pekerjaan saya, pekerjaan haram jadah
Sembilan tahun yang lalu, pertama kalinya saya membaca buku karangan T. Taufiqulhadi, seorang wartawan kompas yang meliput di kawasan Timur Tengah. Buku yang saya baca itu berjudul Ironi satu kota tiga tuhan.
Buku itu menceritakan potret masyarakat sosial di kota yang telah ada sejak berabad tahun silam, Yerusalem. Bagaimana Taufiqulhadi menampilkan gambaran Yerusalem tanpa sentimen keagamaan membuat saya terbelalak.
Apa yang dituliskan di buku tersebut adalah luar biasa bagi saya. Saya, seorang gadis kecil yang mengenakan jilbab hingga menutupi dada, bahkan siku. Yang pada malam hari pergi membawa senter menuju ujung jalan, rumah guru ngaji di kampung, yang mengajarkan cara membaca juz amma dan arab gundul. Saya yang setiap pekan menuju pesantren pekanan, mendengar ceramah agama di ruang dengan kursi, mimbar dan lorong yang mirip gereja. Saya yang setiap liburan sekolah menginap di pesantren yang mengajarkan perbedaan agama sebagai suatu keharaman, tentu terpukau setengah mati.
Saya merasa tercerahkan, dan bertekad ingin menjadi wartawan, spesifikasi wartawan perang seperti Taufiqulhadi.
Namun, menurut ayah, adalah suatu kemunduran apabila saya menjadi wartawan. Ayah memandang wartawan sebagai suatu yang negatif. Maklum, di wilayah tinggal saya saat itu banyak sekali wartawan bodrek yang kerap coba memeras ayah saya. Katanya kalau ayah tak mau "bekerja sama" maka mereka akan turunkan berita jelek. Tentu darah Sumatera ayah bergejolak. Ia menantang wartawan-wartawan tersebut untuk menulis berita jelek. Untungnya, tak saya temukan satu pun berita jelek soal ayah dari semua kliping koran daerah (kliping berita mengenai ayah adalah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan setiap akhir pekan).
Tentu bukan begitu bayangan wartawan di mata saya. Di era pergantian rezim, saya melihat pewarta berita adalah pekerjaan mulia, agar masyarakat mengetahui kebusukan rezim. Agar masyarakat mengetahui apa yang terjadi.
Bagi ayah, cita-cita saya adalah mimpi manis omong kosong, haram jadah, amit amit jabang bayi.
Maka, saat saya diterima di dua Universitas Negeri yang berbeda untuk dua jurusan yang berbeda, Hukum dan Komunikasi, ayah sontak menyuruh saya mengambil hukum. Dia berharap saya dapat berlaga di meja hijau seperti dirinya.
Memilih jurusan Komunikasi adalah salah satu hal paling berat yang pernah saya lakukan. Pasalnya ayah mengancam tidak akan membiayai kuliah saya. Apalagi jika saya menjadi wartawan, haram jadah.
Saya pikir, saya harus menyiapkan diri, menetapkan hati dari pada terjebak dalam hidup yang cuma sekali. Saya percaya belajar harus dari hati. Maka saya berkeras memilih Komunikasi. Toh saya bisa diterima murni, biaya kuliah saya juga tidak semahal biaya tante saya yang juga berkuliah dibiayai ayah. Saya yakin dia tidak akan membiarkan saya menjadi pengangguran hanya karena memilih apa yang dia tak suka.
Sayangnya, sikap keras ternyata diturunkan oleh ayah. Dia benar-benar tak mau membiayai kuliah. Padahal saya tak hanya butuh biaya kuliah, tetapi juga biaya hidup karena harus menyebrang pulau. Untung saya masih punya ibu yang membiayai uang masuk kuliah saya dengan uang arisan dan utang bank. Jadilah, di usia 16 tahun saya sudah mempunyai utang yang begitu besar kepada bank. Saya sempat kesal pada ayah, tetapi belakangan saya berterima kasih padanya. Apalagi belakangan dia melunasi juga seluruh utang itu. Saya tahu, dia hanya ingin kami, anak-anaknya, belajar mengambil tanggung jawab atas setiap keputusan. Jika saya tak pernah belajar hidup keras, pasti saat ini saya sudah menjadi orang yang lembek.
Saya yakin, ayah, di mana pun saat ini ia berada, tak pernah menyesali anaknya yang keras hati. Saya yakin dia tak akan kecewa melihat saya saat ini, bekerja menjadi wartawan, profesi yang dulu ia benci.
