Garin Nugroho
Pemeran: Nirwan Dewanto, Annisa Hertami, Wouter Zweers, Wouter Braaf, Nobuyuki Suzuki, Olga Lydia, Margono, Butet Kartaredjasa,Hengky Soelaiman, Andrea Reva, Rukman Rosadi, Eko Balung,Andriano Fidelis
Tanggal edar: Kamis, 07 Juni 2012
Rasio gambar: 1.85:1
Format syuting: HD
Warna: Warna
Sistem suara: Dolby Digital
Bahasa utama: Indonesia, Jawa
Bahasa lainnya: Belanda, Jepang, Inggris, Latin

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi