luka
Nafas ayah subuh itu, mungkin satu-satu, tipis-tipis. Tak pernah ku tahu. Aku hanya bisa memandang wajahnya saat sudah kaku, tak ada lagi nafas meski cuma satu-satu.
Aku tak pernah dekat dengan ayah, tapi setiap kematian pasti membawa luka. Luka yang tak pernah bisa diabaikan, betapapun berusaha. Seperti sakitku hari ini.
Aku bangun dengan tenggorokan tercekat, dan nafas yang tertahan, kulit panas dan kepala berat. Aku benci tubuhku. Tubuh pinjaman ini, sedikit menyusahkan. Sebentar-sebentar tak bisa dipakai, sebentar-sebentar menghabiskan uang. Jika sudah begitu, aku pasti teringat ayah. Nafasnya yang satu-satu dengan detak yang diraba layar dan suara.
Setiap kesakitan, membuatku mengenang ayah. Seperti hari ini, saat aku mengenangmu, meraba-raba bahagia, yang tak ada.
Aku tak pernah dekat dengan ayah, tapi setiap kematian pasti membawa luka. Luka yang tak pernah bisa diabaikan, betapapun berusaha. Seperti sakitku hari ini.
Aku bangun dengan tenggorokan tercekat, dan nafas yang tertahan, kulit panas dan kepala berat. Aku benci tubuhku. Tubuh pinjaman ini, sedikit menyusahkan. Sebentar-sebentar tak bisa dipakai, sebentar-sebentar menghabiskan uang. Jika sudah begitu, aku pasti teringat ayah. Nafasnya yang satu-satu dengan detak yang diraba layar dan suara.
Setiap kesakitan, membuatku mengenang ayah. Seperti hari ini, saat aku mengenangmu, meraba-raba bahagia, yang tak ada.
Comments
Post a Comment