cerita klasik gembel dan sekolah
Anak-anak ini, tidak mau belajar, sulit diajak belajar. Orang tuanya pun tak ingin mereka belajar. Tak menghasilkan uang, katanya.
Ah... mau jadi apa kau dik?
"Jadi gembel!" jawab mereka dengan lantang.
Orang-orang tua mereka selalu meyakinkan: "Kita ini gembel, ya uda jadi gembel aja. Buat apa sekolah, mendingan sana kamu ngamen, biar dapat uang."
Ini klasik.
Namun tetap berpotensi membuat frustrasi ketika mendengarnya.
Sekalipun uang diberikan cuma-cuma, kebutuhan sekolah dicukupi, setiap minggu aku datangi untuk sekadar mengajarkan "this is an apple", dan memastikan ulangan mereka baik-baik saja. Semangat tak juga menyala.
Mereka lebih butuh suntikan moral dari pada suntikan dana. Namun, moral yang seperti apa? Dari mana mereka bisa belajar?
Televisi di warteg depan rumah kardus mereka menyuguhkan penangkapan politisi berkedung louis vuitton, merek yang tak akan pernah terbayang oleh mereka bahwa satu syal itu cukup untuk mereka mudik 10 kali.
Artis-artis yang datang dengan infotainment pun hanya menggelar acara amal, bukan amal bohongan seperti di TV ***, tetapi tetap tidak berguna, sekali lewat, dan menguatkan kebiasaan dan perasaan "Kami ini gembel, sudah sepantasnya diberi dan tidak mencari."
Acara itu penuh dengan blitz kamera, sedikit bagi-bagi buku, handuk serta minyak goreng ala kadarnya. Voila, jadilah citra bahwa artis tersebut terlalu sibuk menjadi pekerja sosial sehingga mengurangi aktivitas persinetronan. Padahal, ngaku aja deh situ ga laku.
Memang membuat frustrasi.
Matahari masih terik, kereta membelah debu, dan anak-anak masih bermain di tengah kedua rel kereta. Teriakan mereka timbul tenggelam dalam gemuruh rel yang terhimpit baja.
"Dulu ga ada temboknya neng, waktu belum di tembok, di sini lega. Ibu suka senam di sana. Di sini, dulu ada pabrik tahu neng, tapi uda tutup," ujar ibu paruh baya berdaster sembari menepuk tembok rumah singgah kami.
Hampir 1 jam sejak aku menerima SMS bahwa Yani akan datang. Seperti menunggu godot, tak ada kepastian tak ada harapan. Mengundang frustrasi.
Aku marah, hampir marah. Marah pada negara yang membuat nyawa-nyawa dalam rumah kardus itu terasa tak berharga dan merasa tak bermasa depan selain menjadi gembel. Juga marah pada diriku yang hampir mencapai batas kesabaran menanti Yani.
Aku ke sini, tidak ada untungnya buatku. Begitu aku sampai sini, pun hanya aku yang antusias. Aku berhenti saja. Umpatku frustrasi dalam hati.
"Aduh kakak, kayaknya Yani masih lama, Yani ga bisa deh, Yani masih nyuci," tegas Yani.
Aku marah. Pasti dia tidak diizinkan belajar. Kupercepat jalan menuju rumah triplek di perempatan menuju pasar Gaplok, Senen. Di sana, ia sumringah, berlari dari belakang rumah dan mengambil tasnya. Dengan 1 syarat, membawa serta keponakannya yang rewel.
Kisah klasik itu masih ada. Anak-anak perempuan yang sudah mendapatkan mens pertamanya, akan "dijual" oleh orang tuanya. Dikawinkan entah jadi istri keberapa.
Entah untung atau buntung, sebagian kulit Yani penuh sisa luka bakar, sehingga "tidak laku jual" dan tidak perlu terpaksa putus sekolah untuk jadi istri keempat atau ketiga.
Aku tidak pintar mengajar, dan Yani tidak cepat menangkap ajaranku. Panas dan berdebu, serta anak 3 tahun yang terus-terusan menangis minta pulang.
Aku frustrasi.
Aku cuma ingin Yani setidaknya menamatkan SMP, lalu SMA, hingga berkuliah. Biar donor yang memberi Yani dana, dan aku hanya punya sedkit tenaga.
Rasa frsutrasi yang sama yang kuhadapi soal adik-adikku. Aku cuma ingin mereka bisa bersekolah hingga kuliah. Namun biaya menjadi begitu mahal setiap tahunnya. Aku tak tahu inflasi akan menyebabkan biaya kuliah meningkat hingga ke level apa saat adikku berkuliah nanti.
Meski demikian, harus ada satu keyakinan, keyakinan bahwa kami bisa, dan harus bersekolah.
Aku frustrasi, dan ingin menangis.
Ahhh...
Harusnya dari awal aku sadar.
Ini bukan soal aku.
Ini soal adikku, soal Yani, juga Yani-yani lain di sepanjang kekumuhan rel-rel lain.
Kami tak butuh frustrasi.
Tak ada yang harus frustrasi.
Ah... mau jadi apa kau dik?
"Jadi gembel!" jawab mereka dengan lantang.
Orang-orang tua mereka selalu meyakinkan: "Kita ini gembel, ya uda jadi gembel aja. Buat apa sekolah, mendingan sana kamu ngamen, biar dapat uang."
Ini klasik.
Namun tetap berpotensi membuat frustrasi ketika mendengarnya.
Sekalipun uang diberikan cuma-cuma, kebutuhan sekolah dicukupi, setiap minggu aku datangi untuk sekadar mengajarkan "this is an apple", dan memastikan ulangan mereka baik-baik saja. Semangat tak juga menyala.
Mereka lebih butuh suntikan moral dari pada suntikan dana. Namun, moral yang seperti apa? Dari mana mereka bisa belajar?
Televisi di warteg depan rumah kardus mereka menyuguhkan penangkapan politisi berkedung louis vuitton, merek yang tak akan pernah terbayang oleh mereka bahwa satu syal itu cukup untuk mereka mudik 10 kali.
Artis-artis yang datang dengan infotainment pun hanya menggelar acara amal, bukan amal bohongan seperti di TV ***, tetapi tetap tidak berguna, sekali lewat, dan menguatkan kebiasaan dan perasaan "Kami ini gembel, sudah sepantasnya diberi dan tidak mencari."
Acara itu penuh dengan blitz kamera, sedikit bagi-bagi buku, handuk serta minyak goreng ala kadarnya. Voila, jadilah citra bahwa artis tersebut terlalu sibuk menjadi pekerja sosial sehingga mengurangi aktivitas persinetronan. Padahal, ngaku aja deh situ ga laku.
Memang membuat frustrasi.
Matahari masih terik, kereta membelah debu, dan anak-anak masih bermain di tengah kedua rel kereta. Teriakan mereka timbul tenggelam dalam gemuruh rel yang terhimpit baja.
"Dulu ga ada temboknya neng, waktu belum di tembok, di sini lega. Ibu suka senam di sana. Di sini, dulu ada pabrik tahu neng, tapi uda tutup," ujar ibu paruh baya berdaster sembari menepuk tembok rumah singgah kami.
Hampir 1 jam sejak aku menerima SMS bahwa Yani akan datang. Seperti menunggu godot, tak ada kepastian tak ada harapan. Mengundang frustrasi.
Aku marah, hampir marah. Marah pada negara yang membuat nyawa-nyawa dalam rumah kardus itu terasa tak berharga dan merasa tak bermasa depan selain menjadi gembel. Juga marah pada diriku yang hampir mencapai batas kesabaran menanti Yani.
Aku ke sini, tidak ada untungnya buatku. Begitu aku sampai sini, pun hanya aku yang antusias. Aku berhenti saja. Umpatku frustrasi dalam hati.
"Aduh kakak, kayaknya Yani masih lama, Yani ga bisa deh, Yani masih nyuci," tegas Yani.
Aku marah. Pasti dia tidak diizinkan belajar. Kupercepat jalan menuju rumah triplek di perempatan menuju pasar Gaplok, Senen. Di sana, ia sumringah, berlari dari belakang rumah dan mengambil tasnya. Dengan 1 syarat, membawa serta keponakannya yang rewel.
Kisah klasik itu masih ada. Anak-anak perempuan yang sudah mendapatkan mens pertamanya, akan "dijual" oleh orang tuanya. Dikawinkan entah jadi istri keberapa.
Entah untung atau buntung, sebagian kulit Yani penuh sisa luka bakar, sehingga "tidak laku jual" dan tidak perlu terpaksa putus sekolah untuk jadi istri keempat atau ketiga.
Aku tidak pintar mengajar, dan Yani tidak cepat menangkap ajaranku. Panas dan berdebu, serta anak 3 tahun yang terus-terusan menangis minta pulang.
Aku frustrasi.
Aku cuma ingin Yani setidaknya menamatkan SMP, lalu SMA, hingga berkuliah. Biar donor yang memberi Yani dana, dan aku hanya punya sedkit tenaga.
Rasa frsutrasi yang sama yang kuhadapi soal adik-adikku. Aku cuma ingin mereka bisa bersekolah hingga kuliah. Namun biaya menjadi begitu mahal setiap tahunnya. Aku tak tahu inflasi akan menyebabkan biaya kuliah meningkat hingga ke level apa saat adikku berkuliah nanti.
Meski demikian, harus ada satu keyakinan, keyakinan bahwa kami bisa, dan harus bersekolah.
Aku frustrasi, dan ingin menangis.
Ahhh...
Harusnya dari awal aku sadar.
Ini bukan soal aku.
Ini soal adikku, soal Yani, juga Yani-yani lain di sepanjang kekumuhan rel-rel lain.
Kami tak butuh frustrasi.
Tak ada yang harus frustrasi.
saya tinggalkan jejak di sini, tulisan semenggugah ini perlu ada apresiasi lebih banyak
ReplyDelete