Ayah dan Anita
"Kakak, sebentar ya, aku belum bisa berangkat, ayah lagi marah-marah."
Hampir satu jam sudah saya duduk di pelataran rumah singgah, sambil berkipas dengan buku tipis di tangan, mengusir gerah, mengusir lalat. Dan hanya pesan singat itu yang didapat.
Di halaman depan rumah kami, bising kereta membuat permainan bola terhenti sementara. Anak laki-laki memecah diri, ke sisi-sisi rel, diikuti getar dinding rumah singgah.
Keringat masih mengalir di punggung. Perjalanan dari stasiun Senen, berlarian membelah rel, di tengah panas dan polusi di sekitar Tanah Tinggi tentu saja menghasilkan simbahan keringat. Kaos abu-abu yang melekat di badan sudah setengah basah maksimal.
Dua bulan lalu, Anita masih datang diantar oleh ayahnya. Saya mengenal Ayahnya sebatas sebagai seorang pria Jawa yang rajin mengantarkan anaknya. Dia sangat kooperatif, mendukung sekolah Anita dan, setahu saya, tak pernah menyuruh Anita mengamen.
Satu-satunya yang saya ketahui soal ayah Anita adalah dia menjalani poligami. Meski tak sepaham, tak perlu juga saya mendebat dia. Bisa-bisa dia tersinggung lalu Anita tak lagi boleh bersekolah.
Saya juga tak pernah berpikir untuk mengenal lebih jauh pria Jawa ini. Selama dia mendukung sekolah Anita, saya pikir tak perlu usaha berlebih untuk mengenalnya.
Sebulan lalu, Anita datang diantar Ibu, bersama Indah dan Edi, dua adik Anita. Meski usia terpaut jauh, Anita dan Indah sama-sama duduk di kelas 3 sekolah dasar, sedangkan Edi masih kelas 2.
"Anita ini sekolahnya telat, Kak," Ibu Anita memulai cerita.
"Bapak kalau marah sukanya kabur. Kaburnya bisa 1 bulan, 2 bulan, sekolah Anita jadi susah. Kita kan penghasilan cuma dari Bapak. Kalau dia marah, ya sudah, bisa berbulan-bulan di rumah istrinya yang lain, ga ngasih apa-apa ke sini," lanjut Ibu.
Tempat tinggal Anita adalah ruangan 3 X 3 yang terdiri dari dua lantai. Tanpa jendela, tanpa sirkulasi udara. Satu-satunya barang paling berharga yang kasat mata adalah televisi 21" di ruang lantai satu itu.
Di depan pintu, tikus sebesar kucing remaja melintas, dan Edi masih merapikan buku yang akan dibawa ke rumah singgah.
Ah Anita, persoalan orang dewasa sering kali sulit dicerna. Sekolah saja ya nak, biar Ibumu tersenyum saat kubawakan rapotmu 3 bulan yang akan datang.
Comments
Post a Comment