Posts

Showing posts from April, 2012

Ayah, 3 tahun lalu

1 panggilan tak terjawab. Layar telepon genggam mengatakan itu dari Ibu. Tak lama, suara Ibu sudah terdengar menggantikan bunyi "tuuut" dari panggilan keluar. Ibu bilang akan mengadakan pengajian, peringatan kematian ayah 3 tahun lalu. Saat saya bertanya apakah panggilan telepon ini sekaligus juga panggilan untuk pulang, Ibu hanya berkata terserah. Ah, Mei selalu jadi bulan sibuk. Mei 3 tahun lalu ayah meninggal tengah saya bersitegang dengan Roland Barthez. Kala itu saya memilih Tuan Bartez alih-alih melihat nafas terakhir ayah. Tak ada yang saya ingat soal kematian ayah, karena saya tak pernah ada di sisinya. Terakhir saya mengunjungi ayah adalah lebaran tahun sebelumnya. Kami sekeluarga berlebaran di rumah sakit, menatapi detak ayah lewat monitor. Kenangan terakhir soal ayah, hanyalah panggilan telepon. Katanya: jaga adik-adik baik-baik. Saya tak pernah berada di dekat ayah saat jenazahnya dimandikan. Saya tak pernah tahu ada upacara penghormatan jenazah ayah di

headless nude

Image
Saya selalu ingin bisa menggambar. Namun keinginan memang tak selalu berbanding lurus dengan kemampuan. Maka inilah gambar pertama saya, tepatnya gambar tubuh perempuan hampir telanjang yang pertama kali saya buat. ternyata ngegambar toket itu susah banget setengah jadi, toketnya jadi ga proporsional dan tampak terlalu ke atas akhirnya jadi, dan makin ga proporsional hasilnya Jadi juga sih gambar tubuh perempuan. Sayangnya jadinya sama sekali tidak proporsional. Kenapa bokongnya nungging banget, lalu toketnya naik banget, garis tubuhnya terlalu lebar, jarinya kayak sirip, dan warnanya juga belang blentong. ahahahah... Headless Nude Pastels on Paper (Color might be change due to light issue)

Ah, Pak Motivator, gitu aja kok repot!

Minggu lalu perusahaan tempat saya bekerja mewajibkan seluruh karyawannya mengikuti pelatihan motivasi. Bagi saya, ini adalah pelatihan motivasi yang sangat tidak memotivasi. Saat saya memasuki ruangan, motivator sedang menjelaskan 3 kecenderungan bekerja. Pertama, menurut dia, kecenderungan untuk bekerja yang paling rendah adalah melihat pekerjaan sebagai tugas. Lalu kita menjalankannya sekadar untuk bertahan hidup, tanpa menentukan arah atau capaian yang kita inginkan. Hemat kata, lagi-lagi menurut sang motivator, pekerja tipe ini akan bekerja berdasarkan skenario orang lain. Lalu ada yang bekerja dan melihatnya sebagai karir. Orang yang melihat pekerjaan sebagai karir, akan menjalankan hidup yang dia sutradarai sendiri, dia pula yang menuliskan skenarionya. Singkat cerita orang macam ini sudah jelas mau apa dan akan kemana. Dan yang paling super menurut motivator dihadap saya kala itu adalah melakukan pekerjaan berdasarkan skenario Tuhan. Ini tidak konkrit menurut saya. Bagai

Sepotong sajak rindu

:Pramudiarja Manalah kubisa membaca pikirmu. Manalah kubisa tahu isi hatimu. Manalah ku harus bersikap jika kau tak memberi tahu? Lalu kau masih diam. Maka begitulah. Manalah kubisa memberi padamu selain sepotong sajak usang penuh rindu yang belum lagi usai. bagai dahaga pohon sajakku menerka yang tak pernah kau ucapkan.

Asu

"Aku akan mati saat usia 24," ujarnya mantap. Kali ini aku tidak mengerti maksud ucapannya. Bukan berarti aku selalu mengerti maksud ucapannya. Namun kali ini aku tidak mengerti sampai malas bertanya. Kuhirup dalam-dalam rokokku, lalu menenggak bir ketiga kami. Maghrib yang begitu deras baru saja berlalu, suasana kini menjadi tenang, sedikit benderang di bawah lampu jalan. "Aku selalu tahu aku akan mati saat usiaku 24 tahun. Artinya hidupku hanya tersisa 7 bulan, atau kurang dari itu. Karena saat bulan ketujuh aku akan menjadi 25 tahun. Berarti aku sudah mati saat itu." Usai berkata, ia menghabiskan botol ketiganya. Dia selalu menyatakan ketidaksukaannya terhadap bir. Lebih tepatnya tak menyukai efek samping bir yang selalu membuatnya ke kamar mandi setiap 20 menit. Tapi tak pernah juga ia menolak jika kubelikan, sampai botol ketujuh, dia akan merasa cukup. "Biasanya rock star akan mati saat berusia 23 tahun. Maka para pecinta hidup akan mati saat us

Semoga Tak Hujan

Segerombolan udara menyeruak ke dalam gendang telingaku. Namun gelombang itu tak dapat kuartikan, hanya bunyi yang numpang lewat. Lalu tak kuhiraukan. Hujan masih membawa semerbak bau tanah, berjalin dengan harum rumput di halaman yang baru saja dipangkas. Hujan tanpa angin tanpa petir begini, membuat ingin berlama-lama duduk di samping jendela. Memandangi hujan seolah dia adalah gadis tetangga yang baru berkembang, kenes dan mencuri perhatian. Sekali lagi satu set gelombang udara memasuki lubang telinga. Kali ini otakku meminta respon. Menoleh juga aku pada sumber suara, meski tak yakin pada apa yang disampaikannya. "Eh?" "Apakah kamu selalu melakukan itu?" Ketiga kalinya gelombang yang sama menerpa. "Melakukan apa?" "Berlama-lama meratapi hujan." Meratapi hujan katanya. Ah, siapa yang meratapi hujan? Aku? Mengapa aku harus meratapi hujan? Mengapa pula hujan harus diratapi? Apalagi ditambah kata selalu. Apa aku selalu meratapi huj

The Lady: perempuan inspiratif dalam film yang kekurangan inspirasi

Image
Alur film yang maju-mundur, judul yang mirip, dan sama-sama mengisahkan soal pemimpin perempuan, film ini sedikit mengingatkan pada Iron Lady. Namun, bagi saya, Iron Lady jauh lebih dinamis, sedangkan The Lady berjalan begitu lambat. Film dibuka dengan setting rumah sakit, saat Michael Aris menerima vonis sisa umurnya bersama kanker prostat. Lalu mundur ke tahun 1988 saat Aung San Suu Kyi pertama menginjakan kaki kembali ke Burma. Ini bukan biografi ataupun film politik. Tidak ada cerita signifikan mengenai karakter Suu Kyi maupun perkembangan karir politiknya. Tidak ada klimaks. Semua berjalan saja seperti dokumenter. Film ini lebih personal, meski tidak jelas arahnya. Sampai pada akhirnya film ditutup dengan kematian Michael Aris, lalu dilanjutkan dengan para biksu mendatangi Suu Kyi, maka saya putuskan bahwa film ini lebih menekankan bahwa Suu Kyi, si anggrek baja, adalah juga Istri dan Ibu yang kesepian. Dari semua bahan bacaan maupun kelas-kelas perkuliahan yang membahas