abstinence only Vs pendidikan antiseks-bebas

Kemarin, seorang teman berseloroh, jika ditanya kapan menikah, sebelum memberi jawaban, ada baiknya terlebih dahulu kita jelaskan 12 hak kesehatan reproduksi dan seksual. Saya jadi terpikir, dan sangat yakin, tidak semua orang mengetahui mengenai 12 hak kesehatan reproduksi dan seksual, bahkan bagi mereka yang sudah menikah sekalipun.

Belum tuntas pembicaraan mengenai 12 hak kesehatan reproduksi ini, seorang teman lain membawa kabar pemerintah mulai mengembangkan isu mengenai pendidikan anti seks bebas. Apa pula pendidikan antiseks-bebas ini?

Penelitian yang dilakukan di Amerika sana saat saya masih berkuliah--sayang sekali saya lupa penelitian apa oleh siapa dan dalam buku apa saya baca--membuktikan negara-negara bagian yang dengan ketat melaksanakan pendidikan seks dengan penekanan pada abstinence only menunjukan tingginya perolehan kasus kehamilan tidak diinginkan yang berujung pada pernikahan dini atau aborsi, termasuk tingginya angka HIV-AIDS. Sayangnya, sekali lagi, buku itu saya baca mungkin 5 tahun--6 tahun lalu. Saya lupa data detail dan nama-nama negara bagiannya.

Lalu, apakah model pendidikan antiseks-bebas ini memiliki konsep abstinence only?

Tidak, bukannya saya mendukung seks bebas. Saya setuju pada pilihan seks bertanggung jawab. Saya juga tidak bermasalah pada pilihan berhubungan seks hanya dalam pernikahan dan tidak berganti-ganti pasangan. Toh berdasar ukuran kesehatan fisik, hal tersebut tentu baik.

Namun, seperti apa model pendidikan antiseks-bebas ini? Judul pendidikan anti seks bebas sangat menunjukan preferensi terhadap nilai tertentu, nilai yang baik dalam ukuran moral negara ini.

Apakah pendidikan antiseks-bebas akan berbasis pada moral?

Seperti pelajaran agama, juga pelajaran lain di sekolah, kebanyakan pelajaran yang kita dapat adalah hapalan dan cekokan. Murid diberi tahu sesuatu, dan tak boleh membantah. Jika murid kelas 3 SD bertanya "apakah Tuhan sungguh satu? Tidakkah ia merasa kesepian karena tidak punya teman dan keluarga?" pertanyaan tersebut dianggap sudah mengarah murtad. Seperti Soeharto yang menuduh setiap perbuatan kecil sebagai makar.

Tidakkah orang-orang dewasa ini mengerti bahwa usia tertentu adalah usia penuh tantangan sekaligus keingintahuan? Pelarangan adalah tantangan seru. Sensasi yang dirasakan saat melanggar mungkin sudah tidak dimengerti oleh para perumus kebijakan di pemerintahan, tetapi sensasi tersebut ada dan tak bisa dinihilkan.

Saya ingat betul, 2 tahun lalu Menteri Pendidikan Indonesia Muhammad Nuh mengaku kolot dan tidak bisa menyetujui pendidikan seksual. Saya tidak mengerti hubungan kekolotan dan pendidikan seksual. Yang saya lihat adalah ketidaktahuan dan penghakiman.

Banyak orang berpikir bahwa pendidikan seksual berhubungan dengan penetrasi penis ke dalam vagina. Secara parsial, anggapan tersebut tidak salah. Hanya saja, apakah biasanya kita akan langsung mengajarkan persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial kepada murid TK yang baru bisa menyebutkan angka satu sampai lima?

Tentu dalam pendidikan seksual akan diajarkan cara memasang kondom. Persoalannya adalah kepada siapa cara memasang kondom akan diajarkan? Seperti pelajaran matematika, terlebih dahulu kita akan belajar mengenal angka-angka, menjumlah, mengurangi, mengali, membagi jauh sebelum kita bicara mengenai kelompok persekutuan terkecil (KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB).

Tentu tak ada ceritanya mengajarkan penggunaan kondom kepada sisa SMP atau kepada siapapun yang belum mencapai fase tertentu. Seperti matematika, kurikulum pendidikan seks sudah seharusnya disesuaikan dengan usia dan lingkungan.

Misalnya, cara membersihkan vagina dan penis yang benar setelah membuang air kecil akan sangat pas diajarkan kepada murid TK. Lalu saat kelas 5 atau kelas 6 pendidikan seksual akan membahas soal perubahan fisik menjadi dewasa: semakin menonjolnya jaringan payudara, pertumbuhan rambut halus, mestruasi, dan tentu saja, mimpi basah. Saya pikir ini tidak berlebihan.

Kembali kepada bapak menteri kita, saya rasa dia lupa bahwa Indonesia sudah menandatangani kesepakatan untuk melaksanakan rekomendasi 12 hak kesehatan reproduksi dan seksualitas dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, pada 1994.

Jika bapak menteri kita masih merasa bisa abai terhadap ICPD, kita harus mengingatkan bahwa 10 tahun sebelum ICPD, Indonesia bahkan telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7/1984 mengenai pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

CEDAW ini memiliki 30 pasal dalam 6 bagian. Terlalu banyak jika saya paparkan, tetapi satu hal yang perlu diingat, dalam pasal 12 ditegaskan  negara wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan dan pelayanan kesehatan reproduksi.

Oya, untuk 12 hak kesehatan reproduksi dan seksualitas, kalau-kalau ada yang mau menuntut hak-haknya, berikut yang dapat kalian tuntut:

1. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
2. Hak mendapat pelayanan dan kesehatan reproduksi.
3. Hak untuk kebebasan berfikir dan membuat keputusan tentang kesehatan reproduksinya.
4. Hak untuk memutuskan jumlah dan jarak kelahiran anak.
5. Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, kelahiran karena masalah jender.
6. Hak atas kebebasan dan pelayanan dalam pelayanan kesehatan reproduksi.
7. Hak untuk bebas dari penganiayan dan perlakuan buruk yang menyangkut kesehatan reproduksi.
8. Hak untuk mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan reproduksi.
9. Hak atas kerahasiaan pribadi dalam menjalankan kehidupan dalam reproduksinya.
10. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
11. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam berpolitik yang bernuansa kesehatan reproduksi.
12. Hak atas kebebasan dari segala bentuk diskriminasi dalam kesehatan reproduksi.

Hak-hak tersebut tidak melulu berbicara soal perempuan. Saya bukan aktifis gerakan feminis tertentu, saya hanya percaya bahwa baik laki-laki, perempuan, maupun gender ketiga dan lainnya harus mendapatkan hak-haknya. Karena kita berbeda, tapi setara.

Jadi, dengan menganggap tidak perlu adanya pendidikan kesehatan reproduksi, apakah menteri kita sudah melanggar perjanjian internasional yang telah ditandatangani, bahkan melanggar UU kita sendiri?


Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Ustad yang berfikir dengan penisnya

Takut