Posts

Showing posts from February, 2012

Dokter kencing berdiri, pasien kencing berlari

Terakhir saya mengecek status HIV sekitar 3 tahun lalu. Tiga kali saya melakukan tes HIV gratis di sebuah klinik yang digawangi oleh lembaga swadaya masyarakat tempat saya bekerja. Karena sudah lama tidak mengecek status HIV terbaru, pada tahun lalu saya berinisiatif untuk kembali mengecek. Kali ini saya mendatangi sebuah rumah sakit militer di bilangan Jakarta Pusat. Saya katakan kepada petugas di sana, saya ingin melakukan VCT (Voluntary Counseling and Test). VCT sebenarnya tidak melulu untuk mengetahui status HIV, tetapi seringkali digunakan untuk merujuk pada tes HIV. Suster tampak kebingungan.Wah, saya jadi canggung, suster ini bukankah seharusnya lebih mengerti istilah medis dari pada saya? Maka saya ulangi permintaan tersebut, kali ini saya katakan ingin tes HIV, alih-alih memberi formulir pendaftaran, suster malah serta merta memanggil dokter. Kembali saya katakan pada dokter bahwa saya ingin VCT. Tak disangka dokter malah balik bertanya: untuk apa? Loh, saya terdiam beb

abstinence only Vs pendidikan antiseks-bebas

Kemarin, seorang teman berseloroh, jika ditanya kapan menikah, sebelum memberi jawaban, ada baiknya terlebih dahulu kita jelaskan 12 hak kesehatan reproduksi dan seksual. Saya jadi terpikir, dan sangat yakin, tidak semua orang mengetahui mengenai 12 hak kesehatan reproduksi dan seksual, bahkan bagi mereka yang sudah menikah sekalipun. Belum tuntas pembicaraan mengenai 12 hak kesehatan reproduksi ini, seorang teman lain membawa kabar pemerintah mulai mengembangkan isu mengenai pendidikan anti seks bebas. Apa pula pendidikan antiseks-bebas ini? Penelitian yang dilakukan di Amerika sana saat saya masih berkuliah--sayang sekali saya lupa penelitian apa oleh siapa dan dalam buku apa saya baca--membuktikan negara-negara bagian yang dengan ketat melaksanakan pendidikan seks dengan penekanan pada abstinence only menunjukan tingginya perolehan kasus kehamilan tidak diinginkan yang berujung pada pernikahan dini atau aborsi, termasuk tingginya angka HIV-AIDS. Sayangnya, sekali lagi, buku itu

berteman dengan 1 miliar orang

Dalam kitab yang pernah saya baca, diceritakan Iblis yang taat kepada Tuhan tidak mau mengakui kehebatan Adam dan Hawa. Tentu saja tak mau, Tuhan belum membuktikan kehebatan-kehebatan yang dimiliki manusia. Meminta Iblis merendahkan diri dihadap manusia ibarat PBB meminta Amerika Serikat tunduk mengakui kehebatan Uni Sovyet. Sebelum terbukti Uni Sovyet dapat menghancurkan pentagon hingga tak tersisa satu keping pun, tak ada ceritanya Amerika akan percaya. Siapa yang menyangka kalau Tuhan ternyata hanya ingin mengetes ketaatan Iblis. Sekarang saya mengerti dari mana datangnya sumpah prajurit militer butir 4: menaati semua perintah atasan. Tuhan menganggap Iblis membangkang, Iblis menganggap manusia tak pantas dihormati, bahkan lebih hina karena berasal dari tanah. Semudah itulah proses menilai-dinilai. Ketaatan Iblis pada Tuhan selama ribuan tahun tak dihitung. Iblis pun terlanjur congkak, merendahkan zat baru yang belum dikenalnya. Ya, semudah itu kita menilai. Saat masih kulia

I'm a happy psycho!

Beberapa hari yang lalu saya mengeruhkan keadaan dengan mengirim pesan singkat kepada seorang yang tak ingin dan tak terbayang mendapat pesan singkat dari saya. Pesan singkat saya tidak berisi ancaman, bahkan isinya adalah permintaan maaf. Namun si penerima agaknya ketakutan karena mengira saya seperti psikopat dalam film-film Amerika. Saya bukan penggemar thriller. 1000 kali lebih baik bagi saya menonton tree of life atau stolen summer. Saya tidak agamis, tapi film-film relijius selalu menyenangkan. Oya, kembali ke psikopat a la film Amerika, saya pernah menonton secret window--sampai mati saya penggemar Johnny Depp. Tentu mengkhawatirkan jika menerima pesan singkat dari tokoh seperti Mort Rainey yang dalam secret window digambarkan sebagai seorang penulis yang baru saja bercerai, berhalusinasi mengenai orang-orang sembari melakukan pembunuhan. Saya akan khawatir sampai terkencing-kencing. Masalah psycho ini sebenarnya sederhana, dalam keadaan yang tidak menyenangkan seseorang

memilih

Saat SMU cita-cita saya hanya dua, menjadi wartawan, dan bekerja di LSM yang bergerak di isu perempuan, kesehatan reproduksi, LGBTIQ, ataupun lingkungan. Ayah menganggap semua itu omong kosong siswa SMU. Dulu, ayah meminta saya berkuliah di fakultas hukum. Saat itu saya tidak ada gambaran, bahkan tidak tahu ingin berkuliah di mana, satu hal saya tahu adalah saya tidak ingin di fakultas hukum. Keadaan bertambah pelik ketika sekolah mengajukan formulir PMDK. Sesuai arahan ayah, saya tulis juga hukum di kolom-kolom formulir PMDK. Diterima juga saya di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Sekolah juga mendesak untuk berkuliah di sana. Katanya, kalau ada siswa yang diterima tetapi menampik, maka sekolah akan masuk daftar hitam. Saya teguh pendirian. Waktu itu kesombongan saya meyakini saya bisa diterima di perguruan tinggi seperti UI atau UGM. Bukan berarti menjadi mahasiswa UNS tidak lebih baik, tapi semua siswa SMU pasti mengalami masa cuci otak yang sama. Universitas-universit

