Jale Retail Vs Jale Korporasi


Pada kelas-kelas sekolah maupun perkuliahan, apapun pelajarannya, tentu kita diajari untuk jujur dan tidak mengambil untung di luar yang sudah semestinya. PNS dilarang meminta pungli, wartawan dilarang meminta uang pada narasumber, polisi dilarang mengambil tip saat tilang.

Larangan-larangan yang meminta kita agar tidak memakan uang "haram", meski terkadang definisi haram juga agak buram.

Wartawan dilarang terima amplop. Bukan hanya wartawan sebenarnya, semua pekerjaan dilarang terima amplop "yang tidak semestinya". Lagi-lagi yang tidak semestinya itu juga sering kali sangat relatif.

Saya tidak akan mengomentari profesi lain, takut akan dekat pada perbuatan ghibah dan nyinyir. Ada baiknya saya mengomentari pekerjaan saya saja. Otokritik, kata orang-orang yang suka pakai bahasa susah.

Wartawan dilarang menerima amplop karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi pemberitaan. Berita yang seharusnya baik bisa jadi jelek dan yang jelek jadi baik. Mungkin itu kekhawatirannya.

Saya mengambil banyak sekali SKS saat berkuliah. Jauh lebih banyak dari yang dianjurkan. Kala itu saya masih galau apda masa depan. Semua mata kuliah tampak menarik dan saya belum tahu akan menekuni yang mana. Maka saya mengambil banyak mata kuliah yang berhubungan dengan jurnalistik, public relations dan iklan sekaligus. Ilmu saya memang menjadi tidak spesifik, tetapi setidaknya saya dapat melihat dari banyak sisi.

Sebagai agensi iklan, saya diajarkan untuk meletakkan iklan pada media yang dianggap tepat, tepat segmen, tepat oplah, tepat pesan, serta banyak tepat tepat lainnya.

Saat menjadi public relations saya juga diajarkan untuk memberi keterangan setepat mungkin. Menulis sejelas mungkin. Paling baik apabila wartawan mengutip siaran pers dengan persis.

Maka, wartawan menulislah dengan benar, mereproduksilah dengan tepat (tidak ada berita berupa fakta mentah, semuanya reproduksi). Kurang lebih begitulah.

Namun ada hal-hal yang lupa diajarkan. Soal apa itu jale.

Jale, amplop, atau apalah namanya sering kali digambarkan sebagai pemberian uang dan fasilitas. Maka wartawan secara retail dilarang mengambil fasilitas tersebut.

Ya, secara retail.

Perorangan.

Kami dilarang mengambil amplop secara perorangan. Namun, apa yang terjadi jika "jale" tersebut dikucurkan dalam partai besar, secara korporasi.

Iya, saya sedang bicara tentang iklan.

Ketika jale diambil secara retail, maka hanya menguntungkan satu pihak saja, dan berita menjadi tidak berimbang. Haram hukumnya. Namun ketika jale tersebut dalam bentuk iklan yang sangat besar, lalu dijanjikan akan muncul tulisannya dalam pemberitaan positif (pelajaran public relations mengatakan bahwa berita memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari pada iklan) apabila dia beriklan. Maka itu adalah jale halal karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Maka sah-tidaknya suatu jale sangat bergantung pada seberapa banyak hajat hidup yang bernaung di bawahnya.

Bagi otak saya yang tak seberapa ini, saya jadi menganggap pelarangan jale retail adalah sampah karena toh perusahaan mengambil jale secara partai besar, dan dilegalkan atas nama iklan.

Maksud saya, silahkan saja beriklan, tetapi berita seharusnya kuasa redaksi. Mimpi aja saya!

Perusahaan tidak akan beriklan di koran yang membuat berita jelek tentang dirinya. Tentu saja masuk akal. Namun, kembali pada bangku perkuliahan, kalau memang hanya koran itu yang tepat segmen dan memiliki kualitas terbaik sehingga menimbulkan citra tertentu, bukankah perusahaan seharusnya tidak punya banyak pilihan?

Namun tentu persaingan membuat banyak pilihan.

Persoalannya, media tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat. Saya pikir kalau semua media sepakat bahwa jangan ada iklan yang mempengaruhi pemberitaan, lalu perusahaan-perusahaan tidak punya pilihan. Lagi-lagi, mimpi aja saya!

Ini kan soal uang! Soal bonus dan gaji-gaji kami.

Maka saya hampir yakin bahwa sebagian gaji-gaji kami adalah jale itu sendiri.

Comments

  1. Hahaha setuju banget nih :D istilahnya pas banget, jale retail ama jale korporasi... *ngakak* pokoknya kalo yg nerima pimpinan atas nama perusahaan, halal lah...kalo yg nerima wartawannya, harap disembunyikan wkwkwk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Addressing Climate Crisis with Ummah