berteman dengan 1 miliar orang

Dalam kitab yang pernah saya baca, diceritakan Iblis yang taat kepada Tuhan tidak mau mengakui kehebatan Adam dan Hawa. Tentu saja tak mau, Tuhan belum membuktikan kehebatan-kehebatan yang dimiliki manusia. Meminta Iblis merendahkan diri dihadap manusia ibarat PBB meminta Amerika Serikat tunduk mengakui kehebatan Uni Sovyet. Sebelum terbukti Uni Sovyet dapat menghancurkan pentagon hingga tak tersisa satu keping pun, tak ada ceritanya Amerika akan percaya.

Siapa yang menyangka kalau Tuhan ternyata hanya ingin mengetes ketaatan Iblis. Sekarang saya mengerti dari mana datangnya sumpah prajurit militer butir 4: menaati semua perintah atasan.

Tuhan menganggap Iblis membangkang, Iblis menganggap manusia tak pantas dihormati, bahkan lebih hina karena berasal dari tanah. Semudah itulah proses menilai-dinilai. Ketaatan Iblis pada Tuhan selama ribuan tahun tak dihitung. Iblis pun terlanjur congkak, merendahkan zat baru yang belum dikenalnya.

Ya, semudah itu kita menilai.

Saat masih kuliah, saya menilai resensi yang ditulis Leila S. Chudori di Tempo adalah karya master piece. Segar, memberi perspektif anyar. Lalu saat ini saya menilai dia sudah kehilangan momen, resensinya tak berkembang, pembahasannya itu-itu saja, bosan. Mungkin si penulis juga tak mengakomodasi ilmu-ilmu anyar akhir-akhir ini. Semudah itu saya menilai Leila S. Chudori yang tak saya kenal. Bahkan mengikuti kicauannya saja saya enggan.

Masih dari Tempo, sebagai mahasiswa, saya pikir Caping yang disesaki ide-ide Goenawan Moehamad adalah salah satu bahan wajib baca. Kesederhanaan yang menggelegak, dan kerumitan yang terurai ringan. Namun, tiba-tiba saya jadi mengeluhkan GM yang kini partisan, Sri Mulyani bukan yang pertama dia dukung secara politis.

Terakhir saya menilai Samuel Mulya. Di akhir masa perkuliahan, Kompas memunculkan rubrik baru yang selalu saya tunggu setiap Minggu--selain sajak-sajaknya. Beserta sajak-sajak yang saya nilai luar biasa, bagian-bagian terbaik dari kolom Samuel Mulya saya rekatkan di dinding kamar. Sisanya saya simpan dalam kliping koran. Kini, tak lagi saya tunggu kolom itu. Tak ada yang baru, umpat saya.

Semudah itu saya menilai tiga orang besar yang jarak kemampuannya ribuan tahun cahaya lebih mutakhir dari kemampuan saya. Siapalah saya kalau bukan lajang congkak yang hampir seperempat abad.

Saya memang seenaknya sendiri, menilai orang dengan kenikmatan sendiri, sesuka-suka hati. Orang ini terlalu manja, orang itu tidak bertanggung jawab, dia sok tahu, anu pengecut. Seolah saya manusia paling baik di seluruh dunia.

Saya suka sekali mencari pledoi. Menurut saya, wajar jika kita memiliki preferensi mengenai sesuatu hal. Misalnya, saya manusia yang apa adanya dan terbuka. Kalau tidak suka, saya akan katakan tidak suka. Saya menilai dari perkataan dan sikap dihadapan saya. Jika tidak suka pada suatu sikap, bukan berarti harus membenci manusianya secara keseluruhan. Semudah itu. Maka preferensi saya tentu bukan pada manusia sensitif, dan manja yang alih-alih bertanggung jawab menyelesaikan masalahnya sendiri, malah menggeret teman-temannya untuk mencampuri.

Maka jika saya menilai orang-orang tertentu masuk dalam kategori sensitif dan manja biasanya akan berujung pada keputusan untuk tidak terlalu dekat dengan mereka dari pada membuat hidup saya semakin rumit. Bukan benci, sekadar preferensi, pilihan mana suka. Bukan berarti menjauhi, hanya kalau tiak cocok ya mau gimana lagi. Tak perlu memaksakan diri.

Sayangnya saya sering bersikap tidak fair. Misalnya, kecewa juga saya jika ada yang memberi penilaian yang (saya anggap) kurang tepat mengenai diri saya. Padahal kan terserah juga ya, itu perspektif masing-masing.

Seperti kisah bijak yang sering diceritakan ayah sebelum saya tidur. Tiga manusia yang tidak dapat melihat akan memberi deskripsi yang berbeda mengenai gajah. Dia yang menyentuh tubuhnya akan menganggap gajah lebar seperti dinding. Sentuhan dibelalai akan menceritakan bahwa gajah adalah hewan yang bulat lagi panjang. Sedangkan gading akan menceritakan betapa kerasnya gajah.

Mereka yang bertemu saya saat tanggal 23 tentu mendapat kesan yang berbeda dengan mereka yang bertemu saya sesudah tanggal 24. Saat menyesap anggur mahal gratisan di Equinox tentu sikap saya tak akan sama dengan ketika berkongkow ria di pinggir rel kereta api di senen. Kita memainkan banyak avatar dan alter ego sekaligus dalam hidup kita. Yah, setidaknya saya.

Berlebihan jika saya berharap manusia lain bisa mengerti saya apa adanya. Bukan saya sebagai buruh kata-kata, bukan juga sebagai anak tertua. Tetapi saya sebagai saya. Mungkin Ibu saya saja tidak. Bahkan saya sendiri mungkin tidak mengenal diri saya.

Saya pikir saya harus belajar menerima penilaian orang lain mengenai saya. Sejelek apapun penilaiannya.

Jika penilaian itu salah, sikaplah yang harusnya menunjukan letak kesalahan, bukan kalimat pembelaan dari seperangkat lidah, geligi, bibir dan otot-otot dalam saluran mulut hingga kerongkongan.

Dan jika tetap dianggap jelek--meski sebaik apapun saya berusaha bersikap, itu adalah preferensi. Hak setiap orang untuk menyimpan laci khusus bagi naskah-naskah preferensi sifat manusia dalam labirin otaknya. Mungkin juga memang sudah sifat dasar bahwa ada sikap dan sifat tertentu yang tidak akan cocok dengan sifat dan sikap tertentu lainnya. Seramah dan sebaik apapun selalu akan ada yang tidak cocok atau bahkan tidak suka.

Toh, bukan kewajiban saya untuk membuat 1 miliar manusia di dunia ini agar menyukai saya. Lagi pula, akan terlalu sulit mengurusi 1 miliar pertemanan, bagi otak yang kekurangan ginko biloba ini.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah