me and my friend come from asteroid type C

Saya punya seorang teman yang menurut saya sangat berkarakter. Sayangnya, menjadi perempuan berkarakter di sebuah lingkungan patriarki sering kali merugikan ketimbang menguntungkan. Bukannya saya ingin yang satu lebih menguntungkan dari pada lainnya, tapi sebaiknya kalau perlakuan yang diterima sama saja.

Patriarkisme bukan cuma soal hal-hal besar bahwa perempuan boleh bersekolah atau bekerja. Saya sedang bicara mengenai kesetaraan. Memangnya kenapa kalau perempuan menjadi macho dan laki-laki menjadi lemah gemulai? itu yang sedang saya bicarakan. Banyak ketidakadilan di lingkungan saya mengenai hal ini. Seolah lelaki yang lembut dan perempuan yang keras adalah suatu kesalahan.

Akan tetapi hal itu ga akan dibahas di sini. Gadis Arivia saja pasti butuh satu buku untuk menjelaskan fenomena ini. Apalagi saya yang cuma kuli tinta, pasti akan mengundang banyak hujatan. Saya sedang tidak bertenaga dan tidak punya waktu luang untuk menerima hujatan.

Lagi pula kalau saya punya energi lebih untuk membahas hal serius dan menerima hujatan, saya akan membaca sejarah Bank Indonesia saja, supaya besok-besok berita yang yang tercetak atas nama saya jadi lebih sempurna.

Kembali ke teman perempuan saya yang sangat berkarakter itu. Dia adalah tipe perempuan yang akan mengejar haknya dan melaksanakan kewajibannya tanpa mengeluh (curhat curhat dikit paling).

Saat diminta meliput di hari SABTU, hari di mana wartawan ekonomi biasanya libur, dia dengan tegas mengatakan: "Kalau saya harus liputan sabtu, berarti saya boleh libur dong Senennya? kan Sabtu jatah libur saya."

Awalnya saya kaget. Maklum, saya Sumatera berdarah Jawa, lama di Jogjakarta meningkatkan kesadaran unggah inggih saya. Saya pikir berani sekali dia. Seharusnya bukan begitu cara menghadapi atasan.

Tapi, apa iya bukan begitu, atau justru harus begitu?

Siapapun pasti pernah mengalami kejadian yang sama. Alih-alih berani mempertanyakan haknya, seringkali kita justru melaksanakan tugas negara itu sambil menggerutu. Padahal bukankah lebih baik kalau atasan mengerti juga apa yang ada di kepala kita, memberitahukan dengan cara baik baik tentu saja.

Ini masalah perseorangan yang tidak bisa digeneralisasi sebenarnya. Tetapi saya ingat betul, dalam wawancara kerja saya ada satu pertanyaan yang sangat mengejutkan: "Kamu kan perempuan, kami sebenarnya cari yang lak-laki karena pekerjaan ini menuntut bisa pulang malam dan mau kerja lapangan."

Sontak saya menjawab: "Loh, kok bias gender sih pak? Soal pulang malam dan kerja lapangan itu soal pribadi, bukan masalah gender. Banyak juga laki-laki yang tidak mau pulang malam dan kerja lapangan."

Itu sekadar ilustrasi, kita kembali lagi ke teman saya yang sangat berkarakter ini.

Suatu ketika teman saya dipanggil atas suatu soal. Menurut saya, dia datang dengan sikap yang sangat rasional. Sikap dia yang seperti biasa, tenang dan rasional. Dia datang untuk mendengarkan ceramah, mengakui kesalahan, lalu menjawab setiap pertanyaan dan menyatakan komitmen.

Sayang tidak semua orang siap menerima perempuan yang bersikap rasional. Mungkin kebanyakan orang lebih terbiasa menemukan perempuan yang menangis dan emosional di ruang kerja atasannya ketimbang perempuan yang rasional dan berusaha menyeimbangkan hak dan kewajibannya.

Bukan berarti saya bilang menangis lebih buruk dari menjadi rasional. Bukan begitu maksud saya, keduanya sama baik dan sama buruk. Tidak ada preferensi. Hanya saja masyarakat sering kali lebih suka menerima yang satu dari pada lainnya karena faktor kebiasaan. Lalu seolah yang satu menjadi lebih baik dari lainnya.

Well, like my other friend always say,
Men are from mars, women are from venus,
me and my friend, i guess we come from asteroid type C.

Mathilde, salah satu asteroid tipe C

Comments

  1. asteroid tipe C itu maksudnya apa ya? rujukan bukunya plis? haha. eniwei, tengkyu ya neng. means a lot to me. tapi menurut gw, yang sangat berkarakter itu justru elo. ibu kartini aja lewat kalo dibandingin sama lo.

    btw, gw juga ada nulis di fb soal kejadian Senin itu. kalo mau dibaca, monggo neng.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Addressing Climate Crisis with Ummah