jemari yang sederas magrib
Hujan dan Magrib menderas berkejaran.
Jemarimu masih berada di sela jemariku. Rasa ku tidak sedang pada kaki yang ngilu karena sepatu yang penuh cipratan genang air. Juga tak ingin tahu pada kotak oleh-oleh yang kuyup. Ah, rasanya seperti 4 tahun lalu. Saat terakhir kita bersajak soal hujan.
Masih kau. Malu-malu mencari jemariku. Dan aku terlalu tinggi hati untuk membuatmu menyadari bahwa aku tahu. Tentu saja aku tahu, meski tak melihat kelebat perpindahan lenganmu. Ini baumu yang semakin mendekat. Tentu saja aku tahu.
Tak ada nafas memburu. Tak ada percakapan antar kulit ari. Tak ada detak kencang di balik rusukmu, pun sentak gerak. Hanya ada kita, menjadi buruh kata-kata. Berloncatan di antara udara buatan. Berkembang di antara lampion dan naga raksasa bercahaya.
Hujan masih memburu sederas magrib.
Ini wajahmu di hadapku. Hanya wajahmu. Namun tidak dalam labirinku. Sesekali beberapa bayang muncul silih berganti. Seperti ada pita plastik 23 mm yang bergerak cepat di hadapku. Memproyeksi gambar-gambar. Merekayasa cerita. Menggerakan wacana.
Ada kau, ayah, ibu, perempuan kecil di pinggir rel kereta, kantor polisi, tumpukan sumbangan yang belum didistribusikan, berita yang harus segera kuselesaikan, juga pria angin barat.
Ah, pria angin barat. Tak habisnya dia menjadikanku pilihan kedua. Tak lelahnya aku menerima dijadikan rencana cadangan. Lalu kau dihadapku. Pria yang berjanji tak menjadikanku sebagai rencana cadangan.
"Kita adalah dua entitas yang dapat mendukung, menuju pencapaian besar yang kita tidak pernah tahu bisa kita capai saat kita tidak bersama." Atau kurang lebih begitu yang ditangkap otakku dari gedoran gelombang suara pada gendang telinga.
Kau masih saja banyak berteori. Dan aku masih membiarkan genggam pada jemari.
Jemarimu masih berada di sela jemariku. Rasa ku tidak sedang pada kaki yang ngilu karena sepatu yang penuh cipratan genang air. Juga tak ingin tahu pada kotak oleh-oleh yang kuyup. Ah, rasanya seperti 4 tahun lalu. Saat terakhir kita bersajak soal hujan.
Masih kau. Malu-malu mencari jemariku. Dan aku terlalu tinggi hati untuk membuatmu menyadari bahwa aku tahu. Tentu saja aku tahu, meski tak melihat kelebat perpindahan lenganmu. Ini baumu yang semakin mendekat. Tentu saja aku tahu.
Tak ada nafas memburu. Tak ada percakapan antar kulit ari. Tak ada detak kencang di balik rusukmu, pun sentak gerak. Hanya ada kita, menjadi buruh kata-kata. Berloncatan di antara udara buatan. Berkembang di antara lampion dan naga raksasa bercahaya.
Hujan masih memburu sederas magrib.
Ini wajahmu di hadapku. Hanya wajahmu. Namun tidak dalam labirinku. Sesekali beberapa bayang muncul silih berganti. Seperti ada pita plastik 23 mm yang bergerak cepat di hadapku. Memproyeksi gambar-gambar. Merekayasa cerita. Menggerakan wacana.
Ada kau, ayah, ibu, perempuan kecil di pinggir rel kereta, kantor polisi, tumpukan sumbangan yang belum didistribusikan, berita yang harus segera kuselesaikan, juga pria angin barat.
Ah, pria angin barat. Tak habisnya dia menjadikanku pilihan kedua. Tak lelahnya aku menerima dijadikan rencana cadangan. Lalu kau dihadapku. Pria yang berjanji tak menjadikanku sebagai rencana cadangan.
"Kita adalah dua entitas yang dapat mendukung, menuju pencapaian besar yang kita tidak pernah tahu bisa kita capai saat kita tidak bersama." Atau kurang lebih begitu yang ditangkap otakku dari gedoran gelombang suara pada gendang telinga.
Kau masih saja banyak berteori. Dan aku masih membiarkan genggam pada jemari.
Comments
Post a Comment