Jakarta yang tak Ramah Perempuan
Adzan Isya masih bergema, jalanan masih macet, dan tukang ojek masih parkir sembarangan di trotoar. Salah seorang dari mereka dengan sengaja memarkirkan kendaraan operasionalnya tepat dihadap saya. "Ojek mba?" "Nggak mas." Tukang ojek masih saja mengoceh tidak jelas, dan saya masih berfokus pada nyala lampu di atap kendaraan roda empat bertuliskan taksi. Malam begini, laris juga rupanya mereka. Ucapan tukang ojek di hadap saya makin melantur. Saya tak perhatikan apa saja yang diucapkan, sampai dia menyebut organ reproduksi sekunder perempuan: payudara. Dia terus menerus mengomentari tubuh saya, terutama bagian payudara. Saya tidak sedang ikut kontes kecantikan, jadi saya tidak butuh orang mengomentari tubuh saya, apalagi dengan cara seperti itu. Saya menyebutnya kejahatan seksual secara verbal. Saya memalingkan wajah dan menatap, sembari berkata: "Mas, itu sudah kelewat batas, dan tidak sopan." Bagi sebagian budaya yang patriarki, perempuan,