Hari Kebangkitan Perempuan Hari Ibu (bagian I dari II)

Menyambut hari ibu saya akan membuat seri "Hari Kebangkitan Perempuan Hari Ibu". Tak ada niat memarjinalkan ibu. Saya hanya ingin sejarah mengenai perempuan lebih banyak diceritakan, dan diungkapkan dengan gamblang, tanpa reduksi dan distorsi. Meski demikian reduksi dan distorsi memang tak terhindarkan dalam tulisan ini. Terutama karena saya tak berpengalaman dalam dunia tulis-menulis ilmiah kecuali pembuatan essay-essay masa kuliah.

--------------------------------------
Tak satupun pelajaran sejarah sejak SD hingga SMA menyinggung dengan detail peran perempuan dalam setiap masa pergreakan. Iya, kami diperkenalkan dengan Kartini atau Christina Martha Tiahahu, tetapi tak lebih dari 2 paragraf dalam buku PSPB kala itu. Bandingkan dengan lembaran Pattimura.

Sejarah Indonesia adalah sejarah soal perang, tak banyak yang menyinggung W.R Supratman dan guncangan biolanya. Tak pernah kita tahu bahwa poligami telah menjadi bahasan serius sejak kongres perempuan pertama pada 1928.

Mengapa tidak satupun buku sejarah dalam 3 fase persekolahan menjelaskan bahwa hari ibu sejatinya merupakan peringatan hari kebangkitan perempuan?

Sejak panggung-panggung seni tari kekeratonan terbuka, perempuan tidak diikutsertakan. Alih-alih tampil, setiap karakter perempuan dalam semua pertunjukan dibawakan oleh para lelaki saja (cross gender). Sedangkan para perempuan hanya boleh berperan dalam wilayah domestik: memasak, jahit-menjahit, mengurus rumah, anak dan suami.

Sementara itu, sebagai bentuk awal gerakan modern, gerakan perempuan Indonesia baru muncul pada permulaan abad 20. Meski demikian Nyi Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien, telah menjadi peraji embrio kegigihan perempuan bagi bentuk yang lebih terorganisasi di masa mendatang.

Berbeda Kartini yang begitu dihargai oleh rezim kerajaan jawa di bawah Soeharto-- karena kemarahan dalam diamnya, Dewi Sartika justru telah melakukan aksi-aksi yang jauh lebih berani, meski hingga kini tidak dirayakan dalam hari khusus..

Tentu saja kita kemudian memiliki hari Kartini tetapi tidak hari Dewi Sartika, rezim manapun tidak ingin mencontohkan kemarahan dan aksi aktif terbuka. Rezim Soeharto ingin perempuan menjadi seperti Kartini, meski terpelajar dan marah, dia hanya diam dan tak melawan. Begitulah perempuan dambaan rezim kala itu.

Dewi Sartika sudah mulai mendirikan sekolah perempuan pertama dengan mengususng nama sekolah Istri pada 1904. Pada perkembangannya sekolah Istri bertransformasi menjadi Sekolah keutamaan Istri. Delapan tahun kemudian—tahun 1912—secara mengejutkan sekolah Istri berkembang pesat menjadi sembilan sekolah yang berarti sama dengan 50% dari jumlah sekolah yang ada di Pasundan (disarikan dari Marianne Katoppo: 2000).

Pada tahun yang sama muncul Putri Mardikan, organisasi perempuan pertama di Jakarta. Kemunculan Puti Mardika, tidak bisa ditampik, tidak terlepas dari campur tangan Budi Oetomo.

Tahun itu merupakan musim hujan bagi "jamur-jamur" gerakan perempuan. Kartini Fonds muncul dengan tujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini, Keutamaan Istri yang didirikan di banyak tempat di Jawa Barat berkembang hingga ke Padang Panjang. Bahkan Kerajinan Amai Setia di Kota Gedang masih dapat kita jumpai hasil kerajinanannya hingga saat ini.

Lima tahun kemudian, 1917, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) didirikan oleh Maria Walanda Maramis di Manado.

Selain organisasi-organisasi tersebut banyak organisasi perempuan lain, sebut saja misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919). (Sukanti Suryochondro: 1995).

Meskipun organisasi perempuan sudah mulai banyak, tetapi gerak perempuan juga organisasi perempuan pada masa itu masih sangat lambat. Adat dan tradisi yang sangat kuat di masyarakat masih menganggap perempuan sebagai pengurus wilayah domestik saja. Ketiadaan izin dari orang tua juga kewajiban untuk membantu oang tua menambah daftar kerumitan organisasi perempuan.

Sebab itu gerakan perempuan baru bergerak di wilayah sosial dan fokus pada kemajuan perempuan saja. Bukan berarti gerakan perempuan anti politik. Hanya saja masih banyak persoalan kesetaraan gender yang pada masa itu membutuhkan perhatian khsuus.

Satu-satunya hal paling menonjol dalam gerakan perempuan pada saat itu adalah pemberian mosi oleh Putri Mardika kepada Gubernur Jenderal Belanda pada tahun 1916 agar di muka hukum perempuan dapat diperlakukan setara dengan laki-laki.

Barulah di tahun 1920-an pertumbuhan organisasi perempuan meningkat, Muncul organsiasi baru seperti Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). Hal ini tak terlepas dari pengusahaan sekolah-sekolah bagi perempuan yang tak lagi terbatas bagi kalangan atas.

Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial-kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa melacak kegiatan politik perempuan pada masa ini, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.

Selanjutnya konsistensi dalam membangun organisasi perempuan nampak pada Kongres PKI di Jakarta tanggal 7-10 Juni 1924. Kongres ini menyediakan satu hari penuh untuk membicarakan masalah gerakan wanita komunis yang menjadi bagian dari PKI—cikal bakal dari Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berdiri pada tahun 1950.

-----------------------
bagian II

Comments

Popular posts from this blog

Seminggu tanpa sabun dan sampo

Let’s talk about casual internalized racism in this island

Mimpi