Dia selalu berkata, kita harus melakukan sesuatu dengan hati. Saya melakukan pekerjaan saya dengan hati. Akan tetapi, hari ini, redaktur pelaksana saya mengajarkan, bekerja dengan hati saja tidak cukup. Kita harus bekerja dengan hati yang kuat.
Hingga hari meninggalnya, ayah tak pernah menyebut saya berkuliah di program studi media massa. Dia selalu menyebut saya berkuliah di UGM saja. Jika ada yang bertanya jurusannya, dia berkata komunikasi internasional. Jurusan yang tak ada di UGM sebenarnya.
Lalu beban saya letakkan di pundak ibu. Masyarakat di sekitar rumah saya, bukan kelompok orang yang cukup terbuka dan menghargai perbedaan profesi. Bagi mereka, belumlah sukses orang tua kalau anaknya tidak jadi bankir, polisi, PNS, tentara atau pekerja swasta di perusahaan besar. Wartawan tentu tak masuk hitungan.
Maka ibu tak pernah menyebut saya sebagai wartawan, dia hanya menyebut merek koran tempat saya bekerja. Tak banyak yang mengenal koran tersebut, apalagi ditambah embel-embel kata bisnis, tetangga saya sudah cukup terpuaskan. Mereka pikir saya bekerja di suatu perusahaan swasta besar, berpakaian rapi dan bekerja di balik meja.
Saya tak kecewa pada ibu. Saya tahu ibu bukannya malu. Ibu hanya malas menjelaskan dan berdebat kusir dengan para tetangga yang akan memicingkan mata jika tahu pekerjaan saya.
Saya memang egois. Namun saya tahu, ayah pasti bangga pada ketetapan hati saya, bahwa saya sama kerasnya dengan dia, menunjukan kami memang berasal dari DNA yang sama.
Buku itu menceritakan potret masyarakat sosial di kota yang telah ada sejak berabad tahun silam, Yerusalem. Bagaimana Taufiqulhadi menampilkan gambaran Yerusalem tanpa sentimen keagamaan membuat saya terbelalak.
Apa yang dituliskan di buku tersebut adalah luar biasa bagi saya. Saya, seorang gadis kecil yang mengenakan jilbab hingga menutupi dada, bahkan siku. Yang pada malam hari pergi membawa senter menuju ujung jalan, rumah guru ngaji di kampung, yang mengajarkan cara membaca juz amma dan arab gundul. Saya yang setiap pekan menuju pesantren pekanan, mendengar ceramah agama di ruang dengan kursi, mimbar dan lorong yang mirip gereja. Saya yang setiap liburan sekolah menginap di pesantren yang mengajarkan perbedaan agama sebagai suatu keharaman, tentu terpukau setengah mati.
Saya merasa tercerahkan, dan bertekad ingin menjadi wartawan, spesifikasi wartawan perang seperti Taufiqulhadi.
Namun, menurut ayah, adalah suatu kemunduran apabila saya menjadi wartawan. Ayah memandang wartawan sebagai suatu yang negatif. Maklum, di wilayah tinggal saya saat itu banyak sekali wartawan bodrek yang kerap coba memeras ayah saya. Katanya kalau ayah tak mau "bekerja sama" maka mereka akan turunkan berita jelek. Tentu darah Sumatera ayah bergejolak. Ia menantang wartawan-wartawan tersebut untuk menulis berita jelek. Untungnya, tak saya temukan satu pun berita jelek soal ayah dari semua kliping koran daerah (kliping berita mengenai ayah adalah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan setiap akhir pekan).
Tentu bukan begitu bayangan wartawan di mata saya. Di era pergantian rezim, saya melihat pewarta berita adalah pekerjaan mulia, agar masyarakat mengetahui kebusukan rezim. Agar masyarakat mengetahui apa yang terjadi.
Bagi ayah, cita-cita saya adalah mimpi manis omong kosong, haram jadah, amit amit jabang bayi.
Maka, saat saya diterima di dua Universitas Negeri yang berbeda untuk dua jurusan yang berbeda, Hukum dan Komunikasi, ayah sontak menyuruh saya mengambil hukum. Dia berharap saya dapat berlaga di meja hijau seperti dirinya.
Memilih jurusan Komunikasi adalah salah satu hal paling berat yang pernah saya lakukan. Pasalnya ayah mengancam tidak akan membiayai kuliah saya. Apalagi jika saya menjadi wartawan, haram jadah.