rose is a rose is a rose

Selalu ada beragam versi mengenai kebenaran. Semua pihak selalu merasa kebenarannya adalah yang paling benar sedangkan kebenaran pihak lain adalah versi yang dicomot dari bagian-bagian yang paling disukai. Kebenaran saya bukan yang paling benar. Kebenaran saya sekadar perspektif. Kebenaran sekadar gambaran pola pikir. Seperti halnya diskusi yang hanya ingin memberi pola pikir baru tanpa tendensi berkonversi pola pikir, maka bagi saya semua kebenaran dapat menjadi yang paling benar. Kebenaran dapat menjadi benar dalam pola pikir, dalam tulisan dan dalam kepercayaan masing-masing asal tidak memaksa yang lain untuk mempercayai kebenaran itu. Saya tidak peduli jika orang lain tidak mempercayai kebenaran versi saya. Toh selama saya tidak menumpang hidup, tidak ada pengaruhnya bagi saya. Lagi pula terkadang kebenaran juga sekadar siapa yang paling banyak punya teman, sehingga bisa ramai-ramai mengeroyok pola pikir orang lain. Bagi saya, setiap kebenaran punya masa lalu. Ada yang berf

dan akhirnya saya memutuskan menyerah

"Makanya jangan kasih tahu rika kalau perginya sama aku. Bilang aja sama teman kantor." Terus terang saya tidak bisa mengerti logika kalimat tersebut. Saya tidak mengerti logika perempuan ini. Mengapa pasangan saya (kala itu) tidak boleh memberi tahu saya dengan siapa dia pergi? Mengapa dia menyarankan hal demikian pada pasangan saya? Kalau hal itu dilakukan untuk menjaga perasaan, jujur saya tidak mengerti. Lie won't save anybody's heart. Lie just make things complicated. Saya bukan perempuan pencemburu. Pasangan sudah cukup dewasa untuk memutuskan akan pergi makan atau ke gereja dengan siapa. Kami punya dunia masing-masing dan tidak perlu selalu saling menemani. Hubungan tentu tidak akan mengubah pertemanan yang sudah ada. Namun kebohongan adalah hal yang tidak tertoleransi. Setiap pasangan pasti akan mendapat firasat saat pasangannya menyimpan sesuatu. Saat pasangan menyimpan sesuatu, tentu saya menjadi murung karena firasat memberi sinyal ada yang tidak

Soal kebohongan dan sekadar tidak-menceritakan-seluruh-detail

Rasanya seperti menemukan buah durian yang menyesak di antara rerimbunan apel. Pohon apel tidak akan sanggup menahan berat durian. Namun durian itu ada di sana, bergelayut pada ranting apel yang kurus. Aku tahu masalah ini adalah soal bahwa aku menganggap kau berbohong, saat kau yakin ini bukan kebohongan melainkan sekadar tidak menceritakan keseluruhan detail. Aku melihat kebohongan karena kau tidak menceritakan soal ini pada titik awal. Kau mengaku khawatir aku akan marah kalau kau ceritakan, dan kau belum menemukan waktu yang tepat untuk menceritakan. Pada akhirnya memang kau ceritakan, tetapi aku sudah terlanjur mengetahui sendiri, atau aku sudah sampai pada titik menjadi murung karena intuisiku mengatakan ada yang tidak pada tempatnya. Tentu kau merasa tidak ada kebohongan karena pada akhirnya kau mengatakannya. Ya, pada akhirnya. Pada akhirnya. Bercerita memang bukan prioritas utamamu. Apapun soalnya. Ketidaksukaan pada sikapku, atau ketidaksukaan pada hal yang kita jal

Soal Residivis dan Sekolah Kami

Guru dihadapku ini tentu bukan tipe guru teladan. Peluh yang membanjiri pelipisnya juga bukan patokan untuk mengatakan ia penuh dedikasi. "Saya sedikit terlambat," ujarnya sambil menyeka peluh. "Tadi habis urus KTP di Bekasi." Saat itu hampir pukul 3 sore(!), si Ibu guru yang "sedikit" terlambat itu baru saja datang, dan akan segera pergi lagi dalam waktu kurang dari satu jam. Murid-murid pun akan pulang lebih cepat. Jika formalnya pulang sekolah adalah pukul 5 sore, hari ini murid-murid akan pulang pukul 3 sore, termasuk Anita. Alasan memulangkan murid membuat keningku berkernyit. "Ada guru agama yang bikin hajatan di sana, guru-guru mau kondangan dulu. jadi hari ini pulang cepat," jelasnya sambil menunjuk sudut di ujung jalan.. Aih, hatiku mencelos.Seumur hidup 12 tahun bersekolah, tak pernah aku dihadapkan pada keadaan seperti ini, guru-guru yang mengorbankan kelas karena akan pergi kondangan bersama-sama. Ruang guru adalah kubus 5

You love him

Gotcha! You love him! No i don't. Yes you do. Obviously i don't. Obviously you do! Admit it. Why should i? Why shouldn't you? There's no reason for you to say that. Then give me a reason why you shouldn't. I don't and no need to. But you you do, you just don't want to admit it.

rain of pain

rain /rān/ noun moisture condensed from the atmosphere that falls visibly in separate drops. pain /pān/ noun 1 physical suffering or discomfort caused by illness or injury. 2 (pains) careful effort; great care or trouble. it's hard to standing in the rain when your heart in pain.