Ayah, 3 tahun lalu

1 panggilan tak terjawab. Layar telepon genggam mengatakan itu dari Ibu. Tak lama, suara Ibu sudah terdengar menggantikan bunyi "tuuut" dari panggilan keluar.

Ibu bilang akan mengadakan pengajian, peringatan kematian ayah 3 tahun lalu. Saat saya bertanya apakah panggilan telepon ini sekaligus juga panggilan untuk pulang, Ibu hanya berkata terserah.

Ah, Mei selalu jadi bulan sibuk. Mei 3 tahun lalu ayah meninggal tengah saya bersitegang dengan Roland Barthez. Kala itu saya memilih Tuan Bartez alih-alih melihat nafas terakhir ayah.

Tak ada yang saya ingat soal kematian ayah, karena saya tak pernah ada di sisinya. Terakhir saya mengunjungi ayah adalah lebaran tahun sebelumnya. Kami sekeluarga berlebaran di rumah sakit, menatapi detak ayah lewat monitor.

Kenangan terakhir soal ayah, hanyalah panggilan telepon. Katanya: jaga adik-adik baik-baik.

Saya tak pernah berada di dekat ayah saat jenazahnya dimandikan. Saya tak pernah tahu ada upacara penghormatan jenazah ayah di bandara, dan tidak merasakan emosi ibu saat bersitegang dengan dokter saat tahu ayah harus diberi formalin agar tidak rusak di pesawat.

Ah ayah, entah bagaimana reaksimu jika tahu tubuhmu diperlakukan seperti tahu.

Keterlambatan pesawat, membuat Ibu menolak upacara penerimaan jenazah di Jakarta. Ayah harus dikebumikan hari itu juga, padahal matahari sudah tergelincir.

Saya masih ingat bagaimana mengambil peti berisi tubuh mati ayah di antara kiriman barang lainnya. Pertama kali saya menginjakan kaki di terminal kargo, untuk alasan yang tidak pernah saya tahu bisa terjadi.

Saya tak pernah tahu apa-apa soal kematian. Yang saya tahu orang-orang bersikap lebih baik saat kematian datang. Orang tua teman-teman saya, mengirimkan uang bantuan yang tidak sedikit, pun relasi ayah. Tetangga yang tak pernah saya tahu keberadaannya, datang dengan derai air mata serta rapalan doa-doa. Pemuda kampung mencangkuli tanah merah, mengeluarkan isi bumi agar bisa menanam ayah.

Dan saya, mengarungi udara pada penerbangan pertama, masih dengan Tuan Barthez di antara barang yang saya bawa. Ah, hasrat pencarian masa depan berkelindan dengan keegoisan.

"Bagaimana?" tukas suara ibu di seberang sana.

Bagaimana, ujar hati. Saya tak pernah menghadiri pengajian untuk ayah yang diadakan ibu. Bukan karena saya tak menghargai ayah, atau ibu, ini persoalan pragmatis saja.

Karena Mei adalah bulan sibuk. Kali ini pun masih demikian.

Kali ini adik akan mulai berkuliah. Maka Mei adalah peluang akhir untuk bisa mandaftarkan diri di perguruan tinggi. Saya yang mengurus diri saya sendiri saat akan berkuliah, saya pula yang mengurus adik pertama saya. Maka Ibu tak ada gambaran mengenai pendaftaran perkuliahan apapun.

Uang tak datang sendiri, meminta cuti, dan mengurus ini-itu ke sana-sini tidak semudah menjentikan jari.

Ah Ayah, maafkan keegoisan masih bersemayam sejak 3 tahun lalu, dulu tak mengindahkan nafasmu yang tinggal satu-satu, lalu kini tak bersama manusia-manusia yang merapal doa bersama. Karena pesan terakhirmu, tak sesingkat dan semudah kedengarannya.

Lagi-lagi saya hanya bisa membela diri.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah