Posts

Showing posts from October, 2011

manusia tak makan cinta

Kutemukan se(R)ikat kata kata mencari peraji,                 lalu putik minta dihamili. Daun pintu pun bertalu-talu diketuk dedalu,                 benang sari hanya berlalu. Tak kunjung lahir segenggam kata, tersangkut pada kedutan mata, pada lelaku dan mantra usang, pada tuan tanah yang sembunyikan anak gadisnya. Bagi tuan tanah, anak gadis hanyalah salah satu harta,                 yang kan dikawinkan dan hasilkan kuasa lainnya. Bagi mereka yang berbagi lahan dengan tungau di samping rel kereta, Anak gadis adalah satu-satunya harta,                 disayang-sayang guna menghasilkan uang, disundut puntung yang membara                 untuk pelampiasan derita orang tua. Anak gadis satu-satunya harta yang kan dijual saat perut keroncongan. Kau yg menatapi anak gadis itu,                 --keduanya-- sebaiknya juga meratapi kantongmu. Seberapa yg bisa kau hasilkan agar dapat membeli hari-hari? Tak perlu begitu banyak hari, cukup sa

si tubuh yang bersetubuh

Tubuh. Perempuan. Membayangkan sesuatu atas keduanya? Aliran darah, keratan daging yang melekat pada rangka yang digerakan urat? Seorang Channel Iman? Sebentuk bokong, payudara, bibir? Bokong Jennifer Lopez, payudara Dolly Parton, bibir Angelina Jolie? Maria Ozawa yang diproduseri ayahnya dan terkenal sebagai produk pornografi dengan label Miyabi? Sedot lemak dan bedah plastik berharap tubuh “ideal” selayak Barbie atau mannequin? Anorexia yang telah berkontribusi atas 0,56% kematian tubuh-tubuh (yang hampir seluruhnya) perempuan di Amerika? Kesucian Perawan Maria yang absolut hingga kematiannya? Pergulatan batin manusia, layaknya Frankenstein yang bertanya milik siapakah dirinya, tubuhnya? Pangkal dari segala kekotorankah ia hingga kelahirannya harus disertai dengan kematian, pembunuhan atas tubuhnya? Sekadar tanah yang kan kembali ke kodratnya, dikubur hanya dengan selembar kain, ditutupi tanah, atau justru sangat suci dan berharga hingga harus diaben dengan biaya berpuluh jut

sajak taman II: seikat bajang-bajang

kau suka main adu bajang-bajang, tapi kau kesal, tak suka bajang-bajang menempel pada kaus kaki putih yg kau pakai ke sekolah. Kau begitu kesal pada bajang-bajang, kau ingin habisi mereka semua, agar tak ada lagi bajang-bajang di seluruh dunia. Toh juga tak akan ada yg merasa kehilangan bajang-bajang. Mungkin kau akan sediakan sedikit bajang-bajang, untuk bermain adu bajang-bajang. Seolah mati-hidup bajang-bajang adalah hak mu seorang. Kau lupa kalau bajang-bajang juga bernyawa. Bajang-bajang bersetia pada nyawanya, lebih dari yang kau kira. Kau sabit, bajang-bajang kan tumbuh menjadi se(R)ikat bajang-bajang lain Bajang-bajang itu tak akan pernah seindah mawar, tak seharum melati. Tapi bajang-bajang juga tak akan seangkuh mawar dan selemah melati. Bajang-bajang tak akan meradang saat kemarau datang. Mereka diam-diam tumbuh di bawah tanah yang kau pijak, di sekeliling mawar yg kekeringan. Lalu bajang-bajang kan kembali saat hujan datang, menyeruak saat kabut melapis tanah, m

sajak taman

Kau lebih suka melihat tetaman indah terpangkas rapi, rerumputan pendek menyembulkan bunga. Lupa kalau itu kerja cangkul dan sabit yang mengkilat tertimpa urat lehermu.

hujan milik angin jantan

Selalu ada masa dan orang-orang yang membuat hidup nampak tak berguna. Dalam beberapa saat kita akan bereaksi berlebihan, tetapi selanjutnya kita akan merasa bahwa tindakan yang sudah kita lakukan itu bodoh. Lalu kita pun tertawa sambil mengutuki diri, terutama jika kita mencoba merasionalkan segala hal. Dan saya sedang dalam tahap reaksi berlebihan itu. Dalam setiap fase hidup saya, selalu ada masa di mana kekerasan menjadi hal yang seolah layak saya terima. Ayah suka memukul, dengan gagang sapu, dengan ikat pinggang, dengan kursi plastik, juga menyundut bibir saya dengan rokok yg menyala. Saat itu, saya tidak pernah tahu bahwa hal tersebut adalah kriminal. Tapi sudahlah, ayah sudah tiada, dan saya tak berniat memperkarakan apapun. Sayangnya, setiap kekerasan yang saya terima, agaknya membuat saya terbiasa, mati rasa. Saya selalu berusaha bertahan dalam berbagai hubungan yang melibatkan kekerasan. Tak melulu fisik, tetapi juga kekerasan psikologis dan intelektual. Ini memalu

selalu ada yang harus diyakini

Saya sudah mendusta pada tubuh dan pikir saya sedemikian rupa, berulang kali. Saya pernah berjanji, untuk menulis setiap hari. Menulis dengan hati. Meluapkan pikiran memuntahkan ide-ide. Namun saya gagal memenuhi janji tersebut. Saya juga berjanji, untuk belajar bahasa lebih banyak lagi. Namun les Jerman saya terhenti di tengah jalan, saat saya coba untuk mulai lagi, saya sudah tidak punya cukup waktu. Janji lain, adalah untuk banyak membaca buku. Janji yang juga tak saya tepati pada akhirnya. Saya selalu pulang dalam keadaan terlalu lelah, atau terlalu malas untuk membaca. Buku terakhir yang saya baca, saya habiskan dalam waktu sekitar 6 bulan. rekor terburuk sepanjang hidup. Banyak janji-janji lain yang juga tak saya tepati. Terlalu banyak untuk dapat dijabarkan satu persatu. Janji untuk lebih banyak berenang dan tread mill juga tinggal janji. Janji untuk giat bermain tennis juga hilang di tengah angin. Belum lagi janji untuk mengurangi polusi dengan cara mengurangi menggunak

perihal kabut

langit berkabut yang susut adalah tabir yang berada di sisi tempat tidurmu yang menyibak malam bersetia menunggu pagi. adalah nafas hutan yang mengembun pada jendela yang mengecup tengkukmu dan membuat uratmu tergelitik, berkedutan. adalah asap pada musim kemarau yang membuat pandangmu terbatas dan nafasmu pendek-pendek. adalah kain yang kau remas selagi matamu nanar dan nafasmu memburu. pesan singkat yang memecah keringat selagi kau bersetubuh. adalah halo yang melingkar pada bulan yang membuat orang menengadah. "halo halo!" kabut itu, tak lama di hutan sana. tak lama mengelilingi bulan. sesaat saja, saat urat sekujur tubuhmu tergelitik berkedutan.