Saya pikir, saya harus menyiapkan diri, menetapkan hati dari pada terjebak dalam hidup yang cuma sekali. Saya percaya belajar harus dari hati. Maka saya berkeras memilih Komunikasi. Toh saya bisa diterima murni, biaya kuliah saya juga tidak semahal biaya tante saya yang juga berkuliah dibiayai ayah. Saya yakin dia tidak akan membiarkan saya menjadi pengangguran hanya karena memilih apa yang dia tak suka.
Sayangnya, sikap keras ternyata diturunkan oleh ayah. Dia benar-benar tak mau membiayai kuliah. Padahal saya tak hanya butuh biaya kuliah, tetapi juga biaya hidup karena harus menyebrang pulau. Untung saya masih punya ibu yang membiayai uang masuk kuliah saya dengan uang arisan dan utang bank. Jadilah, di usia 16 tahun saya sudah mempunyai utang yang begitu besar kepada bank. Saya sempat kesal pada ayah, tetapi belakangan saya berterima kasih padanya. Apalagi belakangan dia melunasi juga seluruh utang itu. Saya tahu, dia hanya ingin kami, anak-anaknya, belajar mengambil tanggung jawab atas setiap keputusan. Jika saya tak pernah belajar hidup keras, pasti saat ini saya sudah menjadi orang yang lembek.
Saya yakin, ayah, di mana pun saat ini ia berada, tak pernah menyesali anaknya yang keras hati. Saya yakin dia tak akan kecewa melihat saya saat ini, bekerja menjadi wartawan, profesi yang dulu ia benci.
Dia selalu berkata, kita harus melakukan sesuatu dengan hati. Saya melakukan pekerjaan saya dengan hati. Akan tetapi, hari ini, redaktur pelaksana saya mengajarkan, bekerja dengan hati saja tidak cukup. Kita harus bekerja dengan hati yang kuat.
Hingga hari meninggalnya, ayah tak pernah menyebut saya berkuliah di program studi media massa. Dia selalu menyebut saya berkuliah di UGM saja. Jika ada yang bertanya jurusannya, dia berkata komunikasi internasional. Jurusan yang tak ada di UGM sebenarnya.
Lalu beban saya letakkan di pundak ibu. Masyarakat di sekitar rumah saya, bukan kelompok orang yang cukup terbuka dan menghargai perbedaan profesi. Bagi mereka, belumlah sukses orang tua kalau anaknya tidak jadi bankir, polisi, PNS, tentara atau pekerja swasta di perusahaan besar. Wartawan tentu tak masuk hitungan.
Maka ibu tak pernah menyebut saya sebagai wartawan, dia hanya menyebut merek koran tempat saya bekerja. Tak banyak yang mengenal koran tersebut, apalagi ditambah embel-embel kata bisnis, tetangga saya sudah cukup terpuaskan. Mereka pikir saya bekerja di suatu perusahaan swasta besar, berpakaian rapi dan bekerja di balik meja.
Saya tak kecewa pada ibu. Saya tahu ibu bukannya malu. Ibu hanya malas menjelaskan dan berdebat kusir dengan para tetangga yang akan memicingkan mata jika tahu pekerjaan saya.
Saya memang egois. Namun saya tahu, ayah pasti bangga pada ketetapan hati saya, bahwa saya sama kerasnya dengan dia, menunjukan kami memang berasal dari DNA yang sama.
proficiat yaaa... resmi jadi wartawan
ReplyDeletembak...
ReplyDeleteaku juga mau punya ketetapan hati yang kuat
bagus sekali tulisannya :)
Funny, my father never did tell me what I should become when I grow up. He was an architect and out of admiration, i wanted to become one..well that was before I know that I flunk at math..well, so much for my childhood dream..:-)
ReplyDeleteLucky you..you had the persistence and courage to be what you wanted to be..
hai anonim 1, thx ya, tapi ini siapa deh? dapet isue dari mana tuh? :P hehe...
ReplyDeletehai anonim 2, terimakasih banyak. tapi ketetapan hati yg kuat mungkin cocok utk aku, hanya saja belum tentu cocok utk orang lain. maksudnya, tetap hati belum tentu hal yg baik. jangan mau jadi tetap hati kayak aku, jadi tetap hati sebagaimana gayamu aja. ;)
hello Nod, i try to peep at your blog but i couldn't T_T
life is always full of surprise, isn't it? once boris pasternak's wrote, surprise is the greatest gift life can grant us.
anyway, thank you, lucky me... maybe my courage is what i get from my DNA and how my father raise me. sometimes it's not a very good thing, but it makes me who i am :D