Jakarta yang tak Ramah Perempuan

Adzan Isya masih bergema, jalanan masih macet, dan tukang ojek masih parkir sembarangan di trotoar. Salah seorang dari mereka dengan sengaja memarkirkan kendaraan operasionalnya tepat dihadap saya.

"Ojek mba?"

"Nggak mas."

Tukang ojek masih saja mengoceh tidak jelas, dan saya masih berfokus pada nyala lampu di atap kendaraan roda empat bertuliskan taksi. Malam begini, laris juga rupanya mereka.

Ucapan tukang ojek di hadap saya makin melantur. Saya tak perhatikan apa saja yang diucapkan, sampai dia menyebut organ reproduksi sekunder perempuan: payudara.

Dia terus menerus mengomentari tubuh saya, terutama bagian payudara. Saya tidak sedang ikut kontes kecantikan, jadi saya tidak butuh orang mengomentari tubuh saya, apalagi dengan cara seperti itu. Saya menyebutnya kejahatan seksual secara verbal.

Saya memalingkan wajah dan menatap, sembari berkata: "Mas, itu sudah kelewat batas, dan tidak sopan."

Bagi sebagian budaya yang patriarki, perempuan, sendirian, pulang malam, adalah kombinasi yang kurang baik. Namun hey, ini baru pukul 8 malam. Bahkan Taman Lawang saja belum berkegiatan.

Usai mendengar balasan, tukang ojek turun dari motornya dan semakin banyak melontarkan ucapan yang entah mengapa harus dia ucapkan.

"Biasa itu, biasa aja, santai!" tukasnya membenarkan kelakuannya sendiri.

Malam tadi adalah malam ketiga di mana kepala saya kesemutan, mual-mual menyerang, dan saraf makin mengencang. Saya menolak saran dokter untuk dirawat, lalu membawa satu kantong penuh obat.

Emosi dan sakit kepala masih tertahan sembari meremas kantong obat di tangan kanan. Mungkin emosi juga yang membuat badan semakin terasa melayang, lalu kaki saya sudah menghantam motor di hadapan, sampai ia terjungkal.

"Mas marah motornya saya tendang?" ujar saya sambil menarik bibir dan berusaha membuatnya tampak seperti senyuman.

"Sama mas, saya juga marah dengan pelecehan yang barusan mas lakukan. Kalau saya ga tendang motor mas, saya ga bisa mencontohkan rasa marah saya ke mas," lanjut saya.

Tindakan saya mulai menarik perhatian orang-orang. Dan tukang ojek dihadap saya mulai marah. Saya tahu tindakan saya tidak bisa dibenarkan, sekaligus membahayakan. Tidak ada yang menjamin tukang ojek ini tidak memukuli saya.

Dia marah betul. Mungkin ia mengkredit motor itu 2 tahun, dengan sisa uang yang ia sisihkan. Mungkin anaknya butuh baju sekolah baru untuk tahun ajaran baru Agustus nanti.

Namun mungkin juga ia butuh beli sebotol bir.

Siapa yang tahu.

Saya tak memperhatikan ucapan tukang ojek dihadap saya ini. Dia hanya memaki dan tak ada satupun kalimat utuh. Satu-satunya makian yang jelas terdengar adalah: "Uda jelek, belagu."

Selain itu hanyalah sumpah serapah yang terjalin dari nama-nama alat-alat reproduksi manusia.

Sedihnya masyarakat Indonesia, pembicaraan mengenai seks dianggap tabu, pendidikan seksual yang komprehensif dianggap promosi seks bebas, maka terciptalah manusia-manusia demikian.

Saya tahu tak ada gunanya marah dan berdebat dengan manusia yang tidak menyadari bahwa tindakannya salah. Dia butuh edukasi. Namun saya tetap saja marah. Di tengah gelombang emosi yang tak jua reda, dan kesemutan di wajah yang semakin menjadi-jadi, entah apa saja yang sudah saya ucapkan. Hanya satu kalimat panjang di tengah kemarahan yang kurang lebih saya ingat:

"Mas marah? Itu ada polisi, panggil aja ke sini. Laporin kalau saya ngerusak motor mas, sekalian saya mau laporin mas, dengan tuduhan pelecehan seksual terhadap perempuan, dan perusakan motor adalah tindakan membela diri!" ujar saya sambil menunjuk wajahnya.

"Mas punya ibu? Mas tahu mas keluar dari memek perempuan dan menyesap susu dari puting perempuan? Perilaku mas itu tidak menghormati Ibu mas sendiri!" dan orang-orang mulai memperpendek jarak mereka dengan kami.

Entah kenapa, dia kabur. Meninggalkan motornya.

Mungkin dia pikir tidak ada gunanya berkelahi dengan perempuan. Di masayarakat patriarki ini, menang dari perempuan adalah memalukan, apalagi kalah dari perempuan.

Dan saya, saya tak berfikir apa-apa. Saya hanya membela diri, karena kejahatan kecil akan terus terjadi, kejahatan akan bertransformasi menjadi lebih serius, lebih besar, lebih nyata, jika perempuan tak membela diri.

Lalu 5 menit kemudian akhirnya saya lihat taksi dari kejauhan.

Ah Jakarta...

Comments

  1. *peluk Rika* The last time a guy (no, guys) said that kinda thing to me, i resigned from my old job. ;)

    ReplyDelete
  2. I feel you mbak Rika...Jakarta ini semacam kota tanpa etika nyata. Mungkin saya juga akan marah tapi tak berani bereaksi seperti mbak Rika. Tapi siapa tahu, siapa tahu saja...satu kali kesabaran saya habis dan amarah meledak. Saya juga akan tendang motor dia!

    Saat ini saya masih berusaha Numb...membentengi alam pikiran saya padahal amarah sudah mau meluber...

    ReplyDelete
  3. Memang kejahatan verbal itu lebih mengerikan demi apapun. Lebih mengerikannya lagi karena banyak dari kita perempuan yang merasa itu bukan sebuah pelecehan.

    Btw Ka, aku yakin tukang ojek itu masih ngomong nyampah sambil jalan. Dan yang pasti dia untuk beberapa waktu ke depan akan trauma sama kata "payudara", hehehehe

    ReplyDelete
  4. Kota yang tidak ramah, pula mahal. Dan tak serta merta kenyamanan didapat seiring harga yang dibayarkan.. *pukpuk Rika*
    @Vitri: trauma sama katanya, bukan trauma sama bendanya.. hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi